Iklan

Pendidikan Agama Kok Hafalan Doang?

syamsul kurniawan
Tuesday, December 9, 2025
Last Updated 2025-12-10T09:01:20Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 



Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pendidikan agama masih sering dipersempit menjadi ruang hafalan. Ayat dihafal tanpa ditafsir, hadis dicatat tanpa ditanya relevansinya. Di ujung kelas, nilai menjadi tujuan, bukan keimanan yang membumi.

 

Di banyak sekolah, murid lebih sibuk mengulang bunyi ketimbang memahami makna. Mereka mengingat dengan cepat, namun lupa dengan lebih cepat. Hafalan menjadi prestasi, bukan kesadaran hidup.

 

Bila agama hanya dibentuk sebagai target ujian, maka ia terperangkap dalam tabel nilai. Ia tak lagi hadir sebagai cahaya yang menuntun perilaku. Yang tinggal hanya kurikulum, bukan keteduhan spiritual.

 

Hafalan sesungguhnya tidak salah. Ia pintu masuk, tapi bukan ruang tinggal. Yang salah adalah ketika hafalan dijadikan satu-satunya ukuran keberagamaan.

 

Pendidikan agama adalah pendidikan karakter, bukan perlombaan kecakapan memori. Ia seharusnya menumbuhkan nurani, bukan sekadar memoles kemampuan verbal. Namun realitas hari ini menunjukkan jurang yang cukup mengkhawatirkan.

 

Di ruang kelas, murid menjadi pendengar pasif, sementara guru menjadi otoritas tunggal. Ceramah berlangsung, jam berjalan, tapi makna tak pernah benar-benar sampai. Monolog menggantikan dialog.

 

Padahal generasi hari ini dibentuk oleh multimedia, visual, interaktivitas, dan kecepatan. Mereka hidup di dalam layar dan jejaring. Maka konsep ceramah satu arah tak lagi memadai untuk membentuk akhlak dan nalar kritis.

 

Pendidikan agama kehilangan jiwanya ketika ia berhenti pada teks. Sebab teks hanya hidup bila ia bergerak dalam tindakan. Tanpa praktik, ia hanya sekumpulan simbol suci yang dipajang rapi di lembar kertas.

 

Bentuk pengajaran agama hari ini perlu ditinjau ulang. Bukan dalam arti mengurangi kedalaman, tetapi dalam cara menyalurkan kedalaman itu. Zaman berubah, cara menyampaikan pun harus menyesuaikan.

 

Murid tidak menolak agama. Mereka hanya menolak cara penyampaian yang tidak menjawab kehidupan mereka. Mereka mencari relevansi, bukan sekadar hafalan.

 

Pendidikan agama harus kembali menjadi ruang pembentukan kepekaan moral. Bukan ruang salin tempel doktrin. Bukan pula ruang yang membungkam pertanyaan.

 

Keimanan tumbuh bukan melalui ketakutan, tetapi melalui penghayatan. Agama tidak hidup di otak semata, melainkan di cara manusia memperlakukan manusia yang lain. Itulah inti pembelajaran yang hilang.

 

Ketika pendidikan agama terjebak dalam pengulangan bunyi, ia gagal menyentuh dimensi etis. Ia berhenti pada bacaan, padahal tugasnya menuntun ke tindakan. Ia mengisi memori, tapi tidak menggetarkan hati.

 

Maka perlu ada pergeseran arah: dari hafalan menuju kesadaran. Dari teks menuju praksis. Dari kata menuju akhlak.

 

Model pembelajaran agama tidak lagi boleh bergantung pada metode ceramah. Ia harus membuka ruang dialog, diskusi, kolaborasi, dan refleksi. Sebab iman juga tumbuh melalui pengalaman bersama.

 

Jangan Jadi Pungguk Merindukan Bulan

 

Kita tidak bisa berharap murid mencintai nilai agama apabila cara menyampaikannya tetap beku dan tak berjiwa. Harapan tanpa inovasi hanyalah kerinduan yang tak berujung. Seperti pungguk merindukan bulan, kita menanti hasil tanpa mengubah jalan.

 

Murid dianggap malas, tidak fokus, atau tidak hormat pada pelajaran agama. Padahal justru metode kaku yang membuat mereka menjauh. Mereka ingin memahami hidup, bukan sekadar menebalkan catatan.

 

Harapan guru agar murid mengamalkan ajaran agama hanya bisa terwujud bila murid terlebih dahulu merasakan makna itu. Makna tidak hadir melalui hafalan semata. Ia hadir melalui pengalaman yang dipandu.

 

Sekolah sering meminta murid “berakhlak”, namun tidak menyediakan ruang belajar akhlak. Mereka diperintah bersikap baik, tapi tidak diajak memahami alasan mengapa kebaikan itu penting. Yang lahir adalah kepatuhan kosong, bukan kesadaran.

 

Maka pendidikan agama tak boleh menuntut hasil bila ia menolak beradaptasi. Tidak bisa memetik buah bila tidak menyiram sehingga berakar. Tidak bisa meminta nurani tumbuh bila hanya menjejalkan hafalan.

 

Mengajar tanpa menyentuh jiwa hanya akan menghasilkan kesalehan formalitas. Bukan kesalehan yang hadir dalam relasi manusia dan tanggung jawab sosial. Pendidikan agama harus melampaui simbol.

 

Guru perlu memahami bahwa murid bukan bejana kosong. Mereka adalah subjek pencarian makna. Tugas guru adalah menjadi penuntun, bukan penguasa makna.

 

Maka harapan tidak boleh lebih tinggi daripada usaha. Bila ingin murid beriman secara utuh, maka pembelajaran harus utuh pula. Bila ingin akhlak lahir, maka ruang penghayatan harus dibuka.

 

Dari Hafalan ke Kesadaran: Mendesain Ulang Tafsir Pembelajaran Agama

 

Pendidikan agama harus bergerak dari sekadar mengulang bunyi menuju pemahaman yang menggugah pengalaman. Nilai tidak cukup diketahui, tetapi harus dialami. Di situlah fungsi guru sebagai fasilitator nurani.

 

Mengajarkan ayat tanpa membuka dialog sama saja dengan memberikan peta tanpa menunjukkan arah. Murid membaca, tetapi tidak sampai pada tujuan. Itulah mengapa tafsir perlu hadir dalam konteks kehidupan.

 

Model pembelajaran konstruktif memberikan ruang bagi murid untuk menafsirkan berdasarkan realitasnya. Tafsir bukan sekadar ilmu, tetapi cara berjalan dalam hidup. Dalam cara itu, iman menjadi terasa.

 

Pembelajaran agama yang dialogis akan melahirkan kesadaran moral yang otentik. Murid tidak lagi berbuat baik karena diawasi, tetapi karena ia memahami alasan etis dan spiritual di balik perintah itu. Kesadaran menggantikan ketakutan.

 

Pendidikan agama harus mengintegrasikan empati, kolaborasi, dan tanggung jawab sosial. Nilai agama bukan arsip di kepala, tetapi kompas untuk hidup. Tanpa kompas, hafalan hanyalah angka.

 

Guru yang peka zaman mampu menjadikan agama bukan beban, tetapi teman perjalanan. Bukan jam pelajaran yang melelahkan, tetapi jam yang dinanti. Pembelajaran menjadi ruang pulang, bukan ruang lari.

 

Pada akhirnya, pendidikan agama tidak ditentukan oleh banyaknya ayat yang diingat, tetapi oleh seberapa dalam ia menjelma tindakan. Agama bukan repetisi bunyi, melainkan tarikat hidup. Jika pembelajaran menemukan cara itu, murid tak hanya menghafal, tapi bersaksi lewat akhlak.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now