Oleh:
Syamsul Kurniawan
Konflik
agraria di Indonesia bukan sekadar perkara batas tanah. Ia lebih dalam daripada
itu: persoalan tentang siapa yang berhak atas hidup. Dari Sumatera sampai
Papua, dari rawa-rawa Kalimantan hingga lereng Jawa, tanah bukan hanya benda
mati yang bisa diukur luasnya, melainkan ruang yang menghidupi ingatan dan
identitas.
Menurut
data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terus meningkat bahkan
setelah banyak janji reformasi agraria diluncurkan. Ribuan keluarga petani
terusir dari tanahnya sendiri, sementara perusahaan besar, berbekal sertifikat
dan izin, menguasai hektare demi hektare wilayah produksi.
Dari
luar, kita sering melihatnya sebagai sengketa hukum atau administratif. Namun
di dalamnya, ada semacam perkelahian sosial — seperti tawuran yang tak pernah
benar-benar berhenti. Perkelahian bukan dalam bentuk pukulan, tetapi dalam
bentuk kebijakan dan tanda tangan.
Penanggulangan
konflik, dalam bahasa sehari-hari, berarti mencegah sesuatu sebelum ia terjadi.
Tetapi bagaimana mungkin kita mencegah sesuatu yang telah diwariskan puluhan
tahun? Di negeri ini, konflik bukan hanya akibat; ia adalah warisan sosial yang
dipelihara.
Faktor-faktor
yang melatarbelakangi perkelahian antar kelompok, bila dibaca dalam konteks
agraria, tidak jauh berbeda: perebutan lahan, dendam lama, ketimpangan ekonomi,
dan kepadatan sosial yang memicu ketersinggungan kolektif. Di desa, itu terjadi
antara warga dan aparat perusahaan; di kota, antara penghuni lama dan pendatang
baru.
Pierre
Bourdieu (1977) mungkin akan melihatnya sebagai pertarungan di dalam arena
sosial, di mana setiap aktor membawa “modal” berbeda: modal ekonomi, modal
sosial, dan modal simbolik. Perusahaan datang dengan sertifikat dan koneksi;
petani datang dengan cangkul dan sejarah.
Dalam
arena itu, habitus bekerja diam-diam. Petani tumbuh dengan kesadaran
bahwa tanah adalah ibu. Sementara korporasi tumbuh dengan keyakinan bahwa tanah
adalah aset. Dua cara berpikir itu tidak pernah seimbang, karena masing-masing
hidup di dunia simbolik yang berbeda.
Konflik
agraria akhirnya menjadi pertarungan antara dua sistem nilai. Ketika kekuasaan
negara berpihak pada kepemilikan legal, bukan pada kelayakan moral, maka hukum
menjadi alat untuk menertibkan yang lemah. Habitus kaum kecil pun retak.
Emile
Durkheim (1895) pernah menulis bahwa solidaritas sosial bisa runtuh ketika
norma tak lagi disepakati bersama. Dalam situasi agraria hari ini, anomie
itu terasa nyata. Orang tak lagi tahu harus tunduk pada siapa: pada hukum, pada
adat, atau pada kebutuhan untuk bertahan hidup.
Dalam
masyarakat seperti ini, perkelahian tak selalu berarti kekerasan fisik. Ia bisa
berupa penolakan diam-diam, sabotase kecil, atau sekadar ketidakpercayaan
terhadap negara. Sebuah bentuk resistensi halus, tapi terus-menerus.
Ketika
petani membakar tenda perusahaan atau menutup jalan tambang, mereka sebenarnya
sedang menegaskan eksistensi: bahwa hidup mereka tak bisa direduksi menjadi
data. Bahwa di balik angka “luas hektare” ada rumah, anak-anak, dan kenangan.
Namun
bagi kekuasaan, konflik dianggap sebagai gangguan pembangunan. Padahal,
bagi masyarakat kecil, konflik adalah satu-satunya ruang untuk didengar. Dalam
struktur sosial yang timpang, bentrokan menjadi cara komunikasi yang brutal
tapi jujur.
Durkheim
(1895) mungkin menyebutnya gejala dari lemahnya solidaritas mekanik — hubungan
berbasis kesamaan yang kini terkikis oleh industrialisasi dan urbanisasi.
Masyarakat berubah terlalu cepat, sementara nilai-nilai yang lama belum sempat
diperbarui.
Ketika
itu terjadi, kekerasan menjadi bahasa sosial baru. Ia menggantikan dialog,
menggantikan kepercayaan. Orang tak lagi mencari penyelesaian rasional,
melainkan emosional.
Pada
titik ini, penanggulangan konflik tidak lagi semata urusan aparat keamanan atau
proses mediasi. Ia menjelma menjadi persoalan rekonstruksi kesadaran sosial —
tentang bagaimana masyarakat kembali mampu memandang dirinya sebagai satu tubuh
yang utuh, bukan sekumpulan pihak yang saling menuding dan mencurigai.
Sebab
manusia tak pernah bertindak di ruang hampa. Setiap individu bergerak di dalam
pranata — entah itu adat, hukum, atau jaringan kekuasaan. Namun, ketika
pranata-pranata itu bergeser menjadi alat kontrol sepihak, ruang partisipasi
publik perlahan lenyap. Masyarakat tidak lagi merasa menjadi bagian dari
keputusan, melainkan hanya objek yang dikendalikan olehnya.
Status
sosial, dalam arti Bourdieu (1977), menentukan siapa yang didengar dan siapa
yang diabaikan. Peran sosial seorang pejabat memiliki daya simbolik yang lebih
besar daripada seorang petani, bahkan ketika petani itu bicara tentang tanah
yang digarapnya sejak lahir.
Konflik
agraria akhirnya adalah pertarungan simbolik: siapa yang punya hak
mendefinisikan “tanah milik”. Negara memonopoli makna itu melalui sertifikat
dan izin usaha, sementara rakyat memegangnya lewat sejarah dan darah.
Ketika
dua definisi ini bertabrakan, yang kalah adalah mereka yang tak punya akses
pada modal simbolik — bahasa hukum, surat izin, atau media. Di situlah struktur
kekuasaan bekerja secara halus namun mematikan.
Bourdieu
(1977) menyebutnya reproduksi kekuasaan simbolik: ketika yang berkuasa
mampu menanamkan keyakinan bahwa ketimpangan adalah sesuatu yang alamiah. Bahwa
kemiskinan adalah nasib, bukan akibat.
Ibarat
Makan Buah Simalakama
Bagi
pemerintah, konflik agraria adalah buah simalakama. Menyentuh satu sisi berarti
kehilangan sisi lain. Membela rakyat bisa dianggap menghambat investasi;
membela investasi berarti menyingkirkan rakyat.
Namun
diam bukan pilihan. Karena setiap kebijakan yang lahir dari kompromi tanpa
moral hanya akan menunda letupan berikutnya. Tanah yang disakiti akan membalas
— entah lewat banjir, kekeringan, atau kemiskinan sosial yang tak kunjung reda.
Konflik
ini seperti spiral yang tak habis-habis. Dari sengketa kecil antarwarga,
berkembang menjadi pertarungan antarkelompok, lalu meluas menjadi krisis
sosial. Dari sinilah lahir dendam turun-temurun, yang terus diwariskan tanpa
pernah selesai.
Durkheim
(1895) melihat konflik sebagai bagian dari dinamika sosial yang bisa melahirkan
perubahan. Tapi hanya jika konflik itu dikelola dengan kesadaran kolektif,
bukan dengan dendam.
Sayangnya,
di banyak tempat, konflik tak menghasilkan pembelajaran sosial. Ia hanya
meninggalkan luka, tanpa refleksi. Pemerintah datang dengan solusi
administratif, sementara masyarakat tinggal dengan rasa kehilangan.
Dalam
logika kapitalisme agraria, setiap jengkal tanah adalah angka. Ia tak punya
ruh, tak punya sejarah. Dari situlah jarak antara basis dan suprastruktur
melebar: ketika ekonomi memproduksi ketimpangan, budaya memproduksi pembenaran.
Marx
(1867) menyebut relasi ini sebagai dialektika materialisme historis.
Basis — alat produksi — menentukan bentuk suprastruktur: hukum, ideologi,
pendidikan. Tetapi suprastruktur juga meneguhkan basis dengan menanamkan
legitimasi moral bagi ketimpangan.
Maka,
konflik agraria tidak pernah netral. Ia lahir dari pertarungan antara basis
ekonomi yang timpang dan suprastruktur ideologis yang melegitimasinya. Negara
menjadi jembatan di antara keduanya, sering kali lebih condong pada kepentingan
modal.
Dalam
situasi ini, petani menjadi korban dialektika: mereka bukan hanya miskin secara
ekonomi, tapi juga secara simbolik. Mereka kehilangan suara dalam percakapan
publik yang dikuasai oleh wacana pembangunan.
Konflik
agraria akhirnya bukan soal siapa yang benar, tapi siapa yang punya kuasa untuk
dianggap benar. Dan dalam sistem seperti itu, kebenaran selalu berpihak pada
yang memiliki modal — bukan kearifan.
Pendidikan
dan Superstruktur
Namun
di antara seluruh pesimisme itu, masih ada ruang harapan: pendidikan. Marx
(1867), dalam kritiknya terhadap Hegel, menyadari bahwa suprastruktur bisa
diubah jika kesadaran masyarakat berubah. Dan kesadaran itu lahir dari
pengetahuan.
Pendidikan
bukan sekadar instrumen reproduksi sosial. Ia juga bisa menjadi senjata
emansipasi. Sekolah, bila benar dikelola, bisa menjadi ruang untuk memahami
mengapa ketimpangan itu terjadi, bukan sekadar menerima nasib.
Sayangnya,
di banyak tempat, pendidikan justru memperkuat suprastruktur lama. Kurikulum
mengajarkan kepatuhan, bukan kesadaran. Sekolah menjadi pabrik disiplin, bukan
laboratorium pemikiran.
Pendidikan
kita sering kali menjauh dari sawah, dari tanah, dari kenyataan. Ia mengajarkan
logaritma dan teori pasar, tapi melupakan bagaimana petani hidup di bawah harga
gabah yang tak menentu.
Padahal,
dari sawahlah kesadaran sejati bisa tumbuh. Anak-anak yang belajar menanam akan
paham bahwa hasil bumi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlanjutan.
Bahwa tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan sumber hidup.
Marx
(1867) menulis bahwa suprastruktur tak bisa berubah tanpa guncangan di basis.
Tapi pendidikan bisa menjadi percikan awal bagi guncangan itu: menumbuhkan
kesadaran baru di kepala generasi muda tentang siapa yang sesungguhnya
diuntungkan oleh sistem yang berjalan.
Dalam
pengertian itu, sekolah bisa menjadi arena baru — bukan arena Bourdieu (1977)
yang sarat dominasi, tetapi arena dialektik, tempat modal simbolik bisa direbut
kembali oleh mereka yang selama ini diabaikan.
Pendidikan
harus mengembalikan makna habitus kolektif — menumbuhkan kembali solidaritas
sosial yang menyatukan manusia sebagai sesama warga, bukan sekadar pesaing
dalam arena pasar bebas.
Durkheim
(1895) mungkin akan menyebutnya bukan sebagai urusan agama, melainkan empati
sosial: kemampuan batin untuk terusik oleh penderitaan orang lain, dan dari
kegelisahan itulah lahir tanggung jawab bersama.
Jika
kesadaran seperti itu tumbuh, maka suprastruktur baru bisa lahir. Sebuah
masyarakat yang tidak mengukur kemajuan dari angka investasi, melainkan dari
seberapa sedikit orang yang kehilangan tanahnya.
Pendidikan
sejatinya adalah proses mengingatkan manusia akan kemanusiaannya sendiri. Ia
menolak reduksi bahwa hidup hanyalah produksi dan konsumsi.
Dalam
masyarakat yang sadar, sawah bukan hanya ladang padi, tetapi ladang makna.
Tempat di mana manusia belajar menghargai kerja, waktu, dan keterhubungan
dengan alam.
Sekolah
yang baik adalah sekolah yang tahu di mana ia berpijak. Ia tidak berdiri di
atas tanah netral, melainkan di atas sejarah sosial yang harus dipahami dan
diperbaiki.
Pendidikan
semacam itu bukan utopia. Ia hanya membutuhkan keberanian untuk menolak diam.
Untuk bertanya mengapa ketimpangan dianggap wajar, dan mengapa tanah bisa
dimiliki hanya oleh segelintir orang.
Ketika
generasi baru mulai mempertanyakan struktur, maka dialektika antara basis dan
suprastruktur bisa bergerak ke arah yang lebih adil. Itulah awal perubahan
sosial sejati.
Perubahan
tidak selalu datang dari revolusi besar. Kadang ia dimulai dari satu ruang
kelas kecil di desa, dari satu guru yang mengajarkan anak-anaknya berpikir
kritis tentang tanah tempat mereka berpijak.
Mungkin
dari sanalah solidaritas sosial yang hilang bisa lahir kembali. Solidaritas
yang bukan didorong oleh kesamaan penderitaan, tetapi oleh kesadaran bahwa
hidup adalah tanggung jawab bersama.
Dalam
dunia seperti itu, sawah dan sekolah bukan dua ruang terpisah. Sawah menjadi
ruang belajar, sekolah menjadi ruang menanam nilai. Keduanya saling menghidupi.
Dan
di antara keduanya, manusia kembali menemukan dirinya — bukan sebagai korban
sistem, tapi sebagai subjek sejarah.
Karena
di ujung segala teori, segala konsep, dan segala kebijakan, tanah dan
pendidikan sejatinya berbicara hal yang sama: tentang bagaimana manusia belajar
hidup tanpa merampas hak hidup orang lain.***