Iklan

Dari Sawah ke Sekolah: Menyelami Dialektika Basis dan Suprastruktur dalam Nasib Kaum Kecil

syamsul kurniawan
Friday, October 10, 2025
Last Updated 2025-10-11T03:12:22Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Konflik agraria di Indonesia bukan sekadar perkara batas tanah. Ia lebih dalam daripada itu: persoalan tentang siapa yang berhak atas hidup. Dari Sumatera sampai Papua, dari rawa-rawa Kalimantan hingga lereng Jawa, tanah bukan hanya benda mati yang bisa diukur luasnya, melainkan ruang yang menghidupi ingatan dan identitas.

 

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terus meningkat bahkan setelah banyak janji reformasi agraria diluncurkan. Ribuan keluarga petani terusir dari tanahnya sendiri, sementara perusahaan besar, berbekal sertifikat dan izin, menguasai hektare demi hektare wilayah produksi.

 

Dari luar, kita sering melihatnya sebagai sengketa hukum atau administratif. Namun di dalamnya, ada semacam perkelahian sosial — seperti tawuran yang tak pernah benar-benar berhenti. Perkelahian bukan dalam bentuk pukulan, tetapi dalam bentuk kebijakan dan tanda tangan.

 

Penanggulangan konflik, dalam bahasa sehari-hari, berarti mencegah sesuatu sebelum ia terjadi. Tetapi bagaimana mungkin kita mencegah sesuatu yang telah diwariskan puluhan tahun? Di negeri ini, konflik bukan hanya akibat; ia adalah warisan sosial yang dipelihara.

 

Faktor-faktor yang melatarbelakangi perkelahian antar kelompok, bila dibaca dalam konteks agraria, tidak jauh berbeda: perebutan lahan, dendam lama, ketimpangan ekonomi, dan kepadatan sosial yang memicu ketersinggungan kolektif. Di desa, itu terjadi antara warga dan aparat perusahaan; di kota, antara penghuni lama dan pendatang baru.

 

Pierre Bourdieu (1977) mungkin akan melihatnya sebagai pertarungan di dalam arena sosial, di mana setiap aktor membawa “modal” berbeda: modal ekonomi, modal sosial, dan modal simbolik. Perusahaan datang dengan sertifikat dan koneksi; petani datang dengan cangkul dan sejarah.

 

Dalam arena itu, habitus bekerja diam-diam. Petani tumbuh dengan kesadaran bahwa tanah adalah ibu. Sementara korporasi tumbuh dengan keyakinan bahwa tanah adalah aset. Dua cara berpikir itu tidak pernah seimbang, karena masing-masing hidup di dunia simbolik yang berbeda.

 

Konflik agraria akhirnya menjadi pertarungan antara dua sistem nilai. Ketika kekuasaan negara berpihak pada kepemilikan legal, bukan pada kelayakan moral, maka hukum menjadi alat untuk menertibkan yang lemah. Habitus kaum kecil pun retak.

 

Emile Durkheim (1895) pernah menulis bahwa solidaritas sosial bisa runtuh ketika norma tak lagi disepakati bersama. Dalam situasi agraria hari ini, anomie itu terasa nyata. Orang tak lagi tahu harus tunduk pada siapa: pada hukum, pada adat, atau pada kebutuhan untuk bertahan hidup.

 

Dalam masyarakat seperti ini, perkelahian tak selalu berarti kekerasan fisik. Ia bisa berupa penolakan diam-diam, sabotase kecil, atau sekadar ketidakpercayaan terhadap negara. Sebuah bentuk resistensi halus, tapi terus-menerus.

 

Ketika petani membakar tenda perusahaan atau menutup jalan tambang, mereka sebenarnya sedang menegaskan eksistensi: bahwa hidup mereka tak bisa direduksi menjadi data. Bahwa di balik angka “luas hektare” ada rumah, anak-anak, dan kenangan.

 

Namun bagi kekuasaan, konflik dianggap sebagai gangguan pembangunan. Padahal, bagi masyarakat kecil, konflik adalah satu-satunya ruang untuk didengar. Dalam struktur sosial yang timpang, bentrokan menjadi cara komunikasi yang brutal tapi jujur.

 

Durkheim (1895) mungkin menyebutnya gejala dari lemahnya solidaritas mekanik — hubungan berbasis kesamaan yang kini terkikis oleh industrialisasi dan urbanisasi. Masyarakat berubah terlalu cepat, sementara nilai-nilai yang lama belum sempat diperbarui.

 

Ketika itu terjadi, kekerasan menjadi bahasa sosial baru. Ia menggantikan dialog, menggantikan kepercayaan. Orang tak lagi mencari penyelesaian rasional, melainkan emosional.

 

Pada titik ini, penanggulangan konflik tidak lagi semata urusan aparat keamanan atau proses mediasi. Ia menjelma menjadi persoalan rekonstruksi kesadaran sosial — tentang bagaimana masyarakat kembali mampu memandang dirinya sebagai satu tubuh yang utuh, bukan sekumpulan pihak yang saling menuding dan mencurigai.

 

Sebab manusia tak pernah bertindak di ruang hampa. Setiap individu bergerak di dalam pranata — entah itu adat, hukum, atau jaringan kekuasaan. Namun, ketika pranata-pranata itu bergeser menjadi alat kontrol sepihak, ruang partisipasi publik perlahan lenyap. Masyarakat tidak lagi merasa menjadi bagian dari keputusan, melainkan hanya objek yang dikendalikan olehnya.

 

Status sosial, dalam arti Bourdieu (1977), menentukan siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan. Peran sosial seorang pejabat memiliki daya simbolik yang lebih besar daripada seorang petani, bahkan ketika petani itu bicara tentang tanah yang digarapnya sejak lahir.

 

Konflik agraria akhirnya adalah pertarungan simbolik: siapa yang punya hak mendefinisikan “tanah milik”. Negara memonopoli makna itu melalui sertifikat dan izin usaha, sementara rakyat memegangnya lewat sejarah dan darah.

 

Ketika dua definisi ini bertabrakan, yang kalah adalah mereka yang tak punya akses pada modal simbolik — bahasa hukum, surat izin, atau media. Di situlah struktur kekuasaan bekerja secara halus namun mematikan.

 

Bourdieu (1977) menyebutnya reproduksi kekuasaan simbolik: ketika yang berkuasa mampu menanamkan keyakinan bahwa ketimpangan adalah sesuatu yang alamiah. Bahwa kemiskinan adalah nasib, bukan akibat.

 

Ibarat Makan Buah Simalakama

 

Bagi pemerintah, konflik agraria adalah buah simalakama. Menyentuh satu sisi berarti kehilangan sisi lain. Membela rakyat bisa dianggap menghambat investasi; membela investasi berarti menyingkirkan rakyat.

 

Namun diam bukan pilihan. Karena setiap kebijakan yang lahir dari kompromi tanpa moral hanya akan menunda letupan berikutnya. Tanah yang disakiti akan membalas — entah lewat banjir, kekeringan, atau kemiskinan sosial yang tak kunjung reda.

 

Konflik ini seperti spiral yang tak habis-habis. Dari sengketa kecil antarwarga, berkembang menjadi pertarungan antarkelompok, lalu meluas menjadi krisis sosial. Dari sinilah lahir dendam turun-temurun, yang terus diwariskan tanpa pernah selesai.

 

Durkheim (1895) melihat konflik sebagai bagian dari dinamika sosial yang bisa melahirkan perubahan. Tapi hanya jika konflik itu dikelola dengan kesadaran kolektif, bukan dengan dendam.

 

Sayangnya, di banyak tempat, konflik tak menghasilkan pembelajaran sosial. Ia hanya meninggalkan luka, tanpa refleksi. Pemerintah datang dengan solusi administratif, sementara masyarakat tinggal dengan rasa kehilangan.

 

Dalam logika kapitalisme agraria, setiap jengkal tanah adalah angka. Ia tak punya ruh, tak punya sejarah. Dari situlah jarak antara basis dan suprastruktur melebar: ketika ekonomi memproduksi ketimpangan, budaya memproduksi pembenaran.

 

Marx (1867) menyebut relasi ini sebagai dialektika materialisme historis. Basis — alat produksi — menentukan bentuk suprastruktur: hukum, ideologi, pendidikan. Tetapi suprastruktur juga meneguhkan basis dengan menanamkan legitimasi moral bagi ketimpangan.

 

Maka, konflik agraria tidak pernah netral. Ia lahir dari pertarungan antara basis ekonomi yang timpang dan suprastruktur ideologis yang melegitimasinya. Negara menjadi jembatan di antara keduanya, sering kali lebih condong pada kepentingan modal.

 

Dalam situasi ini, petani menjadi korban dialektika: mereka bukan hanya miskin secara ekonomi, tapi juga secara simbolik. Mereka kehilangan suara dalam percakapan publik yang dikuasai oleh wacana pembangunan.

 

Konflik agraria akhirnya bukan soal siapa yang benar, tapi siapa yang punya kuasa untuk dianggap benar. Dan dalam sistem seperti itu, kebenaran selalu berpihak pada yang memiliki modal — bukan kearifan.

 

Pendidikan dan Superstruktur

 

Namun di antara seluruh pesimisme itu, masih ada ruang harapan: pendidikan. Marx (1867), dalam kritiknya terhadap Hegel, menyadari bahwa suprastruktur bisa diubah jika kesadaran masyarakat berubah. Dan kesadaran itu lahir dari pengetahuan.

 

Pendidikan bukan sekadar instrumen reproduksi sosial. Ia juga bisa menjadi senjata emansipasi. Sekolah, bila benar dikelola, bisa menjadi ruang untuk memahami mengapa ketimpangan itu terjadi, bukan sekadar menerima nasib.

 

Sayangnya, di banyak tempat, pendidikan justru memperkuat suprastruktur lama. Kurikulum mengajarkan kepatuhan, bukan kesadaran. Sekolah menjadi pabrik disiplin, bukan laboratorium pemikiran.

 

Pendidikan kita sering kali menjauh dari sawah, dari tanah, dari kenyataan. Ia mengajarkan logaritma dan teori pasar, tapi melupakan bagaimana petani hidup di bawah harga gabah yang tak menentu.

 

Padahal, dari sawahlah kesadaran sejati bisa tumbuh. Anak-anak yang belajar menanam akan paham bahwa hasil bumi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlanjutan. Bahwa tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan sumber hidup.

 

Marx (1867) menulis bahwa suprastruktur tak bisa berubah tanpa guncangan di basis. Tapi pendidikan bisa menjadi percikan awal bagi guncangan itu: menumbuhkan kesadaran baru di kepala generasi muda tentang siapa yang sesungguhnya diuntungkan oleh sistem yang berjalan.

 

Dalam pengertian itu, sekolah bisa menjadi arena baru — bukan arena Bourdieu (1977) yang sarat dominasi, tetapi arena dialektik, tempat modal simbolik bisa direbut kembali oleh mereka yang selama ini diabaikan.

 

Pendidikan harus mengembalikan makna habitus kolektif — menumbuhkan kembali solidaritas sosial yang menyatukan manusia sebagai sesama warga, bukan sekadar pesaing dalam arena pasar bebas.

 

Durkheim (1895) mungkin akan menyebutnya bukan sebagai urusan agama, melainkan empati sosial: kemampuan batin untuk terusik oleh penderitaan orang lain, dan dari kegelisahan itulah lahir tanggung jawab bersama.

 

Jika kesadaran seperti itu tumbuh, maka suprastruktur baru bisa lahir. Sebuah masyarakat yang tidak mengukur kemajuan dari angka investasi, melainkan dari seberapa sedikit orang yang kehilangan tanahnya.

 

Pendidikan sejatinya adalah proses mengingatkan manusia akan kemanusiaannya sendiri. Ia menolak reduksi bahwa hidup hanyalah produksi dan konsumsi.

 

Dalam masyarakat yang sadar, sawah bukan hanya ladang padi, tetapi ladang makna. Tempat di mana manusia belajar menghargai kerja, waktu, dan keterhubungan dengan alam.

 

Sekolah yang baik adalah sekolah yang tahu di mana ia berpijak. Ia tidak berdiri di atas tanah netral, melainkan di atas sejarah sosial yang harus dipahami dan diperbaiki.

 

Pendidikan semacam itu bukan utopia. Ia hanya membutuhkan keberanian untuk menolak diam. Untuk bertanya mengapa ketimpangan dianggap wajar, dan mengapa tanah bisa dimiliki hanya oleh segelintir orang.

 

Ketika generasi baru mulai mempertanyakan struktur, maka dialektika antara basis dan suprastruktur bisa bergerak ke arah yang lebih adil. Itulah awal perubahan sosial sejati.

 

Perubahan tidak selalu datang dari revolusi besar. Kadang ia dimulai dari satu ruang kelas kecil di desa, dari satu guru yang mengajarkan anak-anaknya berpikir kritis tentang tanah tempat mereka berpijak.

 

Mungkin dari sanalah solidaritas sosial yang hilang bisa lahir kembali. Solidaritas yang bukan didorong oleh kesamaan penderitaan, tetapi oleh kesadaran bahwa hidup adalah tanggung jawab bersama.

 

Dalam dunia seperti itu, sawah dan sekolah bukan dua ruang terpisah. Sawah menjadi ruang belajar, sekolah menjadi ruang menanam nilai. Keduanya saling menghidupi.

 

Dan di antara keduanya, manusia kembali menemukan dirinya — bukan sebagai korban sistem, tapi sebagai subjek sejarah.

 

Karena di ujung segala teori, segala konsep, dan segala kebijakan, tanah dan pendidikan sejatinya berbicara hal yang sama: tentang bagaimana manusia belajar hidup tanpa merampas hak hidup orang lain.***

 

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now