Oleh: Syamsul Kurniawan
Di setiap zaman, selalu ada orang yang mencoba memahami keteraturan di balik
kekacauan. Talcott Parsons adalah salah satunya. Ia lahir di tengah abad yang
bergolak—ketika dunia baru saja pulih dari perang, dan manusia kembali
bertanya: apa yang membuat masyarakat tetap berdiri? Di saat banyak pemikir
menulis tentang konflik dan revolusi, Parsons menulis tentang sistem. Ia
percaya bahwa di balik hiruk pikuk manusia, ada simfoni tersembunyi yang
menjaga kehidupan sosial tetap utuh.
Parsons tidak sedang mencari utopia, tapi keseimbangan. Ia mengamati masyarakat
seperti seorang dokter memeriksa tubuh pasiennya: menakar fungsi setiap organ,
memastikan semuanya bekerja dalam harmoni. Masyarakat, baginya, adalah
organisme yang kompleks; bila satu bagian rusak, keseluruhan tubuh ikut demam.
Ia menyebut pendekatannya fungsionalisme struktural: keyakinan bahwa
setiap elemen dalam masyarakat—keluarga, pendidikan, ekonomi, agama, bahkan
bahasa—memiliki fungsi yang menjaga keberlangsungan sistem sosial. Tidak ada
yang berdiri sendiri; setiap bagian adalah simpul dalam jaringan keterkaitan
yang luas.
Dalam kerangka itulah lahir teorinya yang paling berpengaruh: The Social
System. Di sana, Parsons menyusun semacam anatomi masyarakat. Ia ingin
menjelaskan bukan hanya mengapa tatanan sosial bertahan, tetapi juga bagaimana
setiap elemen menjalankan perannya agar kehidupan bersama tidak runtuh.
Namun, teori itu tidak berhenti di situ. Parsons kemudian melahirkan apa yang
kini dikenal sebagai Paradigma AGIL—sebuah model fungsional yang
berusaha menjelaskan syarat-syarat minimum bagi keberlangsungan setiap sistem
sosial. Ia percaya, jika empat fungsi dasar dalam AGIL terpenuhi, maka
masyarakat dapat hidup dan bertahan.
AGIL bukan sekadar akronim, melainkan peta tentang bagaimana masyarakat
bernafas. A untuk Adaptation, G untuk Goal Attainment, I untuk Integration,
dan L untuk Latency. Empat huruf ini menjadi semacam kompas untuk
memahami kehidupan sosial, dari suku pemburu hingga negara modern.
Adaptasi, bagi Parsons,
adalah kemampuan masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Ini bukan
sekadar bertahan hidup, tetapi menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi,
teknologi, dan sumber daya. Ekonomi menjadi wajah dari fungsi adaptif ini:
bagaimana manusia mengolah alam menjadi sistem produksi.
Pencapaian tujuan (Goal
Attainment) adalah arah gerak masyarakat. Parsons memandang politik sebagai
ruang di mana tujuan bersama dirumuskan dan keputusan kolektif diambil. Tanpa
orientasi pada tujuan, masyarakat akan kehilangan arah seperti kapal tanpa
kompas.
Integrasi adalah lem perekatnya. Ia memastikan seluruh bagian masyarakat
bergerak dalam harmoni. Nilai, norma, dan hukum bekerja seperti sistem saraf:
mengkoordinasikan gerak agar tidak saling bertabrakan. Dalam fungsi ini, agama,
media, dan institusi sosial memainkan peran sentral untuk menjaga kesatuan
moral.
Lalu ada Latency, atau pemeliharaan pola. Di sinilah keluarga dan
pendidikan memelihara nilai yang diwariskan, mengajarkan makna menjadi manusia
di tengah masyarakat. Tanpa fungsi laten ini, sistem sosial akan kehilangan
memori kolektifnya, seperti tubuh tanpa jiwa.
Keempat fungsi itu bekerja dalam keseimbangan. Parsons mengibaratkannya seperti
tubuh manusia: budaya menjadi otak (Latency), nilai moral sebagai sistem saraf
(Integration), politik sebagai jantung yang memompa arah (Goal Attainment), dan
ekonomi sebagai paru-paru yang memasok energi (Adaptation).
Namun, yang menarik dari AGIL bukan hanya tentang fungsi, tetapi tentang cara
ia memandang dunia. Parsons melihat masyarakat sebagai sistem informasi dan
energi yang saling berkelindan: yang satu memberi makna, yang lain memberi daya
hidup. Budaya, menurutnya, bukan sekadar hasil tindakan manusia, tetapi “kode”
yang mengendalikan permainan sosial itu sendiri.
Ia menggunakan metafora hierarki sibernetik: bahwa dalam jangka panjang,
sistem yang kaya informasi (seperti budaya) akan mengendalikan sistem yang kaya
energi (seperti ekonomi). Seperti DNA yang menentukan bentuk tubuh, budaya
menentukan arah gerak sosial. Itulah sebabnya, bagi Parsons, perubahan sosial
sejati tidak pernah dimulai dari pasar atau politik, tetapi dari perubahan
makna.
Namun, di balik kompleksitas itu, AGIL bukan teori yang menjanjikan harmoni
abadi. Parsons sadar bahwa sistem bisa gagal bila satu fungsi diabaikan. Sebuah
masyarakat mungkin makmur secara ekonomi (A) tetapi gagal membangun solidaritas
(I); atau punya visi politik besar (G) tetapi kehilangan nilai moral (L).
Keseimbangan, dalam pandangannya, selalu rapuh—dan justru di situlah dinamika
sosial hidup.
Di titik ini, Parsons tampak seperti seorang penjaga struktur: ia khawatir pada
kekacauan yang datang dari perubahan yang tak terkendali. Namun, ia juga tahu
bahwa perubahan tidak bisa ditolak; ia hanya bisa dikelola agar sistem tidak
runtuh. Dalam setiap ketegangan sosial, ia melihat bukan kehancuran, melainkan
proses penyesuaian.
Dengan begitu, stabilitas bagi Parsons bukan kebekuan, melainkan keseimbangan
yang terus diperbarui. Ia tidak menolak perubahan, hanya menolak perubahan yang
membuat sistem kehilangan bentuknya.
Apa yang menarik dari
Parson?
Yang menarik dari Parsons adalah keberaniannya mencari tatanan di tengah dunia
yang berubah cepat. Di saat banyak pemikir menulis dengan nada muram tentang
konflik dan alienasi, Parsons memilih berbicara tentang struktur, integrasi,
dan nilai. Ia tidak menulis tentang manusia yang tersesat, melainkan tentang
masyarakat yang masih bisa berdiri.
Ia adalah sosok yang percaya bahwa kehidupan sosial, seberantakan apa pun,
memiliki logikanya sendiri. Ia menganggap nilai bukan sekadar hasil
kesepakatan, tetapi bagian dari sistem yang lebih luas, yang menuntun tindakan
manusia agar tetap bermakna.
Kita mungkin tidak lagi hidup di zaman Parsons, tapi pertanyaannya tetap
relevan: bagaimana masyarakat modern menjaga dirinya dari disintegrasi? Di era
algoritma dan ekonomi digital, AGIL masih bergema—bahkan tanpa kita sadari.
Perusahaan teknologi beradaptasi (A), menetapkan visi global (G), membangun
komunitas pengguna (I), dan menanamkan budaya korporat (L). Tanpa sadar, kita
hidup di dalam pola pikir Parsonsian.
Menarik juga bagaimana Parsons menolak memisahkan antara moral dan sistem.
Dalam pikirannya, nilai bukan sekadar etika, tapi mekanisme yang memungkinkan
masyarakat bekerja. Ia menulis dengan keyakinan bahwa masyarakat tanpa komitmen
nilai akan kehilangan kendali seperti tubuh tanpa keseimbangan hormon.
Ia juga menolak dikotomi antara individu dan struktur. Dalam teori tindakannya,
individu adalah agen yang berperan dalam sistem, tapi tetap terikat oleh nilai
dan peran sosial. Kebebasan manusia, bagi Parsons, bukan untuk menghancurkan
sistem, melainkan untuk menyesuaikan diri di dalamnya.
Parsons memandang perubahan sebagai bagian dari siklus adaptif. Ia tidak
seoptimis para revolusioner, tetapi juga tidak sepessimis kaum konservatif. Ia
percaya bahwa masyarakat bisa berubah tanpa kehilangan dirinya, bisa bergerak
tanpa hancur.
Mungkin itulah yang membuat Parsons relevan hari ini. Di tengah dunia yang
penuh krisis—dari politik, moral, hingga lingkungan—kita kembali mencari
keseimbangan yang ia bicarakan: bagaimana sistem bertahan tanpa kehilangan
makna, bagaimana struktur bisa lentur tanpa roboh.
Dalam hal ini, Parsons tidak sekadar teoretikus, tapi juga penyair tentang
keteraturan. Ia menulis bukan untuk merayakan kekuasaan, tapi untuk memahami
cara masyarakat bertahan menghadapi waktu.
Meski demikian, kritik
terhadap Parsons tak bisa diabaikan. Banyak yang menuduh teorinya terlalu
statis, terlalu fokus pada stabilitas, dan gagal membaca konflik sosial. Kaum
Marxian menuduhnya buta terhadap ketimpangan kelas. Para feminis menyebutnya bias
patriarkal. Dan kaum postmodern mencibirnya karena terlalu percaya pada tatanan
besar.
Namun, justru dalam keterbatasan itulah, Parsons tetap penting. Ia menandai
fase di mana sosiologi berusaha memahami masyarakat sebagai sistem yang dapat
dijelaskan—bukan hanya dikeluhkan. Kritik terhadap Parsons hanyalah cara lain
untuk mengakui bahwa ia pernah menjadi pusat dari seluruh perdebatan.
Anthony Giddens, misalnya, melanjutkan sekaligus menggugat Parsons. Dengan
teori strukturasi, Giddens mengajukan gagasan bahwa struktur tidak hanya
membatasi, tetapi juga memampukan tindakan. Di situ, gema Parsons masih
terdengar—hanya lebih cair, lebih dinamis.
Parsons menulis di masa ketika dunia haus akan keteraturan. Tapi dunia kita
hari ini lebih tertarik pada ketidakpastian. Mungkin itu sebabnya namanya
jarang disebut di ruang publik, padahal bayangannya masih hidup di banyak teori
sosial kontemporer.
Ia bukan nabi tatanan, melainkan insinyur dari dunia yang ingin tetap
berfungsi. Bila Marx menulis dengan kemarahan, Parsons menulis dengan
kesabaran. Ia percaya bahwa perubahan besar lahir bukan dari ledakan, tetapi
dari penyesuaian yang tenang.
Dan meski banyak yang menganggapnya usang, ia meninggalkan sesuatu yang
esensial: keyakinan bahwa setiap masyarakat, apa pun bentuknya, membutuhkan
empat hal untuk tetap hidup—kemampuan beradaptasi, arah tujuan, nilai
pemersatu, dan pola yang diwariskan. Tanpa itu, masyarakat akan terurai menjadi
fragmen tanpa jiwa.
Barangkali, dalam dunia
yang terlalu cepat berubah, pemikiran Parsons terasa seperti jeda yang perlu.
Ia mengingatkan kita bahwa stabilitas bukan musuh perubahan, melainkan ruang di
mana perubahan bisa berarti. Tanpa struktur, perubahan hanya akan menjadi
kekacauan.
Di ruang sosial kita hari ini, dari politik yang gaduh hingga identitas yang
retak, keempat fungsi AGIL itu tampak seperti gema masa lalu yang masih ingin
didengar. Masyarakat masih butuh adaptasi yang adil, tujuan bersama yang jelas,
nilai yang menyatukan, dan institusi yang memelihara.
Mungkin benar, teori Parsons bukanlah peta untuk revolusi. Tapi ia adalah cara
untuk memahami mengapa sesuatu tetap berdiri meski dunia terus berguncang. Ia
mengajarkan bahwa keseimbangan sosial bukan hadiah, melainkan hasil dari kerja
panjang antara nilai dan struktur.
Dan di sanalah ironi terindahnya: di saat Parsons ingin menulis tentang
stabilitas, ia justru memberi kita cara baru untuk memahami perubahan. Bahwa
perubahan sejati bukanlah kehancuran sistem, melainkan cara sistem bertahan.
Seperti tubuh yang terus memperbarui sel-selnya, masyarakat yang sehat bukan
yang tak berubah, melainkan yang tahu kapan dan di mana harus menyesuaikan
diri. Itulah pelajaran abadi dari Talcott Parsons—seorang sosiolog yang
percaya, di tengah riuh perubahan, keseimbangan masih mungkin ditemukan.***


