Iklan

Teori Sosial Parsons: Antara Stabilitas dan Perubahan

syamsul kurniawan
Friday, March 14, 2025
Last Updated 2025-10-11T12:42:52Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates




Oleh: Syamsul Kurniawan


Di setiap zaman, selalu ada orang yang mencoba memahami keteraturan di balik kekacauan. Talcott Parsons adalah salah satunya. Ia lahir di tengah abad yang bergolak—ketika dunia baru saja pulih dari perang, dan manusia kembali bertanya: apa yang membuat masyarakat tetap berdiri? Di saat banyak pemikir menulis tentang konflik dan revolusi, Parsons menulis tentang sistem. Ia percaya bahwa di balik hiruk pikuk manusia, ada simfoni tersembunyi yang menjaga kehidupan sosial tetap utuh.


Parsons tidak sedang mencari utopia, tapi keseimbangan. Ia mengamati masyarakat seperti seorang dokter memeriksa tubuh pasiennya: menakar fungsi setiap organ, memastikan semuanya bekerja dalam harmoni. Masyarakat, baginya, adalah organisme yang kompleks; bila satu bagian rusak, keseluruhan tubuh ikut demam.


Ia menyebut pendekatannya fungsionalisme struktural: keyakinan bahwa setiap elemen dalam masyarakat—keluarga, pendidikan, ekonomi, agama, bahkan bahasa—memiliki fungsi yang menjaga keberlangsungan sistem sosial. Tidak ada yang berdiri sendiri; setiap bagian adalah simpul dalam jaringan keterkaitan yang luas.


Dalam kerangka itulah lahir teorinya yang paling berpengaruh: The Social System. Di sana, Parsons menyusun semacam anatomi masyarakat. Ia ingin menjelaskan bukan hanya mengapa tatanan sosial bertahan, tetapi juga bagaimana setiap elemen menjalankan perannya agar kehidupan bersama tidak runtuh.


Namun, teori itu tidak berhenti di situ. Parsons kemudian melahirkan apa yang kini dikenal sebagai Paradigma AGIL—sebuah model fungsional yang berusaha menjelaskan syarat-syarat minimum bagi keberlangsungan setiap sistem sosial. Ia percaya, jika empat fungsi dasar dalam AGIL terpenuhi, maka masyarakat dapat hidup dan bertahan.


AGIL bukan sekadar akronim, melainkan peta tentang bagaimana masyarakat bernafas. A untuk Adaptation, G untuk Goal Attainment, I untuk Integration, dan L untuk Latency. Empat huruf ini menjadi semacam kompas untuk memahami kehidupan sosial, dari suku pemburu hingga negara modern.

 

Adaptasi, bagi Parsons, adalah kemampuan masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Ini bukan sekadar bertahan hidup, tetapi menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi, teknologi, dan sumber daya. Ekonomi menjadi wajah dari fungsi adaptif ini: bagaimana manusia mengolah alam menjadi sistem produksi.

 

Pencapaian tujuan (Goal Attainment) adalah arah gerak masyarakat. Parsons memandang politik sebagai ruang di mana tujuan bersama dirumuskan dan keputusan kolektif diambil. Tanpa orientasi pada tujuan, masyarakat akan kehilangan arah seperti kapal tanpa kompas.


Integrasi adalah lem perekatnya. Ia memastikan seluruh bagian masyarakat bergerak dalam harmoni. Nilai, norma, dan hukum bekerja seperti sistem saraf: mengkoordinasikan gerak agar tidak saling bertabrakan. Dalam fungsi ini, agama, media, dan institusi sosial memainkan peran sentral untuk menjaga kesatuan moral.


Lalu ada Latency, atau pemeliharaan pola. Di sinilah keluarga dan pendidikan memelihara nilai yang diwariskan, mengajarkan makna menjadi manusia di tengah masyarakat. Tanpa fungsi laten ini, sistem sosial akan kehilangan memori kolektifnya, seperti tubuh tanpa jiwa.


Keempat fungsi itu bekerja dalam keseimbangan. Parsons mengibaratkannya seperti tubuh manusia: budaya menjadi otak (Latency), nilai moral sebagai sistem saraf (Integration), politik sebagai jantung yang memompa arah (Goal Attainment), dan ekonomi sebagai paru-paru yang memasok energi (Adaptation).


Namun, yang menarik dari AGIL bukan hanya tentang fungsi, tetapi tentang cara ia memandang dunia. Parsons melihat masyarakat sebagai sistem informasi dan energi yang saling berkelindan: yang satu memberi makna, yang lain memberi daya hidup. Budaya, menurutnya, bukan sekadar hasil tindakan manusia, tetapi “kode” yang mengendalikan permainan sosial itu sendiri.


Ia menggunakan metafora hierarki sibernetik: bahwa dalam jangka panjang, sistem yang kaya informasi (seperti budaya) akan mengendalikan sistem yang kaya energi (seperti ekonomi). Seperti DNA yang menentukan bentuk tubuh, budaya menentukan arah gerak sosial. Itulah sebabnya, bagi Parsons, perubahan sosial sejati tidak pernah dimulai dari pasar atau politik, tetapi dari perubahan makna.


Namun, di balik kompleksitas itu, AGIL bukan teori yang menjanjikan harmoni abadi. Parsons sadar bahwa sistem bisa gagal bila satu fungsi diabaikan. Sebuah masyarakat mungkin makmur secara ekonomi (A) tetapi gagal membangun solidaritas (I); atau punya visi politik besar (G) tetapi kehilangan nilai moral (L). Keseimbangan, dalam pandangannya, selalu rapuh—dan justru di situlah dinamika sosial hidup.


Di titik ini, Parsons tampak seperti seorang penjaga struktur: ia khawatir pada kekacauan yang datang dari perubahan yang tak terkendali. Namun, ia juga tahu bahwa perubahan tidak bisa ditolak; ia hanya bisa dikelola agar sistem tidak runtuh. Dalam setiap ketegangan sosial, ia melihat bukan kehancuran, melainkan proses penyesuaian.


Dengan begitu, stabilitas bagi Parsons bukan kebekuan, melainkan keseimbangan yang terus diperbarui. Ia tidak menolak perubahan, hanya menolak perubahan yang membuat sistem kehilangan bentuknya.

 

Apa yang menarik dari Parson?


Yang menarik dari Parsons adalah keberaniannya mencari tatanan di tengah dunia yang berubah cepat. Di saat banyak pemikir menulis dengan nada muram tentang konflik dan alienasi, Parsons memilih berbicara tentang struktur, integrasi, dan nilai. Ia tidak menulis tentang manusia yang tersesat, melainkan tentang masyarakat yang masih bisa berdiri.


Ia adalah sosok yang percaya bahwa kehidupan sosial, seberantakan apa pun, memiliki logikanya sendiri. Ia menganggap nilai bukan sekadar hasil kesepakatan, tetapi bagian dari sistem yang lebih luas, yang menuntun tindakan manusia agar tetap bermakna.


Kita mungkin tidak lagi hidup di zaman Parsons, tapi pertanyaannya tetap relevan: bagaimana masyarakat modern menjaga dirinya dari disintegrasi? Di era algoritma dan ekonomi digital, AGIL masih bergema—bahkan tanpa kita sadari. Perusahaan teknologi beradaptasi (A), menetapkan visi global (G), membangun komunitas pengguna (I), dan menanamkan budaya korporat (L). Tanpa sadar, kita hidup di dalam pola pikir Parsonsian.


Menarik juga bagaimana Parsons menolak memisahkan antara moral dan sistem. Dalam pikirannya, nilai bukan sekadar etika, tapi mekanisme yang memungkinkan masyarakat bekerja. Ia menulis dengan keyakinan bahwa masyarakat tanpa komitmen nilai akan kehilangan kendali seperti tubuh tanpa keseimbangan hormon.


Ia juga menolak dikotomi antara individu dan struktur. Dalam teori tindakannya, individu adalah agen yang berperan dalam sistem, tapi tetap terikat oleh nilai dan peran sosial. Kebebasan manusia, bagi Parsons, bukan untuk menghancurkan sistem, melainkan untuk menyesuaikan diri di dalamnya.


Parsons memandang perubahan sebagai bagian dari siklus adaptif. Ia tidak seoptimis para revolusioner, tetapi juga tidak sepessimis kaum konservatif. Ia percaya bahwa masyarakat bisa berubah tanpa kehilangan dirinya, bisa bergerak tanpa hancur.


Mungkin itulah yang membuat Parsons relevan hari ini. Di tengah dunia yang penuh krisis—dari politik, moral, hingga lingkungan—kita kembali mencari keseimbangan yang ia bicarakan: bagaimana sistem bertahan tanpa kehilangan makna, bagaimana struktur bisa lentur tanpa roboh.


Dalam hal ini, Parsons tidak sekadar teoretikus, tapi juga penyair tentang keteraturan. Ia menulis bukan untuk merayakan kekuasaan, tapi untuk memahami cara masyarakat bertahan menghadapi waktu.

 

Meski demikian, kritik terhadap Parsons tak bisa diabaikan. Banyak yang menuduh teorinya terlalu statis, terlalu fokus pada stabilitas, dan gagal membaca konflik sosial. Kaum Marxian menuduhnya buta terhadap ketimpangan kelas. Para feminis menyebutnya bias patriarkal. Dan kaum postmodern mencibirnya karena terlalu percaya pada tatanan besar.


Namun, justru dalam keterbatasan itulah, Parsons tetap penting. Ia menandai fase di mana sosiologi berusaha memahami masyarakat sebagai sistem yang dapat dijelaskan—bukan hanya dikeluhkan. Kritik terhadap Parsons hanyalah cara lain untuk mengakui bahwa ia pernah menjadi pusat dari seluruh perdebatan.


Anthony Giddens, misalnya, melanjutkan sekaligus menggugat Parsons. Dengan teori strukturasi, Giddens mengajukan gagasan bahwa struktur tidak hanya membatasi, tetapi juga memampukan tindakan. Di situ, gema Parsons masih terdengar—hanya lebih cair, lebih dinamis.


Parsons menulis di masa ketika dunia haus akan keteraturan. Tapi dunia kita hari ini lebih tertarik pada ketidakpastian. Mungkin itu sebabnya namanya jarang disebut di ruang publik, padahal bayangannya masih hidup di banyak teori sosial kontemporer.


Ia bukan nabi tatanan, melainkan insinyur dari dunia yang ingin tetap berfungsi. Bila Marx menulis dengan kemarahan, Parsons menulis dengan kesabaran. Ia percaya bahwa perubahan besar lahir bukan dari ledakan, tetapi dari penyesuaian yang tenang.


Dan meski banyak yang menganggapnya usang, ia meninggalkan sesuatu yang esensial: keyakinan bahwa setiap masyarakat, apa pun bentuknya, membutuhkan empat hal untuk tetap hidup—kemampuan beradaptasi, arah tujuan, nilai pemersatu, dan pola yang diwariskan. Tanpa itu, masyarakat akan terurai menjadi fragmen tanpa jiwa.

 

Barangkali, dalam dunia yang terlalu cepat berubah, pemikiran Parsons terasa seperti jeda yang perlu. Ia mengingatkan kita bahwa stabilitas bukan musuh perubahan, melainkan ruang di mana perubahan bisa berarti. Tanpa struktur, perubahan hanya akan menjadi kekacauan.


Di ruang sosial kita hari ini, dari politik yang gaduh hingga identitas yang retak, keempat fungsi AGIL itu tampak seperti gema masa lalu yang masih ingin didengar. Masyarakat masih butuh adaptasi yang adil, tujuan bersama yang jelas, nilai yang menyatukan, dan institusi yang memelihara.


Mungkin benar, teori Parsons bukanlah peta untuk revolusi. Tapi ia adalah cara untuk memahami mengapa sesuatu tetap berdiri meski dunia terus berguncang. Ia mengajarkan bahwa keseimbangan sosial bukan hadiah, melainkan hasil dari kerja panjang antara nilai dan struktur.


Dan di sanalah ironi terindahnya: di saat Parsons ingin menulis tentang stabilitas, ia justru memberi kita cara baru untuk memahami perubahan. Bahwa perubahan sejati bukanlah kehancuran sistem, melainkan cara sistem bertahan.


Seperti tubuh yang terus memperbarui sel-selnya, masyarakat yang sehat bukan yang tak berubah, melainkan yang tahu kapan dan di mana harus menyesuaikan diri. Itulah pelajaran abadi dari Talcott Parsons—seorang sosiolog yang percaya, di tengah riuh perubahan, keseimbangan masih mungkin ditemukan.***

 


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now