Iklan

Kekerasan Seksual di Kampus: Menembus Gelembung Patriarki

syamsul kurniawan
Tuesday, May 13, 2025
Last Updated 2025-05-13T09:18:55Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

KEKERASAN seksual di kampus-kampus Indonesia adalah masalah yang tidak lagi bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Dalam beberapa tahun terakhir, isu ini menjadi sorotan yang semakin meningkat. Meskipun banyak kampus mengklaim telah berusaha menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, kenyataannya, kekerasan seksual tetap menjadi masalah yang kerap terabaikan. Untuk memahami mengapa kekerasan seksual masih terjadi di kampus, kita perlu menelusuri akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu patriarki yang mengakar dalam struktur pendidikan kita. Seperti sebuah gelembung yang terus berkembang, patriarki ini melingkupi semua aspek kehidupan kampus, menciptakan ketidaksetaraan yang mengarah pada kekerasan seksual.

 

Patriarki di kampus bukanlah hal baru. Dalam banyak kasus, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan mencerminkan struktur patriarkal yang telah lama terinstitusionalisasi. Patriarki yang terinstitusionalisasi ini bukan hanya menyangkut ketidaksetaraan antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap perempuan dalam dunia pendidikan. Dosen laki-laki yang memegang posisi otoritas, sementara mahasiswa perempuan ditempatkan dalam posisi subordinasi. Hal ini menciptakan ruang yang tidak aman bagi perempuan, di mana mereka seringkali terjebak dalam relasi yang timpang dan tidak dapat melindungi diri mereka sendiri.

 

Ketidaksetaraan Gender: Akar Kekerasan Seksual di Kampus

Ketidaksetaraan gender yang ada di masyarakat kita, secara langsung maupun tidak langsung, menciptakan lingkungan yang mendukung kekerasan seksual di kampus. Dalam perspektif Simone de Beauvoir (1989), perempuan seringkali dipandang sebagai "yang lain"—sebuah entitas yang selalu berusaha memenuhi ekspektasi dan norma yang ditentukan oleh patriarki. Dalam dunia pendidikan, perempuan tidak dilihat sebagai subjek dengan kebebasan dan hak yang setara, melainkan lebih sering diposisikan sebagai objek. Dalam banyak kasus, perempuan di kampus dipandang sebagai pelengkap bagi laki-laki, dan hal ini membuka peluang bagi kekerasan seksual terjadi.

 

Salah satu alasan mengapa kekerasan seksual sering terjadi di kampus adalah penyalahgunaan kebebasan akademik. Kebebasan akademik adalah hak yang diberikan kepada para pengajar dan mahasiswa untuk mengeksplorasi pemikiran dan ide-ide tanpa adanya tekanan dari luar. Namun, dalam beberapa kasus, kebebasan ini disalahgunakan oleh oknum dosen yang merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi mahasiswi di bawah wewenangnya. Dosen yang melakukan kekerasan seksual sering kali berdalih bahwa tindakan mereka adalah bagian dari kebebasan akademik atau hubungan profesional yang sah. Inilah ironi besar dalam sistem pendidikan kita—kebebasan yang seharusnya melindungi justru digunakan sebagai tameng untuk melanggengkan kekerasan.

 

Relasi antara dosen dan mahasiswa yang tidak setara sering kali membuat perempuan merasa tidak berdaya dan terperangkap dalam situasi yang sulit. Mahasiswi sering kali berada dalam posisi yang sangat bergantung pada dosen, baik dalam hal akademik maupun karir mereka di masa depan. Posisi ini memaksa perempuan untuk bertahan dalam relasi yang tidak sehat karena takut jika mereka melaporkan tindakan pelecehan, hal tersebut akan merusak masa depan akademik mereka. Hal ini menciptakan lingkaran setan di kampus, di mana korban merasa tidak memiliki ruang untuk berbicara dan melawan tindakan kekerasan yang mereka alami.

 

Jadi, kekerasan seksual di kampus bukan hanya masalah individu atau oknum pelaku. Kekerasan ini terjadi karena adanya struktur kekuasaan yang mendalam yang terus beroperasi dalam sistem pendidikan kita. Dosen atau tenaga pengajar yang memiliki posisi otoritas sering kali menyalahgunakan wewenangnya untuk menindas mahasiswa, terutama perempuan. Kekuasaan yang terpusat pada satu pihak, dalam hal ini dosen, membuka celah bagi eksploitasi yang tidak terkontrol. Hal ini semakin memperburuk ketidaksetaraan yang ada di kampus, di mana perempuan tidak diberikan ruang untuk membela hak mereka.

 

Butuh Reformasi Kebijakan dan Pendidikan Kesetaraan Gender

 

Dalam banyak kasus, kampus seolah menjadi ruang yang terisolasi dari pengawasan sosial. Kampus dianggap sebagai tempat di mana kebebasan intelektual dan akademik harus dilindungi, namun hal ini sering kali disalahpahami. Di banyak kampus, kasus kekerasan seksual sering kali ditutup-tutupi untuk menjaga reputasi institusi tersebut. Korban yang ingin melapor sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus menghadapi stigma dan bahkan intimidasi. Dalam situasi seperti ini, kampus tidak lagi menjadi ruang yang aman bagi perempuan, tetapi malah menjadi tempat yang memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual.

 

Sebagai lembaga pendidikan, kampus seharusnya menjadi ruang yang mempromosikan kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Namun kenyataannya, kampus-kampus di Indonesia sering gagal menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Sistem pendidikan kita masih terperangkap dalam pola pikir patriarkal yang memperkuat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini, kampus-kampus bukan hanya gagal memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, tetapi juga sering kali memberikan perlindungan kepada pelaku. Tanpa ada langkah tegas dan kebijakan yang melindungi perempuan, kekerasan seksual akan terus menjadi masalah yang tak kunjung selesai.

 

Salah satu penyebab utama kekerasan seksual yang terus terjadi di kampus juga adalah lemahnya kebijakan yang ada untuk melindungi korban. Di banyak kampus, kebijakan untuk menangani kasus kekerasan seksual tidak cukup jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Proses pelaporan yang tidak transparan dan sering kali membingungkan korban membuat mereka takut untuk melapor. Banyak korban yang merasa bahwa melaporkan kasus kekerasan seksual akan berujung pada konsekuensi negatif bagi mereka, baik secara sosial maupun akademis. Kampus perlu memperbaiki sistem pelaporan dan memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang memadai.

 

Untuk mengatasi kekerasan seksual di kampus, diperlukan reformasi yang mendalam dalam kebijakan yang ada. Kampus perlu memiliki kebijakan yang jelas dan tegas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, pendidikan mengenai kesetaraan gender harus menjadi bagian integral dari kurikulum di setiap kampus. Pelatihan mengenai hak-hak perempuan dan pencegahan kekerasan seksual harus diberikan kepada seluruh civitas akademika, baik mahasiswa maupun dosen, agar kesadaran tentang isu ini dapat meningkat.

 

Menurut Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1991), ruang publik adalah tempat di mana warga negara dapat berdiskusi secara bebas dan terbuka tentang isu-isu yang penting, tanpa adanya dominasi kekuasaan. Dalam konteks kampus, ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana mahasiswa, terutama perempuan, dapat berbicara dan mengungkapkan pengalaman mereka tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigma. Kampus perlu membangun ruang publik yang lebih terbuka dan inklusif, di mana korban kekerasan seksual dapat berbicara dengan aman dan didukung untuk mendapatkan keadilan.

 

Kekerasan seksual di kampus jelas bukan hanya masalah individu atau institusi pendidikan tertentu, tetapi masalah sosial yang harus dipecahkan secara kolektif. Masyarakat, sebagai bagian dari sistem pendidikan, harus lebih sadar akan pentingnya menciptakan ruang yang aman bagi perempuan di kampus. Ini bukan hanya tentang kebijakan kampus, tetapi juga tentang membangun kesadaran bersama tentang perlunya kesetaraan dan keadilan di semua lapisan masyarakat, termasuk di dunia pendidikan.

 

Pentingnya Peran Negara dalam Penegakan Hukum

Selain kampus, negara juga memiliki peran penting dalam menanggulangi kekerasan seksual di kampus. Negara harus memastikan bahwa hukum yang ada untuk melindungi perempuan diterapkan dengan efektif. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, termasuk di lingkungan pendidikan, sangat penting untuk mencegah berulangnya kasus-kasus kekerasan. Negara harus memperkuat kebijakan yang ada dan memastikan bahwa setiap laporan kekerasan seksual ditindaklanjuti dengan serius.

 

Untuk menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual, kita memerlukan sistem pendidikan yang responsif dan inklusif. Kampus harus menjadi tempat yang memfasilitasi keberagaman dan kesetaraan, di mana perempuan dapat berkembang dan belajar tanpa rasa takut akan eksploitasi atau kekerasan. Pendidikan yang mengedepankan kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak perempuan harus menjadi bagian dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia.

 

Reformasi dalam sistem pendidikan tinggi bukanlah hal yang mudah, tetapi perubahan ini sangat penting untuk menciptakan kampus yang lebih aman bagi perempuan. Dengan memperkenalkan kebijakan yang jelas dan tegas, membangun ruang yang aman untuk berdiskusi, dan meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik dan bebas dari kekerasan seksual. Perubahan ini harus datang dari dalam, dari kampus itu sendiri, dan didorong oleh kesadaran kolektif semua pihak yang terlibat.

 

Kekerasan seksual di kampus adalah cerminan dari patriarki yang terinstitusionalisasi dalam struktur pendidikan kita. Agar kekerasan seksual bisa diatasi, kita perlu menembus gelembung patriarki yang membatasi hak perempuan untuk merasa aman dan dihargai. Reformasi dalam kebijakan pendidikan, peningkatan kesadaran gender, serta penegakan hukum yang tegas adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Kampus harus menjadi ruang yang tidak hanya menjunjung kebebasan akademik, tetapi juga kesetaraan, keadilan, dan perlindungan bagi semua warganya.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now