Oleh: Syamsul Kurniawan
Religion and Spirituality: What are the Fundamental Differences?—tulisan
Brimadevi van Niekerk yang terbit tahun 2018 di HTS Theological Studies. Judul
itu seakan membuka kembali perdebatan lama tentang dua kata yang begitu akrab
di telinga, namun selalu menghindar setiap kali dicari definisi yang final:
agama dan spiritualitas.
Saya membacanya perlahan. Artikel itu segera terasa bukan sekadar teks
akademis. Ia adalah mosaik dari banyak suara: teolog, sosiolog, antropolog,
filsuf. Serpihan-serpihan yang, bila dirangkai, membentuk arsip wacana.
Foucault (2002) menyebut arsip sebagai syarat kemungkinan: ia menentukan apa
yang boleh dikatakan, siapa yang berhak, dan dengan bahasa apa kalimat itu sah
diucapkan.
Dengan cara itu, artikel ini bagi saya bukan jawaban, melainkan pintu.
Ia membuka ladang tafsir yang subur. Sebab arsip, dalam pengertian Foucault,
bukan gudang fakta mati, tetapi ruang ketegangan yang melahirkan
diskontinuitas. Dalam ketegangan itulah, agama dan spiritualitas hadir bukan
sebagai esensi, melainkan medan pernyataan.
***
Gema pemikir modern awal terasa lagi di dalam arsip ini. Weber (1963)
dengan gagasan disenchantment, Durkheim (1915) dengan sosiologi agama
yang menekankan fungsi sosial. Mereka meramalkan surutnya yang sakral di
hadapan modernitas. Namun sejarah tak selalu tunduk pada ramalan. Agama tetap
bertahan, kadang justru membesar, di tempat-tempat yang tak disangka.
Sekularisasi nyata, tetapi ia tak pernah berarti kematian agama. Ia
lebih menyerupai proses berlapis: mencabut sebagian otoritas tradisi, tetapi
sekaligus melahirkan bentuk-bentuk baru. Dari spiritualitas alternatif, gerakan
New Age, hingga wajah cair agama-agama lama. Sekularisasi, pada
akhirnya, bukan akhir, melainkan transfigurasi.
Charles Taylor (2010) mengingatkan: sekular bukan sekadar absennya
agama dari ruang publik. Ia adalah kondisi ketika iman menjadi hanya satu
pilihan di antara sekian banyak cara hidup. Dan dalam kondisi seperti itu,
beriman justru sering menjadi pilihan yang paling sulit.
Wade Clark Roof (1993) menyebut generasi baby boomer sebagai generation
of seekers. Mereka enggan tunduk pada institusi yang kaku, tetapi tak
menolak makna. Dari Age of Aquarius, kebangkitan karismatik, hingga
gelombang New Age, semua adalah jejak pencarian yang tak pernah selesai.
Di sinilah spiritualitas menggantikan dogma, menempatkan pengalaman sebagai
otoritas utama.
Dengan kacamata arkeologi pengetahuan, kita melihat: yang bergeser
bukan hanya isi, tetapi medan enunsiasi. Yang sah untuk dikatakan berpindah
dari dogma ke pengalaman pribadi. Yang berhak bicara bukan lagi hanya
rohaniawan, melainkan siapa pun yang bersaksi tentang sesuatu yang transenden.
Spiritualitas, dengan itu, menuntut ruangnya sendiri.
***
Namun pertanyaan tetap bergema: apa itu agama? Ribuan buku mencoba
menjawab, tapi definisi selalu pecah di tepiannya. Selalu ada praktik yang
luput, keyakinan yang tak masuk. Seakan agama menolak ditangkap oleh satu
kalimat tunggal.
Wittgenstein (1953) memberi jalan lain: agama adalah “kemiripan
keluarga”. Tidak ada satu ciri esensial, hanya jalinan keserupaan. Definisi
agama, dengan demikian, bukan inti, melainkan relasi.
Ninian Smart (1977) menambahkan: agama punya bentuk luar. Dalam
biografi pendiri, dalam liturgi, dalam bangunan ibadah. Tanpa itu, roh agama
tak punya wadah. Bentuk, dengan kata lain, adalah syarat keberadaan.
Namun agama kerap pula membawa keluhan. Ia sering diasosiasikan dengan
dogma yang menekan, hierarki yang kaku, atau kosmologi lama yang berbenturan
dengan sains modern. Semua itu menandai retaknya otoritas agama—retakan yang
justru memberi celah bagi lahirnya spiritualitas.
Namun agama tak bisa dihapus begitu saja. Bruce dan Preuss (1996)
menunjukkan: bagi kelompok termarjinalkan, imigran, atau komunitas rapuh, agama
tetap memberi bahasa dan kohesi. Institusi, meski penuh keterbatasan, tetap
menjadi rumah.
Mary Douglas (1966) menambahkan: bahkan takhayul, magis, atau
kepercayaan pada nasib adalah bagian dari institusi. Mereka tak pernah melayang
bebas, melainkan tertanam dalam norma. Dengan kata lain: institusi tak pernah
lenyap, hanya berganti rupa.
Di titik inilah spiritualitas tampil sebagai kebalikannya: cair,
longgar, bebas dari tubuh institusi. Di Barat, istilahnya: spiritual but not
religious (SBNR).
Namun definisi itu ikut bergeser. Philip Sheldrake (2005) melihat
spiritualitas bukan sekadar doa pribadi, melainkan perspektif menyeluruh atas
kehidupan. Spiritualitas, katanya, adalah cara menenun relasi dengan Tuhan ke
dalam seluruh aspek hidup.
David Tacey (2004) mencatat pola baru: lahir dalam iman, remaja menjadi
sekuler, lalu kembali dalam spiritualitas yang sama sekali berbeda. Forman
(2004) menyebut: orang ingin menulis narasinya sendiri—beriman, tanpa harus
tunduk pada dogma.
William James (2002) sejak lama menekankan: inti keberagamaan adalah
pengalaman. Rasa keterhubungan dengan yang transenden. Meski kategori ini sulit
diterapkan pada agama-agama non-teistik seperti Buddhisme.
Di Afrika atau Asia Timur, misalnya, sakral dan sekuler tak pernah jadi
oposisi. Ada universisme, kesaling-saut antara semua aspek kehidupan.
Membagi dunia terlalu tegas justru dianggap penyempitan.
Needleman dan Eisenberg (1987) menyebut benang merah semua agama adalah
kesadaran: kepekaan batin, pengetahuan hati. Ia melampaui dogma, bisa menjelma
seperti air—es, cair, uap—bentuk berbeda, substansi sama. Spiritualitas adalah
pencairan itu.
***
Dari kacamata arkeologi, spiritualitas modern adalah konstruksi
historis. Van der Veer (2009) menunjukkan: abad ke-19 memisahkan roh dari
tubuh, agama, dan tempat. Dari sanalah istilah SBNR lahir.
Dekade 1960-an mempercepatnya: migrasi global, ekspansi media,
kapitalisme multinasional, pluralisasi budaya. Spiritualitas muncul sebagai
respons atas demopolisasi agama. Ia lahir bukan di ruang kosong, melainkan di
tengah arus global.
Kritik akademis terhadap agama tak mematikan sakralitas. Justru membuka
ruang baru bagi spiritualitas. Diskursus berbelok, bukan berhenti.
Otoritas pun bergeser. Kini penutur sah bukan hanya rohaniawan, tetapi
juga peneliti, terapis, penulis memoar, bahkan para seeker anonim.
Spiritualitas menjadi demokratisasi klaim kebenaran.
Bahkan praktik-praktik hibrid—seperti kombinasi Kristen-Buddhisme—yang
dulu dianggap menyimpang, kini bisa diterima. Diskontinuitas ini, bagi
Foucault, adalah tanda bahwa arsip wacana sedang berubah.
Dalam kondisi sekular menurut Taylor (1891), iman bukan lagi default.
Ia harus dinegosiasikan, dipilih, selalu berisiko.
Namun institusi tak hilang. Ia tetap menjaga identitas, menyediakan
bahasa, dan infrastruktur sosial. Spiritualitas, meski berjarak, tetap
bersandar pada kosa kata agama lama.
Karena itu, dikotomi “agama versus spiritualitas” hanyalah konstruksi
historis. Ia lahir dari terjemahan pneuma Barat, diperdagangkan secara global.
Garis batas ini bukan hukum alam, melainkan keputusan budaya.
***
Foucault (2002)
mengingatkan: arkeologi pengetahuan tidak mencari kebenaran final. Ia bertanya:
bagaimana sesuatu mungkin dikatakan? Aturan apa yang memungkinkan?
Karena itu,
kita sebaiknya berhenti mencari definisi tunggal. Wittgenstein sudah memberi
jalan: lihatlah kemiripan keluarga, bukan inti. Agama dan spiritualitas adalah
jejaring relasi.
Akhirnya,
keduanya bergerak di wilayah sama: memberi bentuk pada dunia. Agama menamai
kuasa yang memberi makna, spiritualitas menariknya ke pengalaman personal.
Batas di antaranya selalu bergeser, kadang kabur, kadang tegas.
Dan di tengah
pergeseran itu, kita—yang menulis dan membaca—hanya bisa mencoba mendengar
arsip. Sambil tetap bertanya: dengan aturan apa, hari ini, kita bisa
menyebutnya?.***