Oleh: Syamsul Kurniawan
BELAJAR tidak lahir bersama
sekolah. Ia mendahului bangunan, kurikulum, dan bahkan sistem penilaian. Ia
hadir sejak manusia pertama kali menyadari dirinya berada di dunia yang harus
dimaknai, bukan sekadar dihuni.
Al-Qur’an mengisahkan momen itu
dengan tenang namun menentukan: Allah mengajarkan Adam nama-nama segala
sesuatu. Sebuah peristiwa epistemologis, bukan pedagogis dalam pengertian
modern. Tidak ada kelas. Tidak ada metode. Hanya relasi antara pengetahuan dan
kemanusiaan.
Nama bukan sekadar sebutan. Ia
adalah cara manusia menguasai makna. Dengan memberi nama, manusia tidak
menciptakan benda, tetapi menciptakan jarak kritis terhadapnya. Di situlah
belajar pertama kali bekerja.
Dalam bahasa Stuart Hall (1997),
peristiwa itu adalah fondasi sistem representasi. Dunia tidak bermakna dengan
sendirinya; makna diproduksi melalui konsep dan bahasa. Adam tidak diberi
realitas mentah, melainkan cara menafsirkan realitas.
Belajar, sejak awal, adalah
aktivitas kultural. Ia menyangkut bagaimana manusia memahami dunia, bukan
sekadar bagaimana ia menghafalnya.
Namun perjalanan sejarah tidak
selalu ramah terhadap makna. Pembelajaran perlahan-lahan dipersempit,
direduksi, dan dibingkai ulang. Dari proses eksistensial menjadi prosedur
institusional.
Hari ini, belajar hampir selalu
direpresentasikan sebagai aktivitas sekolah. Di luar ruang kelas, belajar
dianggap informal, tambahan, atau sekadar pengalaman hidup yang tidak “resmi”.
Representasi ini bekerja begitu
kuat sehingga jarang dipertanyakan. Ia menjelma menjadi apa yang Pierre
Bourdieu (1977) sebut sebagai doxa: keyakinan yang diterima sebagai kebenaran
alamiah, tanpa perlu dipikirkan ulang.
Belajar = sekolah. Sekolah = masa
depan. Masa depan = gelar. Rangkaian ini diterima sebagai logika wajar, padahal
ia adalah konstruksi sosial yang historis.
Doxa tidak memerintah dengan
suara keras. Ia bekerja melalui kebiasaan, melalui pengulangan, melalui apa
yang dianggap normal. Ia hidup di dalam habitus kita—cara kita menilai,
memilih, dan berharap.
Akibatnya, belajar sebelum
sekolah menjadi tak terlihat. Ia ada, tetapi tidak diakui. Ia terjadi, tetapi
tidak dihitung.
Padahal Islam sejak awal menolak
pembatasan semacam ini. Belajar tidak dimulai dari usia sekolah, dan tidak
berhenti pada kelulusan. Ia adalah kewajiban sepanjang hayat.
Hadis tentang menuntut ilmu dari
buaian hingga liang lahat bukan sekadar anjuran moral. Ia adalah kritik laten
terhadap segala upaya membatasi belajar pada ruang dan waktu tertentu.
Al-Qur’an pun tidak mengaitkan
kemuliaan ilmu dengan institusi, melainkan dengan dampaknya pada iman dan
derajat manusia. Ilmu yang tidak mengangkat martabat manusia kehilangan
maknanya.
Apa yang bergeser?
Yang bergeser bukan hanya praktik
belajar, tetapi cara kita memaknainya. Belajar tidak lagi dipahami sebagai
proses pembentukan diri, melainkan sebagai jalur administratif menuju status
sosial.
Dalam sistem representasi modern,
belajar direduksi menjadi aktivitas kognitif semata. Dimensi etis, spiritual,
dan sosialnya terpinggirkan.
Sekolah lalu menjadi simbol utama
pembelajaran. Bukan karena ia satu-satunya tempat belajar, tetapi karena ia
memiliki legitimasi simbolik.
Di sinilah doxa bekerja paling
efektif. Kita tidak lagi bertanya mengapa sekolah menjadi pusat makna belajar;
kita hanya menerimanya.
Pengalaman hidup—mengasuh anak,
bekerja, gagal, memperbaiki diri—tidak direpresentasikan sebagai belajar yang
sah. Ia tidak punya bahasa dalam sistem penilaian resmi.
Menurut Stuart Hall, makna tidak
pernah netral. Ia diproduksi dalam relasi kuasa. Ketika belajar
direpresentasikan secara sempit, ada kepentingan yang diuntungkan.
Yang diuntungkan adalah sistem
yang membutuhkan standar, pengukuran, dan klasifikasi. Yang dirugikan adalah
manusia yang belajar dengan cara berbeda.
Belajar Al-Qur’an pun tidak luput
dari pergeseran ini. Ia sering direduksi menjadi hafalan, lomba, dan
sertifikat, sementara transformasi akhlak justru menjadi urusan sekunder.
Hadis tentang keutamaan belajar
dan mengajarkan Al-Qur’an kehilangan daya kritiknya ketika direpresentasikan
secara simbolik semata.
Yang hilang bukan teksnya, tetapi
maknanya. Bukan ajarannya, tetapi daya hidupnya.
Melampaui Doxa, Mengembalikan
Makna
Mengkritik pergeseran ini tidak
mudah. Doxa selalu membalas kritik dengan stigma. Yang mempertanyakan dianggap
tidak realistis, tidak adaptif, atau melawan arus.
Namun Islam sendiri adalah
tradisi yang lahir dari keberanian menantang doxa. Ia hadir untuk mengguncang
kebiasaan yang mapan, bukan sekadar merapikannya.
Belajar, dalam kerangka ini,
adalah aktivitas pembebasan. Ia membebaskan manusia dari kepatuhan buta
terhadap simbol.
Belajar sebelum sekolah berarti
mengakui bahwa manusia adalah makhluk pencari makna sebelum menjadi pencari
gelar.
Ia berarti mengembalikan belajar
ke akar eksistensialnya: memahami diri, Tuhan, dan dunia secara terus-menerus.
Sekolah tetap penting, tetapi
bukan satu-satunya. Ia adalah salah satu ruang belajar, bukan penentu tunggal
makna belajar.
Ketika representasi belajar
diperluas, kita membuka ruang bagi pengalaman manusia yang beragam untuk diakui
sebagai pengetahuan.
Ketika doxa digugat, kita mulai
melihat bahwa yang selama ini dianggap wajar ternyata bisa dipikirkan ulang.
Belajar, pada akhirnya, adalah
amanah. Seperti Adam yang diberi nama-nama, manusia diberi tanggung jawab atas
makna yang ia bangun.
Tanpa kesadaran itu, belajar
hanya akan menjadi rutinitas kosong yang sibuk mengoleksi simbol.
Dan mungkin, krisis pembelajaran
hari ini bukan karena manusia malas belajar, melainkan karena kita lupa bahwa
belajar telah ada jauh sebelum sekolah—dan seharusnya tidak pernah kehilangan
maknanya.***


