Oleh: Syamsul Kurniawan
Pendidikan agama masih sering dipersempit menjadi ruang
hafalan. Ayat dihafal tanpa ditafsir, hadis dicatat tanpa ditanya relevansinya.
Di ujung kelas, nilai menjadi tujuan, bukan keimanan yang membumi.
Di banyak sekolah, murid lebih sibuk mengulang bunyi
ketimbang memahami makna. Mereka mengingat dengan cepat, namun lupa dengan
lebih cepat. Hafalan menjadi prestasi, bukan kesadaran hidup.
Bila agama hanya dibentuk sebagai target ujian, maka ia
terperangkap dalam tabel nilai. Ia tak lagi hadir sebagai cahaya yang menuntun
perilaku. Yang tinggal hanya kurikulum, bukan keteduhan spiritual.
Hafalan sesungguhnya tidak salah. Ia pintu masuk, tapi bukan
ruang tinggal. Yang salah adalah ketika hafalan dijadikan satu-satunya ukuran
keberagamaan.
Pendidikan agama adalah pendidikan karakter, bukan
perlombaan kecakapan memori. Ia seharusnya menumbuhkan nurani, bukan sekadar
memoles kemampuan verbal. Namun realitas hari ini menunjukkan jurang yang cukup
mengkhawatirkan.
Di ruang kelas, murid menjadi pendengar pasif, sementara
guru menjadi otoritas tunggal. Ceramah berlangsung, jam berjalan, tapi makna
tak pernah benar-benar sampai. Monolog menggantikan dialog.
Padahal generasi hari ini dibentuk oleh multimedia, visual,
interaktivitas, dan kecepatan. Mereka hidup di dalam layar dan jejaring. Maka
konsep ceramah satu arah tak lagi memadai untuk membentuk akhlak dan nalar
kritis.
Pendidikan agama kehilangan jiwanya ketika ia berhenti pada
teks. Sebab teks hanya hidup bila ia bergerak dalam tindakan. Tanpa praktik, ia
hanya sekumpulan simbol suci yang dipajang rapi di lembar kertas.
Bentuk pengajaran agama hari ini perlu ditinjau ulang. Bukan
dalam arti mengurangi kedalaman, tetapi dalam cara menyalurkan kedalaman itu.
Zaman berubah, cara menyampaikan pun harus menyesuaikan.
Murid tidak menolak agama. Mereka hanya menolak cara
penyampaian yang tidak menjawab kehidupan mereka. Mereka mencari relevansi,
bukan sekadar hafalan.
Pendidikan agama harus kembali menjadi ruang pembentukan
kepekaan moral. Bukan ruang salin tempel doktrin. Bukan pula ruang yang
membungkam pertanyaan.
Keimanan tumbuh bukan melalui ketakutan, tetapi melalui
penghayatan. Agama tidak hidup di otak semata, melainkan di cara manusia
memperlakukan manusia yang lain. Itulah inti pembelajaran yang hilang.
Ketika pendidikan agama terjebak dalam pengulangan bunyi, ia
gagal menyentuh dimensi etis. Ia berhenti pada bacaan, padahal tugasnya
menuntun ke tindakan. Ia mengisi memori, tapi tidak menggetarkan hati.
Maka perlu ada pergeseran arah: dari hafalan menuju
kesadaran. Dari teks menuju praksis. Dari kata menuju akhlak.
Model pembelajaran agama tidak lagi boleh bergantung pada
metode ceramah. Ia harus membuka ruang dialog, diskusi, kolaborasi, dan
refleksi. Sebab iman juga tumbuh melalui pengalaman bersama.
Jangan Jadi Pungguk Merindukan Bulan
Kita tidak bisa berharap murid mencintai nilai agama apabila
cara menyampaikannya tetap beku dan tak berjiwa. Harapan tanpa inovasi hanyalah
kerinduan yang tak berujung. Seperti pungguk merindukan bulan, kita menanti
hasil tanpa mengubah jalan.
Murid dianggap malas, tidak fokus, atau tidak hormat pada
pelajaran agama. Padahal justru metode kaku yang membuat mereka menjauh. Mereka
ingin memahami hidup, bukan sekadar menebalkan catatan.
Harapan guru agar murid mengamalkan ajaran agama hanya bisa
terwujud bila murid terlebih dahulu merasakan makna itu. Makna tidak hadir
melalui hafalan semata. Ia hadir melalui pengalaman yang dipandu.
Sekolah sering meminta murid “berakhlak”, namun tidak
menyediakan ruang belajar akhlak. Mereka diperintah bersikap baik, tapi tidak
diajak memahami alasan mengapa kebaikan itu penting. Yang lahir adalah
kepatuhan kosong, bukan kesadaran.
Maka pendidikan agama tak boleh menuntut hasil bila ia
menolak beradaptasi. Tidak bisa memetik buah bila tidak menyiram sehingga
berakar. Tidak bisa meminta nurani tumbuh bila hanya menjejalkan hafalan.
Mengajar tanpa menyentuh jiwa hanya akan menghasilkan
kesalehan formalitas. Bukan kesalehan yang hadir dalam relasi manusia dan
tanggung jawab sosial. Pendidikan agama harus melampaui simbol.
Guru perlu memahami bahwa murid bukan bejana kosong. Mereka
adalah subjek pencarian makna. Tugas guru adalah menjadi penuntun, bukan
penguasa makna.
Maka harapan tidak boleh lebih tinggi daripada usaha. Bila
ingin murid beriman secara utuh, maka pembelajaran harus utuh pula. Bila ingin
akhlak lahir, maka ruang penghayatan harus dibuka.
Dari Hafalan ke Kesadaran: Mendesain Ulang Tafsir
Pembelajaran Agama
Pendidikan agama harus bergerak dari sekadar mengulang bunyi
menuju pemahaman yang menggugah pengalaman. Nilai tidak cukup diketahui, tetapi
harus dialami. Di situlah fungsi guru sebagai fasilitator nurani.
Mengajarkan ayat tanpa membuka dialog sama saja dengan
memberikan peta tanpa menunjukkan arah. Murid membaca, tetapi tidak sampai pada
tujuan. Itulah mengapa tafsir perlu hadir dalam konteks kehidupan.
Model pembelajaran konstruktif memberikan ruang bagi murid
untuk menafsirkan berdasarkan realitasnya. Tafsir bukan sekadar ilmu, tetapi
cara berjalan dalam hidup. Dalam cara itu, iman menjadi terasa.
Pembelajaran agama yang dialogis akan melahirkan kesadaran
moral yang otentik. Murid tidak lagi berbuat baik karena diawasi, tetapi karena
ia memahami alasan etis dan spiritual di balik perintah itu. Kesadaran
menggantikan ketakutan.
Pendidikan agama harus mengintegrasikan empati, kolaborasi,
dan tanggung jawab sosial. Nilai agama bukan arsip di kepala, tetapi kompas
untuk hidup. Tanpa kompas, hafalan hanyalah angka.
Guru yang peka zaman mampu menjadikan agama bukan beban,
tetapi teman perjalanan. Bukan jam pelajaran yang melelahkan, tetapi jam yang
dinanti. Pembelajaran menjadi ruang pulang, bukan ruang lari.
Pada akhirnya, pendidikan agama tidak ditentukan oleh
banyaknya ayat yang diingat, tetapi oleh seberapa dalam ia menjelma tindakan.
Agama bukan repetisi bunyi, melainkan tarikat hidup. Jika pembelajaran
menemukan cara itu, murid tak hanya menghafal, tapi bersaksi lewat akhlak.***


