Oleh: Syamsul Kurniawan
KEKERASAN seksual di kampus-kampus
Indonesia adalah masalah yang tidak lagi bisa dibiarkan berlalu begitu saja.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu ini menjadi sorotan yang semakin meningkat.
Meskipun banyak kampus mengklaim telah berusaha menciptakan lingkungan yang
aman dan inklusif, kenyataannya, kekerasan seksual tetap menjadi masalah yang
kerap terabaikan. Untuk memahami mengapa kekerasan seksual masih terjadi di
kampus, kita perlu menelusuri akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu
patriarki yang mengakar dalam struktur pendidikan kita. Seperti sebuah
gelembung yang terus berkembang, patriarki ini melingkupi semua aspek kehidupan
kampus, menciptakan ketidaksetaraan yang mengarah pada kekerasan seksual.
Patriarki di kampus bukanlah hal baru.
Dalam banyak kasus, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan
mencerminkan struktur patriarkal yang telah lama terinstitusionalisasi.
Patriarki yang terinstitusionalisasi ini bukan hanya menyangkut ketidaksetaraan
antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap
perempuan dalam dunia pendidikan. Dosen laki-laki yang memegang posisi
otoritas, sementara mahasiswa perempuan ditempatkan dalam posisi subordinasi.
Hal ini menciptakan ruang yang tidak aman bagi perempuan, di mana mereka
seringkali terjebak dalam relasi yang timpang dan tidak dapat melindungi diri
mereka sendiri.
Ketidaksetaraan Gender: Akar
Kekerasan Seksual di Kampus
Ketidaksetaraan gender yang ada di
masyarakat kita, secara langsung maupun tidak langsung, menciptakan lingkungan
yang mendukung kekerasan seksual di kampus. Dalam perspektif Simone de Beauvoir
(1989), perempuan seringkali dipandang sebagai "yang lain"—sebuah
entitas yang selalu berusaha memenuhi ekspektasi dan norma yang ditentukan oleh
patriarki. Dalam dunia pendidikan, perempuan tidak dilihat sebagai subjek
dengan kebebasan dan hak yang setara, melainkan lebih sering diposisikan
sebagai objek. Dalam banyak kasus, perempuan di kampus dipandang sebagai
pelengkap bagi laki-laki, dan hal ini membuka peluang bagi kekerasan seksual
terjadi.
Salah satu alasan mengapa kekerasan
seksual sering terjadi di kampus adalah penyalahgunaan kebebasan akademik.
Kebebasan akademik adalah hak yang diberikan kepada para pengajar dan mahasiswa
untuk mengeksplorasi pemikiran dan ide-ide tanpa adanya tekanan dari luar.
Namun, dalam beberapa kasus, kebebasan ini disalahgunakan oleh oknum dosen yang
merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi mahasiswi di bawah wewenangnya. Dosen
yang melakukan kekerasan seksual sering kali berdalih bahwa tindakan mereka
adalah bagian dari kebebasan akademik atau hubungan profesional yang sah.
Inilah ironi besar dalam sistem pendidikan kita—kebebasan yang seharusnya
melindungi justru digunakan sebagai tameng untuk melanggengkan kekerasan.
Relasi antara dosen dan mahasiswa yang
tidak setara sering kali membuat perempuan merasa tidak berdaya dan
terperangkap dalam situasi yang sulit. Mahasiswi sering kali berada dalam
posisi yang sangat bergantung pada dosen, baik dalam hal akademik maupun karir
mereka di masa depan. Posisi ini memaksa perempuan untuk bertahan dalam relasi
yang tidak sehat karena takut jika mereka melaporkan tindakan pelecehan, hal
tersebut akan merusak masa depan akademik mereka. Hal ini menciptakan lingkaran
setan di kampus, di mana korban merasa tidak memiliki ruang untuk berbicara dan
melawan tindakan kekerasan yang mereka alami.
Jadi, kekerasan seksual di kampus bukan
hanya masalah individu atau oknum pelaku. Kekerasan ini terjadi karena adanya
struktur kekuasaan yang mendalam yang terus beroperasi dalam sistem pendidikan
kita. Dosen atau tenaga pengajar yang memiliki posisi otoritas sering kali
menyalahgunakan wewenangnya untuk menindas mahasiswa, terutama perempuan.
Kekuasaan yang terpusat pada satu pihak, dalam hal ini dosen, membuka celah
bagi eksploitasi yang tidak terkontrol. Hal ini semakin memperburuk
ketidaksetaraan yang ada di kampus, di mana perempuan tidak diberikan ruang
untuk membela hak mereka.
Butuh Reformasi Kebijakan dan
Pendidikan Kesetaraan Gender
Dalam banyak kasus, kampus seolah
menjadi ruang yang terisolasi dari pengawasan sosial. Kampus dianggap sebagai
tempat di mana kebebasan intelektual dan akademik harus dilindungi, namun hal
ini sering kali disalahpahami. Di banyak kampus, kasus kekerasan seksual sering
kali ditutup-tutupi untuk menjaga reputasi institusi tersebut. Korban yang
ingin melapor sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus
menghadapi stigma dan bahkan intimidasi. Dalam situasi seperti ini, kampus
tidak lagi menjadi ruang yang aman bagi perempuan, tetapi malah menjadi tempat
yang memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual.
Sebagai lembaga pendidikan, kampus
seharusnya menjadi ruang yang mempromosikan kesetaraan, keadilan, dan
kebebasan. Namun kenyataannya, kampus-kampus di Indonesia sering gagal
menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Sistem pendidikan kita masih terperangkap
dalam pola pikir patriarkal yang memperkuat ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam konteks ini, kampus-kampus bukan hanya gagal memberikan
perlindungan kepada korban kekerasan seksual, tetapi juga sering kali
memberikan perlindungan kepada pelaku. Tanpa ada langkah tegas dan kebijakan
yang melindungi perempuan, kekerasan seksual akan terus menjadi masalah yang
tak kunjung selesai.
Salah satu penyebab utama kekerasan
seksual yang terus terjadi di kampus juga adalah lemahnya kebijakan yang ada
untuk melindungi korban. Di banyak kampus, kebijakan untuk menangani kasus
kekerasan seksual tidak cukup jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Proses
pelaporan yang tidak transparan dan sering kali membingungkan korban membuat
mereka takut untuk melapor. Banyak korban yang merasa bahwa melaporkan kasus
kekerasan seksual akan berujung pada konsekuensi negatif bagi mereka, baik
secara sosial maupun akademis. Kampus perlu memperbaiki sistem pelaporan dan
memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang memadai.
Untuk mengatasi kekerasan seksual di
kampus, diperlukan reformasi yang mendalam dalam kebijakan yang ada. Kampus
perlu memiliki kebijakan yang jelas dan tegas tentang pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual. Selain itu, pendidikan mengenai kesetaraan gender harus
menjadi bagian integral dari kurikulum di setiap kampus. Pelatihan mengenai
hak-hak perempuan dan pencegahan kekerasan seksual harus diberikan kepada
seluruh civitas akademika, baik mahasiswa maupun dosen, agar kesadaran tentang
isu ini dapat meningkat.
Menurut Jürgen Habermas dalam The
Structural Transformation of the Public Sphere (1991), ruang publik adalah
tempat di mana warga negara dapat berdiskusi secara bebas dan terbuka tentang
isu-isu yang penting, tanpa adanya dominasi kekuasaan. Dalam konteks kampus,
ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana mahasiswa, terutama perempuan,
dapat berbicara dan mengungkapkan pengalaman mereka tanpa rasa takut akan
pembalasan atau stigma. Kampus perlu membangun ruang publik yang lebih terbuka
dan inklusif, di mana korban kekerasan seksual dapat berbicara dengan aman dan
didukung untuk mendapatkan keadilan.
Kekerasan seksual di kampus jelas bukan
hanya masalah individu atau institusi pendidikan tertentu, tetapi masalah
sosial yang harus dipecahkan secara kolektif. Masyarakat, sebagai bagian dari
sistem pendidikan, harus lebih sadar akan pentingnya menciptakan ruang yang
aman bagi perempuan di kampus. Ini bukan hanya tentang kebijakan kampus, tetapi
juga tentang membangun kesadaran bersama tentang perlunya kesetaraan dan
keadilan di semua lapisan masyarakat, termasuk di dunia pendidikan.
Pentingnya Peran Negara dalam
Penegakan Hukum
Selain kampus, negara juga memiliki
peran penting dalam menanggulangi kekerasan seksual di kampus. Negara harus
memastikan bahwa hukum yang ada untuk melindungi perempuan diterapkan dengan
efektif. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, termasuk
di lingkungan pendidikan, sangat penting untuk mencegah berulangnya kasus-kasus
kekerasan. Negara harus memperkuat kebijakan yang ada dan memastikan bahwa
setiap laporan kekerasan seksual ditindaklanjuti dengan serius.
Untuk menciptakan kampus yang bebas dari
kekerasan seksual, kita memerlukan sistem pendidikan yang responsif dan
inklusif. Kampus harus menjadi tempat yang memfasilitasi keberagaman dan
kesetaraan, di mana perempuan dapat berkembang dan belajar tanpa rasa takut
akan eksploitasi atau kekerasan. Pendidikan yang mengedepankan kesetaraan
gender dan penghormatan terhadap hak perempuan harus menjadi bagian dari sistem
pendidikan tinggi di Indonesia.
Reformasi dalam sistem pendidikan tinggi
bukanlah hal yang mudah, tetapi perubahan ini sangat penting untuk menciptakan
kampus yang lebih aman bagi perempuan. Dengan memperkenalkan kebijakan yang
jelas dan tegas, membangun ruang yang aman untuk berdiskusi, dan meningkatkan
kesadaran tentang kesetaraan gender, kita dapat menciptakan lingkungan
pendidikan yang lebih baik dan bebas dari kekerasan seksual. Perubahan ini
harus datang dari dalam, dari kampus itu sendiri, dan didorong oleh kesadaran
kolektif semua pihak yang terlibat.
Kekerasan seksual di kampus adalah
cerminan dari patriarki yang terinstitusionalisasi dalam struktur pendidikan
kita. Agar kekerasan seksual bisa diatasi, kita perlu menembus gelembung
patriarki yang membatasi hak perempuan untuk merasa aman dan dihargai.
Reformasi dalam kebijakan pendidikan, peningkatan kesadaran gender, serta
penegakan hukum yang tegas adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk
menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Kampus harus menjadi
ruang yang tidak hanya menjunjung kebebasan akademik, tetapi juga kesetaraan,
keadilan, dan perlindungan bagi semua warganya.***