Oleh: Syamsul
Kurniawan
Di sebuah pagi, ribuan orang membuka ponselnya dengan rasa ingin tahu yang
sama. Notifikasi media sosial berdering, membawa sebuah video yang dengan cepat
menyebar. Tampak Sri Mulyani, Menteri Keuangan, berdiri di hadapan mikrofon
dengan wajah serius. Bibirnya bergerak, suaranya terdengar lantang, menyebut
guru sebagai beban negara.
Kata-kata itu menyambar seperti petir yang jatuh di padang rumput kering. Tak
butuh waktu lama, api amarah menjalar di ruang publik. Media sosial dipenuhi
komentar, sebagian besar bernada murka. Para guru merasa dihina, para orang tua
ikut tersulut, dan reputasi seorang pejabat negara seolah runtuh seketika.
Padahal kebenaran berkata lain. Ucapan itu tak pernah benar-benar keluar dari
mulut Sri Mulyani. Video tersebut palsu, diciptakan oleh algoritma, digerakkan
oleh jaringan syaraf buatan yang kini kita kenal sebagai deepfake. Dalam
hitungan jam, kebohongan itu berhasil menciptakan realitas baru yang sulit
dibantah.
Tom Philips, dalam bukunya Truth: A Brief History of Total Bullsht*
(2020), menegaskan bahwa kebohongan selalu punya daya tarik tersendiri. Ia
sederhana, mudah dicerna, dan sering lebih cepat dipercaya daripada kebenaran
yang kompleks. Kebohongan, kata Philips, seperti arus sungai deras: siapa pun
yang tercebur akan mudah hanyut di dalamnya. Dan deepfake adalah bentuk
paling mutakhir dari arus itu.
Teknologi ini tidak hanya memelintir kata, tetapi juga menyihir wajah, suara,
dan gerak tubuh. Ia membuat yang palsu tampak seolah nyata, sementara yang
nyata makin sulit terdengar. Dampaknya bukan hanya pada individu yang menjadi
target, tetapi juga pada masyarakat luas yang terperangkap dalam ilusi visual.
Satu video saja mampu mengacaukan persepsi ribuan orang.
Sri Mulyani hanyalah satu contoh. Jika seorang pejabat tinggi negara bisa
dipalsukan dengan begitu meyakinkan, apa kabar rakyat biasa? Bagaimana dengan
seorang guru di pelosok, seorang mahasiswa yang kritis, atau seorang jurnalis
yang berani menulis kebenaran? Reputasi mereka bisa runtuh hanya oleh sebuah
video sintetis yang viral di jagat maya.
Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation (1994), pernah
mengingatkan bahwa kita kini hidup di era simulakra. Representasi tak lagi
sekadar menyalin realitas, melainkan menciptakan realitasnya sendiri. Sebuah deepfake
bukanlah bayangan dari peristiwa, tetapi ia menjadi peristiwa itu
sendiri. Inilah dunia ketika simulasi membentuk keyakinan kolektif.
Maka orang tak lagi peduli apakah Sri Mulyani benar-benar mengucapkannya atau
tidak. Yang penting adalah visual yang tampak jelas, suara yang terdengar
meyakinkan, dan sensasi yang menguasai emosi. Klarifikasi datang, bantahan
berulang kali disampaikan, namun publik terlanjur percaya. Kebohongan lebih
dulu tiba, dan karena itu terasa lebih nyata daripada kebenaran.
Di sinilah kita dihadapkan pada kenyataan yang gawat: darurat kejujuran. Kita
hidup dalam masa ketika kebenaran tidak lagi berdiri kokoh dengan sendirinya.
Ia harus diperjuangkan, dipertahankan, bahkan dipelihara dengan susah payah.
Sebab kebohongan kini dipersenjatai dengan teknologi yang membuatnya lebih
indah, lebih meyakinkan, dan lebih mudah menyebar.
***
Jonathan
Haidt, dalam The Righteous Mind (2013), menjelaskan bahwa manusia
cenderung percaya pada narasi yang sesuai dengan nilai moral kelompoknya. Jika
seorang guru mendengar pejabat menyebut dirinya beban, kemarahan akan segera
muncul tanpa sempat diverifikasi. Ini naluri yang bekerja cepat. Deepfake
justru mengeksploitasi kelemahan naluri ini.
Moralitas sosial bekerja seperti lem. Ia merekatkan orang-orang dalam kemarahan
kolektif, meski fondasinya rapuh. Deepfake masuk ke celah itu,
mengetahui bahwa publik tak punya cukup waktu untuk memeriksa kebenaran. Ia
tahu orang ingin segera menghakimi. Dan ia tahu bahwa amarah kolektif selalu
lebih kuat daripada kesabaran menunggu klarifikasi.
Namun, kebohongan tak hanya hadir dalam rupa teknologi visual. Ia juga hidup di
panggung politik, dalam bentuk dramaturgi, dalam isyarat tubuh dan linangan air
mata. Drama politik kerap kali sama kuatnya dengan deepfake: ia
menyentuh emosi lebih cepat daripada nalar. Dan publik seringkali tak mampu
membedakan yang otentik dari yang dibuat-buat.
Beberapa waktu lalu, kabar lain mengguncang. Presiden Prabowo Subianto melalui
Keputusan Presiden resmi mencopot Immanuel Ebenezer dari jabatan Wakil Menteri
Ketenagakerjaan. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Publik kembali menoleh, bukan hanya pada fakta hukumnya, tapi juga
pada adegan emosional yang menyertainya.
Di hadapan kamera, Immanuel menangis. Ia berkata menyesal. Ia meminta amnesti,
seolah air mata mampu menghapus dosa politik. Namun di hati siapa yang bisa
tahu? Tangis itu bisa jadi tulus, tetapi bisa juga sekadar bagian dari
dramaturgi yang disusun untuk menyelamatkan muka.
Politik, sejak lama, memang kerap berfungsi seperti teater. Seorang tokoh bisa
berperan sebagai korban, bisa juga sebagai pahlawan, sesuai kebutuhan panggung.
Air mata menjadi properti, retorika menjadi naskah, dan publik menjadi penonton
yang tak pernah diberi tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Di titik ini, darurat kejujuran mengambil bentuk lain. Bukan lagi kebohongan
berbasis algoritma, melainkan kebohongan yang dikemas dalam dramaturgi politik.
Keduanya sama-sama berbahaya, sebab keduanya membuat publik kehilangan pijakan.
Kita tak lagi tahu mana penyesalan yang jujur, mana tangis yang sekadar
perhitungan.
Publik menonton dengan penuh rasa ingin tahu. Sebagian ikut bersimpati,
sebagian lain mencemooh, dan sebagian lagi memilih diam. Tetapi sedikit sekali
yang benar-benar tahu, apakah yang disaksikan itu kejujuran atau sekadar
akting. Dalam suasana seperti ini, kebenaran terasa makin kabur.
Jika deepfake memalsukan wajah dan suara, maka drama politik memalsukan
emosi. Kedua-duanya sama-sama menggiring publik untuk percaya pada sesuatu yang
bisa jadi tak pernah ada. Bedanya, yang satu diciptakan oleh mesin, yang lain
diperankan oleh manusia dengan sadar. Tetapi efeknya sama: keraguan,
ketidakpercayaan, dan kebingungan dalam menilai realitas.
***
Sri Mulyani
dan Immanuel Ebenezer mungkin tampak berbeda kasusnya. Satu korban teknologi,
satu lagi tersangka yang terjerat hukum. Tetapi keduanya berada dalam satu
panggung besar yang sama: panggung krisis kejujuran. Publik menonton dengan
emosi, dan kebenaran kembali tertinggal di belakang.
Baudrillard menyebut, dalam era simulakra, representasi bukan lagi sekadar
bayangan. Ia menciptakan realitasnya sendiri. Deepfake membuat Sri Mulyani
seolah benar menghina guru. Dramaturgi politik membuat tangisan Immanuel
seolah-olah bukti penyesalan. Padahal realitas keduanya mungkin berbeda sama
sekali.
Inilah wajah dunia hari ini. Kebenaran tidak lagi hadir sebagai fakta yang
harus kita cari, melainkan sebagai tontonan yang kita konsumsi. Kita percaya
bukan karena bukti, tetapi karena sensasi yang menyentuh emosi kita. Ruang
publik berubah menjadi layar besar, tempat kebenaran dipertontonkan sebagai
drama.
Dalam politik, dramaturgi bekerja mirip deepfake. Ia tak hanya
menampilkan, tapi juga mengaburkan. Ia mencampur kenyataan dengan ilusi,
sehingga publik tak lagi punya kemampuan untuk memilah. Pada akhirnya, apa yang
tampak di layar lebih menentukan daripada apa yang benar di lapangan.
Akibatnya, masyarakat makin terjebak dalam darurat kejujuran. Klarifikasi
dianggap pembelaan. Bantahan dianggap rekayasa. Fakta dianggap bagian dari
strategi politik. Semua ucapan, semua tindakan, semua penjelasan, selalu dibaca
dengan kecurigaan yang tak pernah selesai.
Masalah besar pun muncul: jika kepercayaan runtuh, apa yang tersisa? Demokrasi
tidak bisa berjalan tanpa kepercayaan publik. Hukum kehilangan wibawa tanpa
keyakinan pada integritas. Dan institusi negara melemah jika masyarakat yakin
semua hanyalah kebohongan.
Sri Mulyani memberi alarm tentang rapuhnya reputasi di era digital. Immanuel
Ebenezer memberi alarm tentang rapuhnya moralitas politik di era teaterisasi
kekuasaan. Dua kasus berbeda ini menunjuk ke arah yang sama: kebenaran selalu
datang terlambat. Ia berjalan dengan langkah berat, sementara kebohongan
berlari kencang.
Dalam sejarah, kebohongan memang sering mendahului kebenaran. Ia lebih cepat,
lebih sederhana, lebih menggoda. Dan orang-orang lebih suka percaya pada
sesuatu yang memperkuat prasangka mereka ketimbang menunggu bukti yang mungkin
membosankan. Itulah sebabnya kebohongan punya daya hidup yang panjang.
Kebenaran, sebaliknya, membutuhkan waktu. Ia harus mengumpulkan bukti, menyusun
klarifikasi, dan menghadapi keraguan publik. Tak jarang, ketika kebenaran
akhirnya datang, publik sudah terlanjur membangun keyakinan sendiri yang sulit
diubah. Itulah yang membuat krisis ini terasa begitu dalam.
Tom Philips menegaskan: kebohongan tak butuh bukti untuk menyebar. Ia hanya
butuh keyakinan orang yang memang ingin mempercayainya. Dan deepfake
menyediakan panggung sempurna untuk itu. Begitu pula dramaturgi politik, yang
memanfaatkan kelemahan manusia dalam membaca emosi.
Deepfake memberi medium baru bagi kebohongan. Dramaturgi politik memberi
panggung lama yang tak kalah ampuh. Dua-duanya kini beroperasi bersamaan,
memperbesar darurat kejujuran yang kita hadapi. Seolah kebenaran dikepung dari
dua arah sekaligus: dari mesin dan dari manusia.
Masyarakat, dengan segala emosi dan prasangkanya, menjadi audiens yang lapar.
Lapar akan drama, lapar akan sensasi, lapar akan sesuatu untuk dipercaya—meski
palsu. Ketika kejujuran kehilangan tempat, hiburan mengambil alih panggung.
Publik lebih senang terbawa suasana ketimbang menuntut fakta.
Maka pertanyaannya: bagaimana kita membaca krisis ini? Bagaimana kita mengenali
yang benar di tengah tiruan yang begitu sempurna? Bagaimana kita menimbang
antara air mata di panggung politik dan suara sintetis di layar ponsel?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin sulit dijawab di era sekarang.
Di hadapan kenyataan ini, kebenaran harus bekerja lebih keras. Ia tak bisa lagi
mengandalkan bentuk lama. Ia harus mencari cara baru untuk bertahan di tengah
banjir simulasi dan dramaturgi. Dan itu hanya mungkin jika ada kemauan kolektif
untuk menjaga kejujuran.
Darurat kejujuran bukan sekadar slogan. Ia adalah kenyataan sehari-hari: di
grup WhatsApp keluarga, di Instagram yang penuh potongan video, di TikTok yang
penuh adegan singkat, di ruang-ruang obrolan yang cepat dan dangkal. Kebenaran
kini hidup dalam suasana genting yang tak boleh diabaikan.
Barangkali, seperti yang ditulis Philips, satu-satunya jalan keluar adalah
kesediaan untuk ragu. Keraguan bukan kelemahan, melainkan tanda kewarasan.
Dengan ragu, kita menunda percaya. Dengan ragu, kita memberi kesempatan bagi
kebenaran untuk berbicara.
Di tengah banjir simulasi dan dramaturgi, keraguan justru menjadi bentuk
kejujuran terakhir yang masih bisa kita jaga. Karena tanpa ragu, kita akan
hanyut dalam ilusi. Dan tanpa kejujuran, demokrasi kehilangan nyawanya. ***