Iklan

Menyusun Ulang Diri dalam Kebiasaan Baru

syamsul kurniawan
Saturday, May 17, 2025
Last Updated 2025-05-17T10:48:17Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Sumber Gambar: https://www.amazon.com/Phenomenology-Broken-Habits-Routledge-Research/dp/1032365277


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Matahari menyengat siang ini, seolah ingin membakar apa pun yang berani diam terlalu lama di bawahnya. Di luar jendela, angin hanya berani berbisik, tak cukup kuat untuk menenangkan. Aku memilih bertahan di dalam rumah, di ruang baca yang separuhnya dikuasai bayangan sore. Di hadapanku tergeletak sebuah buku yang belum selesai kubaca sejak beberapa minggu lalu: Phenomenology of Broken Habits: Philosophical and Psychological Perspectives on Habitual Action (2025), disunting oleh Line Ryberg Ingerslev dan Karl Mertens. Sebuah buku tentang kebiasaan—atau lebih tepatnya, tentang saat kebiasaan itu patah.

 

Hari ini, buku itu kubuka perlahan, seakan membuka pintu menuju lorong sunyi tentang bagaimana manusia bergerak dalam dunia yang penuh pengulangan, lalu terhentak ketika pengulangan itu retak. Suatu telaah filosofis dan psikologis yang tak biasa. Ia tidak menggurui, tetapi menuntunku pada perenungan yang dalam tentang rutinitas dan kerentanannya.

 

Bab pertama membuka dengan tema tentang sisi ganda kebiasaan: ia bisa menuntun, tapi juga menjerat. Kebiasaan memudahkan hidup, namun kadang pula membuat kita lupa bahwa kita bisa memilih. Ini bukan sekadar tentang apakah kita menyikat gigi setiap pagi, tetapi tentang bagaimana kebiasaan menjadi dasar bagi siapa kita.

 

Kebiasaan, menurut para penulis, bukanlah sekadar tindakan otomatis. Ia adalah jembatan antara kebebasan dan kebutuhan. Ia membentuk cara kita mengalami dunia, namun juga bisa membatasi horizon kita, menjadikan hidup seperti rel kereta yang terus mengarah pada tujuan yang sama.

 

Buku ini tidak berhenti di situ. Dalam bagian kedua, ia mengajak kita melihat lebih jauh: apa yang terjadi ketika kebiasaan itu diganggu? Ketika teknologi merusak pola hubungan kita? Ketika manipulasi emosional seperti gaslighting membuat kita meragukan apa yang dulunya kita pegang sebagai kebenaran?

 

Kebiasaan sosial ternyata mudah runtuh dalam dunia digital. Notifikasi dan algoritma mengganti cara kita memaknai kehadiran. Kita tidak lagi menanti, tidak lagi sungguh hadir. Dunia menjadi terlalu cepat untuk memungkinkan kebiasaan yang mendalam.

 

Namun buku ini tidak hanya mencatat keruntuhan. Pada bagian ketiga, para penulis mengajak kita melihat kemungkinan: bagaimana kebiasaan yang patah bisa menjadi momen transformasi? Bagaimana luka bisa menjadi jalan menuju kebebasan baru?

 

Trauma, kehilangan, perubahan tubuh—semua itu memutus kebiasaan. Tetapi justru di sanalah kemungkinan muncul. Dalam jeda antara kebiasaan lama dan kebiasaan baru, ada ruang untuk memilih kembali. Untuk menjadi lain. Untuk menjadi lebih sejati.

 

Kebiasaan, pada akhirnya, adalah jalan pulang. Tapi jalan itu bisa berganti arah, dan kita bisa memilih jalur baru. Buku ini memberi semacam harapan dalam reruntuhan: bahwa kita tidak ditakdirkan untuk terus mengulang, tetapi bisa juga membentuk ulang.

 

Bagian terakhir buku ini memperluas cakrawala. Ia menyelami bagaimana budaya dan politik membentuk kebiasaan kita—dan bagaimana kita bisa melawan dari dalam. Frantz Fanon dan Judith Butler hadir di sini, membawa kita ke wilayah kekuasaan dan perlawanan.

 

Kebiasaan, dalam kacamata Fanon, adalah hasil dari penindasan kolonial. Dalam tubuh yang dijajah, kebiasaan adalah cara sistem mempertahankan kekuasaannya. Butler menunjukkan bagaimana gender dibentuk melalui pengulangan kebiasaan sosial. Dalam keduanya, membongkar kebiasaan berarti membongkar struktur yang menindas.

 

Dengan demikian, kebiasaan bukan hanya soal pribadi. Ia adalah medan politik. Ia adalah tempat di mana kekuasaan bekerja, dan tempat di mana perlawanan bisa dimulai. Buku ini menekankan: membebaskan diri dari kebiasaan lama bisa menjadi tindakan revolusioner.

 

***

 

Aku teringat pada buku Atomic Habits karya James Clear. Buku itu juga berbicara tentang perubahan kebiasaan. Tetapi dari arah yang berbeda. Clear memberi resep: ubahlah hidupmu dengan kebiasaan kecil. Satu persen lebih baik setiap hari.

 

Clear mengajarkan disiplin, akumulasi kecil, dan konsistensi. Ia sangat berguna. Tapi jika Phenomenology of Broken Habits seperti lukisan impresionis yang buram namun kaya makna, Atomic Habits adalah diagram teknik yang rapi dan fungsional.

 

Perjumpaan keduanya menarik. Yang satu menekankan pengalaman, yang lain menekankan strategi. Yang satu membahas keretakan dan ketidaksengajaan, yang lain membahas niat dan perencanaan. Tetapi keduanya sepakat bahwa kebiasaan adalah kunci perubahan.

 

Dalam dunia yang bergerak cepat, kita sering hanya ingin efisiensi. Tapi buku ini mengingatkan bahwa makna kadang lahir dari yang retak. Dari yang tak selesai. Dari jeda yang menyakitkan antara dua kebiasaan.

 

Ketika kebiasaan patah, kita dipaksa untuk hadir. Untuk merasa. Untuk menjadi sadar. Itu menyakitkan, tapi juga memperlihatkan siapa kita sebenarnya.

 

Aku menutup buku sejenak. Di luar jendela, matahari mulai condong ke barat. Suara sepeda motor melintas, lalu hening lagi. Dalam hening itu, aku bertanya pada diriku sendiri: kebiasaan apa yang telah patah dalam hidupku?

 

Mungkin ketika seseorang yang dekat pergi. Atau ketika pekerjaan berubah. Atau ketika aku bangun suatu pagi dan merasa tidak seperti biasanya. Patahnya kebiasaan, entah karena kehilangan atau perubahan, selalu menyisakan ruang kosong yang sulit dijelaskan.

 

Tapi di sanalah, kata buku ini, tempat kita bisa mulai kembali. Dengan lebih sadar. Dengan lebih merdeka. Dengan lebih manusiawi.

 

***

 

Jean Baudrillard berbicara tentang dunia simulacra, dunia di mana citra menggantikan kenyataan. Dalam dunia seperti itu, kebiasaan kita tidak lagi otentik. Mereka hanyalah respons terhadap citra. Kita hidup bukan karena kita ingin, tetapi karena kita seharusnya.

 

Kita menggulir media sosial bukan karena kita butuh, tetapi karena itu yang dilakukan semua orang. Kita tersenyum dalam foto bukan karena bahagia, tetapi karena gambar itu harus diambil. Kita mencintai seperti yang digambarkan film.

 

Phenomenology of Broken Habits membuat kita sadar akan simulasi ini. Ia menantang kita untuk berhenti, merefleksi, dan bertanya: kebiasaan ini dari mana asalnya? Apakah ini benar-benar aku?

Dalam dunia hiperrealitas, kebiasaan bisa menjadi tiruan. Tetapi kesadaran adalah jalan keluar. Buku ini menawarkannya: bukan dengan menggurui, tetapi dengan membuka ruang perenungan.

 

Aku membayangkan seseorang yang setiap pagi menyeduh kopi, bukan karena ia ingin kopi, tetapi karena ia selalu begitu. Lalu suatu hari ia berhenti. Tak ada kopi pagi itu. Ia duduk, dan hening menyelimutinya. Di situ ia mulai menyadari: ada hidup di luar kebiasaan.

 

Buku ini tidak menjanjikan jawaban. Ia menawarkan kerangka, bahasa, dan kejernihan. Ia membimbing, bukan menyetir. Ia membuka, bukan menyimpulkan.

 

Dalam dunia yang serba otomatis, fenomenologi kebiasaan adalah undangan untuk pelan-pelan kembali menjadi manusia: merasa, mengalami, mempertanyakan.

 

Dari seluruh bab yang kubaca, aku belajar bahwa kebiasaan adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita. Dan ketika ia retak, yang terlihat bukan hanya bayangan kita yang terbelah, tetapi kemungkinan untuk menjadi utuh kembali.

 

Esai ini mungkin bukan ulasan biasa. Ia lebih mirip percakapan panjang dengan diriku sendiri, yang dipicu oleh kata-kata orang lain. Tapi mungkin memang begitu cara buku ini bekerja: ia menyentuh bukan akal, tetapi kesadaran.

 

Matahari hampir tenggelam. Lampu ruang baca mulai terasa perlu. Tapi aku masih duduk di kursi yang sama, dengan buku yang sama, memikirkan hal-hal yang tidak sama.

 

Di antara reruntuhan kebiasaan, kita tidak hanya menemukan kekosongan. Kita bisa menemukan kembali dunia. Dan diri kita di dalamnya.***


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now