Oleh: Syamsul Kurniawan
Di banyak tempat di Sumatera, air kembali menguasai ruang yang seharusnya
menjadi milik manusia. Sungai meluap, tanah longsor, dan rumah-rumah hanyut
menuju tempat yang tidak pernah mereka pilih. Angka korban hingga hari ini mencapai 631 jiwa,
dan lebih dari 12.546 keluarga terpaksa pergi meninggalkan apa yang mereka
sebut rumah.
BNPB menyampaikan bahwa data itu belum final. Ada desa yang terisolasi,
jaringan komunikasi putus, dan medan yang mustahil ditembus. Bencana ini tidak
hanya menutup jalan; ia menutup kemungkinan untuk segera memahami seberapa
besar skala kerusakan yang sebenarnya.
Setiap kali air menggenang, kita tergoda untuk menyebutnya “takdir alam”.
Namun, alam jarang bekerja tiba-tiba. Ia bergerak mengikuti pola yang sudah
lama kita abaikan.
QS. Ar-Rum:41 menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut muncul akibat
perbuatan manusia. Ayat itu bukan hanya teguran, tetapi juga cermin yang
menampilkan kontribusi kita terhadap kerusakan yang kini menelan banyak korban.
Hutan-hutan di Sumatera menyusut. Daerah resapan air hilang. Bukit yang dulu
hijau berubah menjadi bidang-bidang coklat yang rapuh. Ketika akar-akar pergi,
tanah kehilangan genggamannya pada dirinya sendiri.
Hujan deras hanya menyelesaikan apa yang sudah lama kita mulai: menggunduli,
menyederhanakan ekosistem, dan memaksa bukit berdiri tanpa penyangga.
Tetapi kita sering mengemas bencana sebagai gejala alam semata, seolah manusia
tidak memiliki peran dalam mengaturnya. Padahal, Tuhan tidak pernah
memerintahkan pembukaan lahan tanpa kendali, atau izin-izin yang ditandatangani
tanpa menimbang masa depan.
Banjir dan longsor bukan sekadar peristiwa fisik. Ia menjadi semacam
pernyataan: bahwa alam sedang menagih janji penjaganya.
Akar Masalahnya
Untuk memahami mengapa tanah runtuh dan air meluap, kita harus melihat
lapisan-lapisan yang membentuk realitas sosial, ekonomi, dan spiritual kita
hari ini.
Michel Foucault (1969/1975) menawarkan pandangan bahwa kekuasaan tidak hanya
ada di tangan negara. Kekuasaan menyebar, hadir dalam institusi, kebiasaan, dan
wacana yang sehari-hari kita anggap normal.
Bencana ekologis tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia muncul dari
hubungan-hubungan kuasa yang memproduksi “kebenaran” tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan terhadap alam.
Foucault (1969/1975) menegaskan bahwa kekuasaan tidak melulu menekan; ia juga
membentuk cara berpikir. Ia membuat kita percaya bahwa pembangunan mesti terus
mengorbankan hutan.
Dalam proses itu, masyarakat dibentuk menjadi subjek yang patuh: menerima bukit
gundul sebagai kemajuan, menyetujui penyempitan sungai sebagai konsekuensi.
Pengawasan yang seharusnya mengontrol kerusakan sering berubah menjadi
formalitas administratif. Regulasi ada, tetapi longgar; sanksi tertulis, tetapi
jarang efektif.
Melalui disiplin yang terselubung, kekuasaan mengajarkan kita menganggap
kerusakan sebagai hal biasa. Kita lupa bahwa setiap izin yang dikeluarkan
memiliki konsekuensi ekologis jangka panjang.
Jika Foucault (1969/1975) membedah dimensi kekuasaan, Seyyed Hossein Nasr
(1997) membedah dimensi jiwa. Ia menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah
krisis spiritual manusia modern.
Menurut Nasr (1997), modernitas menggeser alam dari posisi sakral menjadi objek
ekonomi. Ia bukan lagi sesuatu yang dihormati, melainkan “sumber daya” yang
siap dikuras.
Ilmu pengetahuan modern yang mekanistik memperkuat cara pandang ini. Alam
dianggap mesin, bukan ciptaan yang memiliki nilai intrinsik.
Ketika makna spiritual pudar, keserakahan menemukan ruangnya. Dan eksploitasi
pun dianggap wajar.
Nasr (1997) mengajak kita kembali ke kesadaran spiritual: memandang alam
sebagai ayat Tuhan, bukan komoditas.
Dalam kerangka itu, menjaga ekosistem menjadi bagian dari ibadah. Merusaknya
adalah bentuk pengingkaran.
Pemikiran ini sangat relevan bagi Indonesia, bangsa yang secara budaya dekat
dengan alam namun secara praktik menjauh darinya.
Banjir dan longsor di Sumatera memperlihatkan bahwa kita sedang mengalami
krisis bukan hanya ekologis, tetapi juga krisis nilai, krisis hubungan
spiritual dengan bumi tempat kita berpijak.
Ketika bukit runtuh, itu bukan hanya gugurnya tanah. Itu gugurnya bagian dari
janji kita sebagai penjaga bumi. Janji yang kita ucapkan dalam doa, tetapi kita
abaikan dalam tindakan.
Wacana pembangunan yang tidak seimbang menunjukkan bagaimana kekuasaan
membentuk perilaku kita. Kita melupakan batas, dan batas itu kini menagih
konsekuensinya.
Dalam ketidakseimbangan itu, kerusakan menemukan momentumnya. Alam memberi
isyarat berulang, tetapi kita sibuk menegakkan kepentingan jangka pendek.
Di banyak wilayah, pembukaan lahan yang tidak terkendali terjadi bukan hanya
karena lemahnya hukum, tetapi karena kuatnya jaringan kepentingan.
Dan ketika kepentingan itu menguat, alam melemah. Ia kehilangan ruang nafasnya
perlahan.
Ketika bencana akhirnya tiba, kita menyebutnya musibah. Padahal, itu adalah
hasil akumulasi keputusan yang dilakukan manusia selama bertahun-tahun.
Nasr (1997) menegaskan bahwa ketika manusia kehilangan kesadaran spiritualnya,
ia kehilangan empati terhadap alam. Dan dari sana, kerusakan menjadi tak
terhindarkan.
Ekologi spiritual yang ia tawarkan bukan romantisme. Ia menawarkan fondasi
moral yang selama ini hilang dalam kebijakan lingkungan kita.
Indonesia membutuhkan paradigma pembangunan yang berakar
pada etika ekologis, bukan sekadar hitungan pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat pun perlu mengembalikan cara pandang bahwa alam bukan benda mati. Ia
hidup, dan ia merespons.
Pada akhirnya, alam tidak pernah membalas dengan dendam. Ia hanya bekerja
mengikuti hukum-hukumnya sendiri. Dan ketika hukum itu dilanggar, ia menagih
janji yang pernah kita ucapkan sebagai penjaga.
Banjir dan longsor di Sumatera adalah pengingat keras: bahwa kita sedang diajak
kembali kepada komitmen yang dulu kita buat—menjaga bumi seperti menjaga diri
sendiri. Dan sebelum bencana menjadi bahasa terakhir alam, sudah waktunya kita
menjawab panggilan itu.***


