Iklan

Masa Depan Guru PAI: Di Antara Nilai dan Pasar

syamsul kurniawan
Friday, October 10, 2025
Last Updated 2025-10-10T12:23:18Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di antara ruang kelas yang semakin sunyi oleh kehadiran layar, masih ada seorang guru berdiri. Ia bicara tentang iman, tentang amal, tentang kebaikan yang tak punya nilai tukar di bursa saham. Di hadapannya, para siswa sibuk dengan gawai — alat yang sama yang disebut sebagai simbol peradaban baru. Tapi ia tetap mengajar. Karena ia tahu, pendidikan, sebagaimana cinta, tidak pernah tunduk sepenuhnya pada algoritma.

 

Guru, siswa, dan tujuan pendidikan adalah segitiga yang tak bisa dipisahkan. Hilang satu, maka tak ada lagi yang bisa disebut pendidikan. Di dalam segitiga itu, guru bukan sekadar penghubung, melainkan pusat orbit tempat nilai dan makna berputar. Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI), orbit itu tak hanya menyangkut logika, tetapi juga nurani.

 

Era milenial telah menandai dirinya dengan kecepatan: komunikasi digital, kecerdasan buatan, hingga pasar yang menembus sekat-sekat ruang pribadi. Namun kecepatan, seperti air bah, juga bisa melunturkan kedalaman. Dan di sinilah guru PAI berdiri — melawan arus, menjaga makna.

 

Betul, teknologi bisa membantu pembelajaran. Tapi ia tak bisa menanamkan kebijaksanaan. Ia bisa memutar video, tapi tak bisa menumbuhkan empati. Ia bisa memberi data, tapi tak bisa menumbuhkan iman.

 

Weber (2013) pernah menulis tentang dunia modern yang “terdisenchanting” — dunia yang kehilangan pesonanya karena rasionalitas instrumental mengambil alih. Dalam dunia seperti itu, agama menjadi urusan privat, dan profesi, apa pun bentuknya, diukur dari efisiensinya.

 

Guru PAI hidup di tengah dunia yang seperti itu. Dunia yang tak lagi mengukur makna dari “apa yang diajarkan”, tetapi dari “berapa nilainya”. Dari gaji, dari tunjangan, dari status. Ia menjadi bagian dari profesi yang, dalam logika kapitalisme, tampak kurang menjanjikan.

 

Di sinilah ironi itu bermula: profesi yang paling mulia dalam pandangan agama, justru paling sederhana dalam pandangan pasar. Guru PAI bukan pemilik modal, bukan pula penguasa teknologi. Ia hanya memiliki satu hal yang tak bisa dijual: keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya.

 

Abu Hamid al-Ghazali menulis, seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah “matahari di bawah kolong langit.” Tapi di zaman ini, cahaya sering kali kalah dari gemerlap neon pusat perbelanjaan.

 

Maka, seorang guru PAI adalah matahari kecil yang mencoba menyinari ruangan-ruangan sekolah yang dingin oleh modernitas. Ia tahu, cahayanya mungkin tak cukup terang. Tapi ia tetap menyalakannya. Karena tugasnya bukan menaklukkan kegelapan, melainkan memastikan bahwa cahaya itu tak padam.

 

Weber menyebut ini tindakan rasional berbasis nilai (wertrational) — tindakan yang dilakukan bukan demi keuntungan, tapi karena keyakinan bahwa itu benar. Guru PAI adalah contoh paling murni dari bentuk rasionalitas itu. Ia mengajar karena imannya, bukan karena insentifnya.

 

 

Menjanjikan atau Tidak?

 

Pertanyaan ini sering kali diajukan dengan nada setengah iba: “Guru PAI itu masih menjanjikan tidak, sih?” Seolah-olah nilai sebuah profesi bergantung pada seberapa besar nominal di slip gajinya.

 

Kapitalisme modern telah menanamkan satu ilusi besar: bahwa pekerjaan yang baik adalah yang menguntungkan. Maka, guru PAI pun diukur dengan logika pasar. Jika gajinya kecil, maka profesinya dianggap gagal memenuhi “rasionalitas ekonomi”.

 

Padahal, Weber sudah mengingatkan: ketika rasionalitas ekonomi menjadi satu-satunya ukuran, dunia akan kehilangan maknanya. Segala yang tidak produktif akan tampak tidak penting. Termasuk pekerjaan yang menanamkan moral.

 

Dalam sistem kapitalisme, yang dihargai adalah efisiensi dan profit. Sementara guru PAI justru bekerja di ranah yang tak bisa diukur dengan efisiensi. Ia tidak menghasilkan barang, ia menanam nilai. Ia tidak menambah GDP, ia menambah kemanusiaan.

 

Tapi di negara ini, kemanusiaan tak pernah masuk ke tabel APBN. Maka, guru PAI pun harus puas dengan gaji yang lebih kecil dari harga ponsel yang digunakan siswanya.

 

Masalahnya bukan semata pada nominal, tapi pada persepsi. Banyak yang memandang profesi guru PAI sebagai bentuk “pengabdian tanpa pamrih”. Sebuah kalimat indah yang sering dipakai untuk menutupi ketidakadilan struktural.

 

Keikhlasan guru PAI dijadikan legitimasi bagi sistem yang tak adil. “Bekerjalah dengan niat ibadah,” kata banyak pejabat, sambil menandatangani anggaran yang lebih besar untuk pembangunan jalan ketimbang pembangunan moral.

 

Weber barangkali tak menduga bahwa pandangannya akan begitu relevan kini: kekuasaan selalu mencari pembenaran moral, dan dalam kasus guru PAI, pembenaran itu bernama keikhlasan.

 

Padahal, keikhlasan sejati tidak berarti pasrah pada ketimpangan. Justru karena ikhlas, seorang guru PAI harus menuntut martabatnya dijaga. Sebab martabat bukan urusan gaji, tapi pengakuan sosial terhadap nilai kerjanya.

 

Syaiful Bahri Djamarah (2000) menyebut guru sebagai bapak rohani. Tapi dalam realitas kapitalisme, sang bapak rohani ini sering diperlakukan seperti buruh rohani — digaji rendah, dituntut tinggi, dan diingat hanya ketika moral bangsa memburuk.

 

Namun, terlepas dari itu, guru PAI tetap bekerja. Ia tak menunggu pengakuan, karena ia tahu pekerjaannya bukan proyek ekonomi, melainkan peradaban. Ia mengajar bukan untuk dipuji, tapi agar generasi yang lahir nanti tidak kehilangan arah.

 

Ahmad Tafsir (2005) menyebut pendidikan agama sebagai bimbingan, bukan sekadar pengajaran. Dan bimbingan hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memelihara nilai dalam dirinya. Maka, profesionalisme guru PAI adalah soal karakter sebelum kompetensi.

 

Dalam dunia digital, guru PAI dituntut untuk relevan. Tapi relevansi bukan berarti kompromi. Ia tak perlu menyesuaikan nilai Islam dengan tren TikTok, melainkan menuntun muridnya untuk membaca dunia modern dengan iman yang jernih.

 

Profesionalisme sejati adalah kemampuan menghubungkan langit dan bumi: wahyu dan ilmu, iman dan sains. Guru PAI yang mampu mengintegrasikan keduanya sedang bekerja di wilayah yang justru paling strategis bagi masa depan bangsa.

 

Maka benar, guru PAI tidak bisa digantikan oleh mesin. Karena mesin tak bisa memahami makna taqwa. Kecerdasan buatan bisa menyalin ayat, tapi tak bisa merasakan getarannya.

 

Namun guru PAI harus berani memperbarui diri. Ia tak cukup hanya menjadi pengulang teks, tapi penafsir zaman. Ia tak hanya menjelaskan, tapi meneladankan.

 

Dalam setiap pelajaran, ia tak sekadar menyalin nilai Islam, tapi mempraktikkannya: kejujuran, kerja keras, kasih sayang. Dan itu semua tak bisa ditransfer lewat PowerPoint.

 

Weber percaya, makna tindakan manusia hanya bisa dipahami dari niatnya. Maka niat guru PAI — mengajar karena ibadah — adalah bentuk tertinggi dari tindakan bermakna. Tapi niat itu harus dilindungi dari eksploitasi sistem yang memanfaatkannya.

 

Di Indonesia, ada banyak sekali guru PAI. Mungkin nama mereka tak pernah disebut dalam pidato kenegaraan, tapi merekalah yang menanam nilai-nilai yang membuat bangsa ini tidak seluruhnya kehilangan arah.

 

Sains boleh maju, teknologi boleh menggila, tapi siapa yang mengajarkan etika bagi pengguna sains itu kalau bukan guru PAI?

 

Barangkali, inilah paradoks terbesar abad ini: kita hidup di zaman yang semakin pintar, tapi tak semakin bijak. Dan di situlah guru PAI tetap punya tempat — bukan di panggung utama, tapi di ruang batin bangsa.

 

Satire untuk Zaman yang Serius

 

Mungkin, suatu hari nanti, ada start-up yang menjual “aplikasi akhlak digital.” Ia menjanjikan algoritma kebaikan, lengkap dengan notifikasi untuk bersabar dan reminder untuk bersyukur.

 

Investor datang, dana miliaran mengalir, kamera menyorot, semua orang bertepuk tangan. Di sudut sekolah, guru PAI bergaji UMR tersenyum kecil—karena ia tahu, yang tak bisa dijual di pasar modal hanyalah hati, dan itulah satu-satunya yang masih ia punya.

 

Karena pada akhirnya, masa depan guru PAI bukan soal apakah profesinya menjanjikan atau tidak — tapi apakah manusia masih punya ruang di hatinya untuk belajar kebaikan.

 

Dan kalau suatu hari nanti pasar memutuskan bahwa kebaikan tidak laku dijual, mungkin guru PAI akan tetap mengajar. Tapi kali ini, ia akan mengajar dunia bagaimana caranya berhenti menjadi pasar.***


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now