Oleh: Syamsul Kurniawan
Di
antara ruang kelas yang semakin sunyi oleh kehadiran layar, masih ada seorang
guru berdiri. Ia bicara tentang iman, tentang amal, tentang kebaikan yang tak
punya nilai tukar di bursa saham. Di hadapannya, para siswa sibuk dengan gawai
— alat yang sama yang disebut sebagai simbol peradaban baru. Tapi ia tetap
mengajar. Karena ia tahu, pendidikan, sebagaimana cinta, tidak pernah tunduk
sepenuhnya pada algoritma.
Guru,
siswa, dan tujuan pendidikan adalah segitiga yang tak bisa dipisahkan. Hilang
satu, maka tak ada lagi yang bisa disebut pendidikan. Di dalam segitiga itu,
guru bukan sekadar penghubung, melainkan pusat orbit tempat nilai dan makna
berputar. Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI), orbit itu tak hanya menyangkut
logika, tetapi juga nurani.
Era
milenial telah menandai dirinya dengan kecepatan: komunikasi digital,
kecerdasan buatan, hingga pasar yang menembus sekat-sekat ruang pribadi. Namun
kecepatan, seperti air bah, juga bisa melunturkan kedalaman. Dan di sinilah
guru PAI berdiri — melawan arus, menjaga makna.
Betul,
teknologi bisa membantu pembelajaran. Tapi ia tak bisa menanamkan
kebijaksanaan. Ia bisa memutar video, tapi tak bisa menumbuhkan empati. Ia bisa
memberi data, tapi tak bisa menumbuhkan iman.
Weber
(2013) pernah menulis tentang dunia modern yang “terdisenchanting” —
dunia yang kehilangan pesonanya karena rasionalitas instrumental mengambil
alih. Dalam dunia seperti itu, agama menjadi urusan privat, dan profesi, apa
pun bentuknya, diukur dari efisiensinya.
Guru
PAI hidup di tengah dunia yang seperti itu. Dunia yang tak lagi mengukur makna
dari “apa yang diajarkan”, tetapi dari “berapa nilainya”. Dari gaji, dari
tunjangan, dari status. Ia menjadi bagian dari profesi yang, dalam logika
kapitalisme, tampak kurang menjanjikan.
Di
sinilah ironi itu bermula: profesi yang paling mulia dalam pandangan agama,
justru paling sederhana dalam pandangan pasar. Guru PAI bukan pemilik modal,
bukan pula penguasa teknologi. Ia hanya memiliki satu hal yang tak bisa dijual:
keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya.
Abu
Hamid al-Ghazali menulis, seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah
“matahari di bawah kolong langit.” Tapi di zaman ini, cahaya sering kali kalah
dari gemerlap neon pusat perbelanjaan.
Maka,
seorang guru PAI adalah matahari kecil yang mencoba menyinari ruangan-ruangan
sekolah yang dingin oleh modernitas. Ia tahu, cahayanya mungkin tak cukup
terang. Tapi ia tetap menyalakannya. Karena tugasnya bukan menaklukkan
kegelapan, melainkan memastikan bahwa cahaya itu tak padam.
Weber
menyebut ini tindakan rasional berbasis nilai (wertrational) — tindakan yang dilakukan bukan demi
keuntungan, tapi karena keyakinan bahwa itu benar. Guru PAI adalah contoh
paling murni dari bentuk rasionalitas itu. Ia mengajar karena imannya, bukan
karena insentifnya.
Menjanjikan atau Tidak?
Pertanyaan
ini sering kali diajukan dengan nada setengah iba: “Guru PAI itu masih
menjanjikan tidak, sih?” Seolah-olah nilai sebuah profesi bergantung pada
seberapa besar nominal di slip gajinya.
Kapitalisme
modern telah menanamkan satu ilusi besar: bahwa pekerjaan yang baik adalah yang
menguntungkan. Maka, guru PAI pun diukur dengan logika pasar. Jika gajinya
kecil, maka profesinya dianggap gagal memenuhi “rasionalitas ekonomi”.
Padahal,
Weber sudah mengingatkan: ketika rasionalitas ekonomi menjadi satu-satunya
ukuran, dunia akan kehilangan maknanya. Segala yang tidak produktif akan tampak
tidak penting. Termasuk pekerjaan yang menanamkan moral.
Dalam
sistem kapitalisme, yang dihargai adalah efisiensi dan profit. Sementara guru
PAI justru bekerja di ranah yang tak bisa diukur dengan efisiensi. Ia tidak
menghasilkan barang, ia menanam nilai. Ia tidak menambah GDP, ia menambah
kemanusiaan.
Tapi
di negara ini, kemanusiaan tak pernah masuk ke tabel APBN. Maka, guru PAI pun
harus puas dengan gaji yang lebih kecil dari harga ponsel yang digunakan
siswanya.
Masalahnya
bukan semata pada nominal, tapi pada persepsi. Banyak yang memandang profesi
guru PAI sebagai bentuk “pengabdian tanpa pamrih”. Sebuah kalimat indah yang
sering dipakai untuk menutupi ketidakadilan struktural.
Keikhlasan
guru PAI dijadikan legitimasi bagi sistem yang tak adil. “Bekerjalah dengan
niat ibadah,” kata banyak pejabat, sambil menandatangani anggaran yang lebih
besar untuk pembangunan jalan ketimbang pembangunan moral.
Weber barangkali tak menduga bahwa pandangannya akan begitu relevan kini:
kekuasaan selalu mencari pembenaran moral, dan dalam kasus guru PAI, pembenaran
itu bernama keikhlasan.
Padahal,
keikhlasan sejati tidak berarti pasrah pada ketimpangan. Justru karena ikhlas,
seorang guru PAI harus menuntut martabatnya dijaga. Sebab martabat bukan urusan
gaji, tapi pengakuan sosial terhadap nilai kerjanya.
Syaiful
Bahri Djamarah (2000) menyebut guru sebagai bapak rohani. Tapi dalam realitas
kapitalisme, sang bapak rohani ini sering diperlakukan seperti buruh rohani —
digaji rendah, dituntut tinggi, dan diingat hanya ketika moral bangsa memburuk.
Namun,
terlepas dari itu, guru PAI tetap bekerja. Ia tak menunggu pengakuan, karena ia
tahu pekerjaannya bukan proyek ekonomi, melainkan peradaban. Ia mengajar bukan
untuk dipuji, tapi agar generasi yang lahir nanti tidak kehilangan arah.
Ahmad
Tafsir (2005) menyebut pendidikan agama sebagai bimbingan, bukan sekadar
pengajaran. Dan bimbingan hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memelihara
nilai dalam dirinya. Maka, profesionalisme guru PAI adalah soal karakter
sebelum kompetensi.
Dalam
dunia digital, guru PAI dituntut untuk relevan. Tapi relevansi bukan berarti
kompromi. Ia tak perlu menyesuaikan nilai Islam dengan tren TikTok, melainkan
menuntun muridnya untuk membaca dunia modern dengan iman yang jernih.
Profesionalisme
sejati adalah kemampuan menghubungkan langit dan bumi: wahyu dan ilmu, iman dan
sains. Guru PAI yang mampu mengintegrasikan keduanya sedang bekerja di wilayah
yang justru paling strategis bagi masa depan bangsa.
Maka
benar, guru PAI tidak bisa digantikan oleh mesin. Karena mesin tak bisa
memahami makna taqwa. Kecerdasan buatan bisa menyalin ayat, tapi tak bisa
merasakan getarannya.
Namun
guru PAI harus berani memperbarui diri. Ia tak cukup hanya menjadi pengulang
teks, tapi penafsir zaman. Ia tak hanya menjelaskan, tapi meneladankan.
Dalam
setiap pelajaran, ia tak sekadar menyalin nilai Islam, tapi mempraktikkannya:
kejujuran, kerja keras, kasih sayang. Dan itu semua tak bisa ditransfer lewat
PowerPoint.
Weber
percaya, makna tindakan manusia hanya bisa dipahami dari niatnya. Maka niat
guru PAI — mengajar karena ibadah — adalah bentuk tertinggi dari tindakan
bermakna. Tapi niat itu harus dilindungi dari eksploitasi sistem yang
memanfaatkannya.
Di
Indonesia, ada banyak sekali guru PAI. Mungkin nama mereka tak pernah disebut
dalam pidato kenegaraan, tapi merekalah yang menanam nilai-nilai yang membuat
bangsa ini tidak seluruhnya kehilangan arah.
Sains
boleh maju, teknologi boleh menggila, tapi siapa yang mengajarkan etika bagi
pengguna sains itu kalau bukan guru PAI?
Barangkali,
inilah paradoks terbesar abad ini: kita hidup di zaman yang semakin pintar,
tapi tak semakin bijak. Dan di situlah guru PAI tetap punya tempat — bukan di
panggung utama, tapi di ruang batin bangsa.
Satire untuk Zaman yang Serius
Mungkin,
suatu hari nanti, ada start-up yang menjual “aplikasi akhlak digital.” Ia
menjanjikan algoritma kebaikan, lengkap dengan notifikasi untuk bersabar dan
reminder untuk bersyukur.
Investor datang, dana miliaran mengalir, kamera menyorot, semua orang
bertepuk tangan. Di sudut sekolah, guru PAI bergaji UMR tersenyum kecil—karena
ia tahu, yang tak bisa dijual di pasar modal hanyalah hati, dan itulah
satu-satunya yang masih ia punya.
Karena
pada akhirnya, masa depan guru PAI bukan soal apakah profesinya menjanjikan
atau tidak — tapi apakah manusia masih punya ruang di hatinya untuk belajar
kebaikan.
Dan
kalau suatu hari nanti pasar memutuskan bahwa kebaikan tidak laku dijual,
mungkin guru PAI akan tetap mengajar. Tapi kali ini, ia akan mengajar dunia
bagaimana caranya berhenti menjadi pasar.***