![]() |
Sumber Gambar: https://www.amazon.com/Phenomenology-Broken-Habits-Routledge-Research/dp/1032365277 |
Oleh: Syamsul Kurniawan
Matahari menyengat siang ini, seolah ingin membakar apa pun yang berani
diam terlalu lama di bawahnya. Di luar jendela, angin hanya berani berbisik,
tak cukup kuat untuk menenangkan. Aku memilih bertahan di dalam rumah, di ruang
baca yang separuhnya dikuasai bayangan sore. Di hadapanku tergeletak sebuah
buku yang belum selesai kubaca sejak beberapa minggu lalu: Phenomenology of
Broken Habits: Philosophical and Psychological Perspectives on Habitual Action
(2025), disunting oleh Line Ryberg Ingerslev dan Karl Mertens. Sebuah buku
tentang kebiasaan—atau lebih tepatnya, tentang saat kebiasaan itu patah.
Hari ini, buku itu kubuka perlahan, seakan membuka pintu menuju lorong
sunyi tentang bagaimana manusia bergerak dalam dunia yang penuh pengulangan,
lalu terhentak ketika pengulangan itu retak. Suatu telaah filosofis dan
psikologis yang tak biasa. Ia tidak menggurui, tetapi menuntunku pada
perenungan yang dalam tentang rutinitas dan kerentanannya.
Bab pertama membuka dengan tema tentang sisi ganda kebiasaan: ia bisa
menuntun, tapi juga menjerat. Kebiasaan memudahkan hidup, namun kadang pula
membuat kita lupa bahwa kita bisa memilih. Ini bukan sekadar tentang apakah
kita menyikat gigi setiap pagi, tetapi tentang bagaimana kebiasaan menjadi
dasar bagi siapa kita.
Kebiasaan, menurut para penulis, bukanlah sekadar tindakan otomatis. Ia
adalah jembatan antara kebebasan dan kebutuhan. Ia membentuk cara kita
mengalami dunia, namun juga bisa membatasi horizon kita, menjadikan hidup
seperti rel kereta yang terus mengarah pada tujuan yang sama.
Buku ini tidak berhenti di situ. Dalam bagian kedua, ia mengajak kita
melihat lebih jauh: apa yang terjadi ketika kebiasaan itu diganggu? Ketika
teknologi merusak pola hubungan kita? Ketika manipulasi emosional seperti
gaslighting membuat kita meragukan apa yang dulunya kita pegang sebagai
kebenaran?
Kebiasaan sosial ternyata mudah runtuh dalam dunia digital. Notifikasi
dan algoritma mengganti cara kita memaknai kehadiran. Kita tidak lagi menanti,
tidak lagi sungguh hadir. Dunia menjadi terlalu cepat untuk memungkinkan
kebiasaan yang mendalam.
Namun buku ini tidak hanya mencatat keruntuhan. Pada bagian ketiga,
para penulis mengajak kita melihat kemungkinan: bagaimana kebiasaan yang patah
bisa menjadi momen transformasi? Bagaimana luka bisa menjadi jalan menuju
kebebasan baru?
Trauma, kehilangan, perubahan tubuh—semua itu memutus kebiasaan. Tetapi
justru di sanalah kemungkinan muncul. Dalam jeda antara kebiasaan lama dan
kebiasaan baru, ada ruang untuk memilih kembali. Untuk menjadi lain. Untuk
menjadi lebih sejati.
Kebiasaan, pada akhirnya, adalah jalan pulang. Tapi jalan itu bisa
berganti arah, dan kita bisa memilih jalur baru. Buku ini memberi semacam
harapan dalam reruntuhan: bahwa kita tidak ditakdirkan untuk terus mengulang,
tetapi bisa juga membentuk ulang.
Bagian terakhir buku ini memperluas cakrawala. Ia menyelami bagaimana
budaya dan politik membentuk kebiasaan kita—dan bagaimana kita bisa melawan
dari dalam. Frantz Fanon dan Judith Butler hadir di sini, membawa kita ke
wilayah kekuasaan dan perlawanan.
Kebiasaan, dalam kacamata Fanon, adalah hasil dari penindasan kolonial.
Dalam tubuh yang dijajah, kebiasaan adalah cara sistem mempertahankan
kekuasaannya. Butler menunjukkan bagaimana gender dibentuk melalui pengulangan
kebiasaan sosial. Dalam keduanya, membongkar kebiasaan berarti membongkar
struktur yang menindas.
Dengan demikian, kebiasaan bukan hanya soal pribadi. Ia adalah medan
politik. Ia adalah tempat di mana kekuasaan bekerja, dan tempat di mana
perlawanan bisa dimulai. Buku ini menekankan: membebaskan diri dari kebiasaan
lama bisa menjadi tindakan revolusioner.
***
Aku teringat pada buku Atomic Habits karya James Clear. Buku itu
juga berbicara tentang perubahan kebiasaan. Tetapi dari arah yang berbeda.
Clear memberi resep: ubahlah hidupmu dengan kebiasaan kecil. Satu persen lebih
baik setiap hari.
Clear mengajarkan disiplin, akumulasi kecil, dan konsistensi. Ia sangat
berguna. Tapi jika Phenomenology of Broken Habits seperti lukisan
impresionis yang buram namun kaya makna, Atomic Habits adalah diagram
teknik yang rapi dan fungsional.
Perjumpaan keduanya menarik. Yang satu menekankan pengalaman, yang lain
menekankan strategi. Yang satu membahas keretakan dan ketidaksengajaan, yang
lain membahas niat dan perencanaan. Tetapi keduanya sepakat bahwa kebiasaan
adalah kunci perubahan.
Dalam dunia yang bergerak cepat, kita sering hanya ingin efisiensi.
Tapi buku ini mengingatkan bahwa makna kadang lahir dari yang retak. Dari yang
tak selesai. Dari jeda yang menyakitkan antara dua kebiasaan.
Ketika kebiasaan patah, kita dipaksa untuk hadir. Untuk merasa. Untuk
menjadi sadar. Itu menyakitkan, tapi juga memperlihatkan siapa kita sebenarnya.
Aku menutup buku sejenak. Di luar jendela, matahari mulai condong ke
barat. Suara sepeda motor melintas, lalu hening lagi. Dalam hening itu, aku
bertanya pada diriku sendiri: kebiasaan apa yang telah patah dalam hidupku?
Mungkin ketika seseorang yang dekat pergi. Atau ketika pekerjaan
berubah. Atau ketika aku bangun suatu pagi dan merasa tidak seperti biasanya.
Patahnya kebiasaan, entah karena kehilangan atau perubahan, selalu menyisakan
ruang kosong yang sulit dijelaskan.
Tapi di sanalah, kata buku ini, tempat kita bisa mulai kembali. Dengan
lebih sadar. Dengan lebih merdeka. Dengan lebih manusiawi.
***
Jean Baudrillard berbicara tentang dunia simulacra, dunia di mana citra
menggantikan kenyataan. Dalam dunia seperti itu, kebiasaan kita tidak lagi
otentik. Mereka hanyalah respons terhadap citra. Kita hidup bukan karena kita
ingin, tetapi karena kita seharusnya.
Kita menggulir media sosial bukan karena kita butuh, tetapi karena itu
yang dilakukan semua orang. Kita tersenyum dalam foto bukan karena bahagia,
tetapi karena gambar itu harus diambil. Kita mencintai seperti yang digambarkan
film.
Phenomenology of Broken Habits membuat kita sadar akan simulasi ini. Ia
menantang kita untuk berhenti, merefleksi, dan bertanya: kebiasaan ini dari
mana asalnya? Apakah ini benar-benar aku?
Dalam dunia hiperrealitas, kebiasaan bisa menjadi tiruan. Tetapi
kesadaran adalah jalan keluar. Buku ini menawarkannya: bukan dengan menggurui,
tetapi dengan membuka ruang perenungan.
Aku membayangkan seseorang yang setiap pagi menyeduh kopi, bukan karena
ia ingin kopi, tetapi karena ia selalu begitu. Lalu suatu hari ia berhenti. Tak
ada kopi pagi itu. Ia duduk, dan hening menyelimutinya. Di situ ia mulai
menyadari: ada hidup di luar kebiasaan.
Buku ini tidak menjanjikan jawaban. Ia menawarkan kerangka, bahasa, dan
kejernihan. Ia membimbing, bukan menyetir. Ia membuka, bukan menyimpulkan.
Dalam dunia yang serba otomatis, fenomenologi kebiasaan adalah undangan
untuk pelan-pelan kembali menjadi manusia: merasa, mengalami, mempertanyakan.
Dari seluruh bab yang kubaca, aku belajar bahwa kebiasaan adalah
cermin. Ia memantulkan siapa kita. Dan ketika ia retak, yang terlihat bukan
hanya bayangan kita yang terbelah, tetapi kemungkinan untuk menjadi utuh
kembali.
Esai ini mungkin bukan ulasan biasa. Ia lebih mirip percakapan panjang
dengan diriku sendiri, yang dipicu oleh kata-kata orang lain. Tapi mungkin
memang begitu cara buku ini bekerja: ia menyentuh bukan akal, tetapi kesadaran.
Matahari hampir tenggelam. Lampu ruang baca mulai terasa perlu. Tapi
aku masih duduk di kursi yang sama, dengan buku yang sama, memikirkan hal-hal
yang tidak sama.
Di antara reruntuhan kebiasaan, kita tidak hanya menemukan kekosongan.
Kita bisa menemukan kembali dunia. Dan diri kita di dalamnya.***