Iklan

Islam, Demokrasi, dan Kewargaan dalam Sorotan Baru

syamsul kurniawan
Saturday, May 17, 2025
Last Updated 2025-05-18T04:29:27Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Robert W. Hefner, Islam and Citizenship in Indonesia: Democracy and the Quest for an Inclusive Public Ethics. New York: Routledge, 2024. xiv+388 pp. ISBN: 9781032629148, 9781032629131, 9781032629155. Price: $187.75 (Hardcover)

Oleh: Syamsul Kurniawan


Dalam Islam and Citizenship in Indonesia, Robert W. Hefner menyajikan sebuah telaah yang tajam dan penuh wawasan mengenai hubungan antara Islam, demokrasi, dan kewargaan di Indonesia. Buku ini dengan cermat menggambarkan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia yang tengah berusaha keras menemukan rumusan ideal antara Islam dan demokrasi di tengah tantangan besar berupa pluralisme agama dan eksklusivisme. Hefner menambatkan harapannya pada kemungkinan terwujudnya kewargaan yang inklusif, di mana etika publik yang berakar pada pluralisme dan penghargaan terhadap perbedaan dapat menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, meskipun visi ini luhur, ia tidak lepas dari pergulatan yang dalam dengan realitas lanskap politik dan sosial Indonesia yang tegang. Buku ini tidak hanya menghadirkan kerangka teori yang cemerlang, tetapi juga menjadi cermin tempat kita dapat mengamati bagaimana konsep demokrasi dan kewargaan dapat hidup, menyesuaikan diri, dan bertahan di tengah konflik sosial yang tak terhindarkan.


Sebagai sebuah narasi, Hefner tidak hanya mengandalkan idealisme semata, tetapi juga secara hati-hati menganalisis kenyataan yang berlaku di lapangan. Meskipun Indonesia telah mengalami transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi sejak tahun 1998, negara ini tetap sarat dengan tantangan besar. Meningkatnya militansi kelompok Islam radikal dan kekerasan yang semakin sering terhadap kelompok minoritas agama menjadi bukti nyata bahwa perjalanan menuju kewargaan inklusif masih jauh dari kata selesai. Hefner menunjukkan bahwa meskipun sejarah Indonesia telah memberi ruang bagi inklusivitas keagamaan dan kebebasan sipil, kenyataan politik dan sosial saat ini—dengan polarisasi dan ketegangan yang semakin mendalam—justru mendorong negara ke arah kemunduran. Buku ini menyoroti bahwa Islam di Indonesia, yang sebelumnya diharapkan menjadi kekuatan pemersatu, kini terpecah ke dalam faksi-faksi yang saling bersaing, memperparah ketegangan dalam jalinan nasional.


Hefner memulai pembahasannya dengan sebuah pengantar yang sangat personal, menceritakan perjalanan panjangnya menjelajahi Indonesia. Dalam bagian ini, ia mengungkapkan bagaimana pengalamannya di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 1980-an telah membentuk pemahamannya tentang negeri ini, terutama terkait ketegangan antara ideologi Islam dan praktik demokrasi. Islam and Citizenship in Indonesia menggali lebih dalam peran penting masyarakat sipil Muslim yang, meskipun terfragmentasi, telah bekerja tanpa lelah untuk memperkenalkan nilai-nilai kewargaan yang demokratis dan inklusif. Namun, kenyataan yang menohok menunjukkan bahwa Indonesia tidak kebal terhadap kebangkitan Islamisme radikal, yang menuntut pembatasan terhadap kebebasan beragama dan hak-hak sipil lainnya. Hefner menggambarkan bahwa Islam di Indonesia, meski dapat menjadi pendukung demokrasi, juga dapat berubah menjadi penghalang terbesar, tergantung pada bagaimana ia dipraktikkan dan dipahami oleh berbagai kelompok sosial dan politik.


Pada bab pertama, Hefner memberikan analisis yang mendalam mengenai transisi Indonesia menuju demokrasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Ia mencatat bahwa meskipun Indonesia berhasil memulai perjalanan demokrasinya, proses tersebut tidak berjalan mulus. Bab ini menunjukkan bagaimana peran Islam dalam demokrasi yang baru terbentuk dipenuhi dengan ketegangan. Di satu sisi, terdapat gerakan-gerakan Muslim yang mendukung pluralisme dan demokrasi, sementara di sisi lain, arus yang kuat berusaha mendominasi ranah politik dengan penerapan Islam secara eksklusif. Menurut Hefner, Indonesia adalah negara yang masih berjuang memahami dirinya sendiri, dengan ideologi-ideologi yang saling bertentangan mengenai seperti apa seharusnya identitas nasionalnya.


Bab kedua menggambarkan bagaimana kebangkitan Islam pasca-Reformasi telah menghadirkan tantangan-tantangan baru bagi demokrasi Indonesia. Meskipun banyak harapan akan perluasan kebebasan sipil dan partisipasi politik yang lebih inklusif, kenyataannya adalah pengaruh gerakan Islamis yang semakin besar, mendorong penerapan hukum syariah yang ketat—yang secara jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi inklusif. Hefner menggambarkan ini sebagai paradoks tajam dalam proses demokratisasi Indonesia, di mana kebebasan dan ketegangan agama berjalan berdampingan.


Bab ketiga menelaah proses "religionisasi" di Indonesia, yang merupakan bagian dari fenomena global di mana agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, tetapi juga dijadikan alat untuk kepentingan politik. Di Indonesia, Hefner menelusuri bagaimana agama digunakan sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan sosial dan politik, yang dalam beberapa kasus menyebabkan lahirnya kebijakan diskriminatif terhadap non-Muslim dan perempuan. Di sinilah, menurut Hefner, terletak tantangan terbesar Indonesia dalam mewujudkan kewargaan yang inklusif: bagaimana mencegah agar politik tidak terjebak dalam kepentingan sektarian yang sempit, sambil tetap mengakui keberagaman agama sebagai aset bangsa.


Pada bab keempat, Hefner membahas secara tajam mengenai "belokan konservatif" dalam Islam Indonesia, yang tampaknya semakin mendominasi ruang publik. Ia menunjukkan bagaimana kelompok Islam yang lebih konservatif mulai memperoleh kekuatan politik, berupaya untuk kembali memberlakukan nilai-nilai yang membatasi hak perempuan, kebebasan beragama, dan kebebasan politik. Namun, ia juga menyoroti bagaimana gerakan Islam yang moderat dan progresif berusaha menyeimbangkan pengaruh tersebut dengan mengusung agenda demokratisasi dan hak asasi manusia dalam narasi Islam yang lebih inklusif. Dengan demikian, Indonesia menjadi ruang penuh kontradiksi, di mana berbagai gerakan sosial berjuang membentuk arah kebijakan negara.


Bab kelima, yang membahas pendidikan Islam dan etika, memberikan wawasan mengenai bagaimana sistem pendidikan Islam di Indonesia memainkan peran krusial dalam membentuk moral dan etika publik. Di sini, Hefner menjelaskan bahwa meskipun terdapat tantangan besar dari kelompok yang ingin membawa pendidikan Islam kembali pada tradisi yang lebih konservatif, terdapat pula upaya signifikan untuk menyisipkan nilai-nilai inklusivitas dan pluralisme ke dalam kurikulum. Hal ini sangat penting karena pendidikan merupakan jalur utama untuk menanamkan ide-ide demokratis dalam masyarakat Muslim Indonesia.


Bab keenam berfokus pada isu perempuan dan gender dalam konteks Islam di Indonesia. Hefner dengan jelas menunjukkan bagaimana gerakan perempuan di kalangan Muslim Indonesia, meskipun dihambat oleh konservatisme, tetap memperjuangkan hak-hak mereka dalam bidang pendidikan, pernikahan, dan akses terhadap layanan kesehatan. Perempuan Indonesia, meskipun menghadapi banyak rintangan, telah memainkan peran penting dalam mendorong agenda inklusivitas dan kesetaraan gender di ranah publik.


Dalam bab ketujuh, Hefner mengangkat pertanyaan "syariah siapa?"—sebuah isu yang sangat penting dalam wacana keagamaan dan politik di Indonesia. Ia menyelami perdebatan internal dalam Islam Indonesia tentang bagaimana syariah seharusnya diterapkan dalam konteks negara demokratis yang plural. Masalah ini tidak hanya relevan bagi negara, tetapi juga bagi konsep kewargaan itu sendiri, di mana hak-hak warga non-Muslim dan kelompok minoritas lainnya harus diakui dan dilindungi.


Akhirnya, dalam bab kedelapan, Hefner menutup bukunya dengan sebuah refleksi mengenai pencarian etika publik yang inklusif, sebuah kesimpulan yang mendorong pembaca untuk mempertimbangkan kembali bagaimana Islam, sebagai tradisi, dapat memainkan peran dalam membentuk kehidupan publik yang adil dan terbuka. Hefner tidak hanya mengakui tantangan yang masih ada, tetapi juga menawarkan jalur menuju Indonesia yang lebih inklusif, di mana Islam dapat menjadi kekuatan untuk persatuan, bukan perpecahan.


Buku ini bukan sekadar analisis politik dan sosial; Islam and Citizenship in Indonesia adalah refleksi yang mendalam atas tantangan dan potensi yang dihadapi Indonesia dalam membangun kewargaan yang inklusif di tengah semakin menguatnya kekuatan konservatif. Dengan lihai, Hefner membedah dinamika sosial-politik Indonesia yang kompleks dan menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana Islam dapat dan seharusnya menjadi bagian dari upaya kolektif untuk mewujudkan keadilan sosial dalam negara yang demokratis dan plural. Buku ini sangat relevan untuk memahami Indonesia, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara Muslim mayoritas lainnya yang tengah berjuang membangun demokrasi yang inklusif dan adil.


Ketika menganalisis Islam and Citizenship in Indonesia dengan menggunakan konsep habitus dan capital dari Pierre Bourdieu, terlihat dengan jelas bahwa karya Hefner mencerminkan proses sosial yang rumit yang memengaruhi dinamika politik dan agama di Indonesia. Teori Bourdieu menyatakan bahwa tindakan dan persepsi individu dibentuk oleh pengalaman sosial yang terakumulasi, atau habitus, yang kemudian memengaruhi pendekatan mereka terhadap agama, demokrasi, dan kewargaan. Di Indonesia, habitus ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman historis, sosial, dan politik warganya, khususnya komunitas Muslim. Hefner menunjukkan bagaimana pola pikir dan tindakan yang telah tertanam dalam kehidupan keagamaan dan politik turut memperkuat kontestasi yang sedang berlangsung mengenai identitas nasional dan praktik demokrasi di Indonesia.


Lebih jauh, konsep capital dari Bourdieu—yang mencakup sumber daya ekonomi, sosial, dan simbolik—dapat digunakan untuk memahami bagaimana berbagai kelompok di Indonesia menggunakan kekuatannya dalam ranah politik. Eksplorasi Hefner terhadap pendidikan Islam, misalnya, menunjukkan bagaimana modal sosial dan simbolik digunakan baik oleh kelompok konservatif maupun moderat untuk memengaruhi wacana nasional tentang kewargaan. Pendidikan menjadi arena utama di mana nilai dan ideologi dipertarungkan, demi menentukan arah masa depan kehidupan politik dan keagamaan di Indonesia.


Konsep Imagined Communities dari Benedict Anderson memberikan perspektif penting lainnya dalam memahami analisis Hefner. Anderson berpendapat bahwa bangsa adalah "komunitas yang dibayangkan" karena dibentuk oleh simbol dan narasi bersama yang menyatukan individu, meskipun mereka mungkin tidak pernah bertemu secara langsung. Di Indonesia, Islam memainkan peran sentral dalam proses ini—sebagai kekuatan pemersatu sekaligus sumber ketegangan. Hefner menunjukkan bagaimana identitas keagamaan, terutama identitas keislaman, membentuk konsep kewargaan Indonesia, dengan berbagai tafsir yang menghasilkan visi yang terpecah tentang apa artinya menjadi warga negara Indonesia.


Melalui teori moral foundations dari Jonathan Haidt, karya Hefner menjelaskan ketegangan moral dalam masyarakat Indonesia. Haidt menyatakan bahwa penilaian moral didasarkan pada fondasi psikologis yang berbeda, seperti keadilan, loyalitas, dan otoritas. Di Indonesia, prioritas moral yang saling bertentangan ini muncul dalam perdebatan tentang peran Islam dalam kehidupan publik. Hefner menangkap bagaimana fondasi moral ini—baik yang menekankan pada kesucian dan kemurnian dalam Islam konservatif, maupun pada keadilan dan hak asasi dalam kelompok progresif—menciptakan jurang yang tajam dalam perdebatan sosial dan politik nasional.


Buku Hefner menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana Indonesia, sebagai negara yang demokratis dan plural, terus menavigasi kompleksitas hubungan antara Islam dan kewargaan. Analisisnya menjadi referensi penting bagi para akademisi dan pembuat kebijakan yang ingin memahami peran Islam dalam demokrasi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Muslim mayoritas lainnya. Melalui eksplorasi yang cermat atas persimpangan antara agama, politik, dan kewargaan, Hefner menghadirkan visi yang kuat tentang etika publik yang lebih inklusif di Indonesia, di mana Islam dapat menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah. Buku ini adalah kontribusi yang tak ternilai bagi wacana akademik tentang Islam, demokrasi, dan kewargaan di dunia modern.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now