Iklan

Belajar Sebelum Sekolah: Doxa, Representasi, dan Hilangnya Makna Pembelajaran

syamsul kurniawan
Friday, December 12, 2025
Last Updated 2025-12-13T04:40:55Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

BELAJAR tidak lahir bersama sekolah. Ia mendahului bangunan, kurikulum, dan bahkan sistem penilaian. Ia hadir sejak manusia pertama kali menyadari dirinya berada di dunia yang harus dimaknai, bukan sekadar dihuni.

 

Al-Qur’an mengisahkan momen itu dengan tenang namun menentukan: Allah mengajarkan Adam nama-nama segala sesuatu. Sebuah peristiwa epistemologis, bukan pedagogis dalam pengertian modern. Tidak ada kelas. Tidak ada metode. Hanya relasi antara pengetahuan dan kemanusiaan.

 

Nama bukan sekadar sebutan. Ia adalah cara manusia menguasai makna. Dengan memberi nama, manusia tidak menciptakan benda, tetapi menciptakan jarak kritis terhadapnya. Di situlah belajar pertama kali bekerja.

 

Dalam bahasa Stuart Hall (1997), peristiwa itu adalah fondasi sistem representasi. Dunia tidak bermakna dengan sendirinya; makna diproduksi melalui konsep dan bahasa. Adam tidak diberi realitas mentah, melainkan cara menafsirkan realitas.

 

Belajar, sejak awal, adalah aktivitas kultural. Ia menyangkut bagaimana manusia memahami dunia, bukan sekadar bagaimana ia menghafalnya.

 

Namun perjalanan sejarah tidak selalu ramah terhadap makna. Pembelajaran perlahan-lahan dipersempit, direduksi, dan dibingkai ulang. Dari proses eksistensial menjadi prosedur institusional.

 

Hari ini, belajar hampir selalu direpresentasikan sebagai aktivitas sekolah. Di luar ruang kelas, belajar dianggap informal, tambahan, atau sekadar pengalaman hidup yang tidak “resmi”.

 

Representasi ini bekerja begitu kuat sehingga jarang dipertanyakan. Ia menjelma menjadi apa yang Pierre Bourdieu (1977) sebut sebagai doxa: keyakinan yang diterima sebagai kebenaran alamiah, tanpa perlu dipikirkan ulang.

 

Belajar = sekolah. Sekolah = masa depan. Masa depan = gelar. Rangkaian ini diterima sebagai logika wajar, padahal ia adalah konstruksi sosial yang historis.

 

Doxa tidak memerintah dengan suara keras. Ia bekerja melalui kebiasaan, melalui pengulangan, melalui apa yang dianggap normal. Ia hidup di dalam habitus kita—cara kita menilai, memilih, dan berharap.

 

Akibatnya, belajar sebelum sekolah menjadi tak terlihat. Ia ada, tetapi tidak diakui. Ia terjadi, tetapi tidak dihitung.

 

Padahal Islam sejak awal menolak pembatasan semacam ini. Belajar tidak dimulai dari usia sekolah, dan tidak berhenti pada kelulusan. Ia adalah kewajiban sepanjang hayat.

 

Hadis tentang menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat bukan sekadar anjuran moral. Ia adalah kritik laten terhadap segala upaya membatasi belajar pada ruang dan waktu tertentu.

 

Al-Qur’an pun tidak mengaitkan kemuliaan ilmu dengan institusi, melainkan dengan dampaknya pada iman dan derajat manusia. Ilmu yang tidak mengangkat martabat manusia kehilangan maknanya.

 

Apa yang bergeser?

 

Yang bergeser bukan hanya praktik belajar, tetapi cara kita memaknainya. Belajar tidak lagi dipahami sebagai proses pembentukan diri, melainkan sebagai jalur administratif menuju status sosial.

 

Dalam sistem representasi modern, belajar direduksi menjadi aktivitas kognitif semata. Dimensi etis, spiritual, dan sosialnya terpinggirkan.

 

Sekolah lalu menjadi simbol utama pembelajaran. Bukan karena ia satu-satunya tempat belajar, tetapi karena ia memiliki legitimasi simbolik.

 

Di sinilah doxa bekerja paling efektif. Kita tidak lagi bertanya mengapa sekolah menjadi pusat makna belajar; kita hanya menerimanya.

 

Pengalaman hidup—mengasuh anak, bekerja, gagal, memperbaiki diri—tidak direpresentasikan sebagai belajar yang sah. Ia tidak punya bahasa dalam sistem penilaian resmi.

 

Menurut Stuart Hall, makna tidak pernah netral. Ia diproduksi dalam relasi kuasa. Ketika belajar direpresentasikan secara sempit, ada kepentingan yang diuntungkan.

 

Yang diuntungkan adalah sistem yang membutuhkan standar, pengukuran, dan klasifikasi. Yang dirugikan adalah manusia yang belajar dengan cara berbeda.

 

Belajar Al-Qur’an pun tidak luput dari pergeseran ini. Ia sering direduksi menjadi hafalan, lomba, dan sertifikat, sementara transformasi akhlak justru menjadi urusan sekunder.

 

Hadis tentang keutamaan belajar dan mengajarkan Al-Qur’an kehilangan daya kritiknya ketika direpresentasikan secara simbolik semata.

 

Yang hilang bukan teksnya, tetapi maknanya. Bukan ajarannya, tetapi daya hidupnya.

 

Melampaui Doxa, Mengembalikan Makna

 

Mengkritik pergeseran ini tidak mudah. Doxa selalu membalas kritik dengan stigma. Yang mempertanyakan dianggap tidak realistis, tidak adaptif, atau melawan arus.

 

Namun Islam sendiri adalah tradisi yang lahir dari keberanian menantang doxa. Ia hadir untuk mengguncang kebiasaan yang mapan, bukan sekadar merapikannya.

 

Belajar, dalam kerangka ini, adalah aktivitas pembebasan. Ia membebaskan manusia dari kepatuhan buta terhadap simbol.

 

Belajar sebelum sekolah berarti mengakui bahwa manusia adalah makhluk pencari makna sebelum menjadi pencari gelar.

 

Ia berarti mengembalikan belajar ke akar eksistensialnya: memahami diri, Tuhan, dan dunia secara terus-menerus.

 

Sekolah tetap penting, tetapi bukan satu-satunya. Ia adalah salah satu ruang belajar, bukan penentu tunggal makna belajar.

 

Ketika representasi belajar diperluas, kita membuka ruang bagi pengalaman manusia yang beragam untuk diakui sebagai pengetahuan.

 

Ketika doxa digugat, kita mulai melihat bahwa yang selama ini dianggap wajar ternyata bisa dipikirkan ulang.

 

Belajar, pada akhirnya, adalah amanah. Seperti Adam yang diberi nama-nama, manusia diberi tanggung jawab atas makna yang ia bangun.

 

Tanpa kesadaran itu, belajar hanya akan menjadi rutinitas kosong yang sibuk mengoleksi simbol.

 

Dan mungkin, krisis pembelajaran hari ini bukan karena manusia malas belajar, melainkan karena kita lupa bahwa belajar telah ada jauh sebelum sekolah—dan seharusnya tidak pernah kehilangan maknanya.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now