Oleh: Syamsul Kurniawan
Segalanya kini serba cepat. Bangun tidur kita sudah disapa notifikasi,
bukan lagi secangkir renungan pagi. Manusia modern seperti tak diberi jeda
untuk berhenti, bertanya, atau sekadar diam dan merasa. Kita terus berlari,
mengejar target, memadatkan waktu, bahkan meniadakan sunyi. Hidup kita hari ini
tampak sibuk, tapi justru kehilangan arah.
Di tengah semua kemajuan yang katanya memudahkan, manusia justru
semakin jauh dari dirinya sendiri. Kita terlatih untuk efisien, tetapi tidak
untuk hening. Kita terhubung dengan ribuan orang, namun kian asing dengan suara
hati. Revolusi Industri 4.0 yang disambut gegap gempita kini telah berpindah
pada Society 5.0, sebuah masyarakat supercanggih yang konon menempatkan manusia
sebagai pusat. Tapi manusia seperti apa?
Kemajuan bukan selalu pertanda kebaikan. Saat kita menggantungkan
harapan pada layar dan logika, kita juga kehilangan ruang spiritual untuk
merenung. Padahal ada banyak persoalan hari ini yang tak selesai dengan
teknologi. Kita tahu cara mencetak uang dengan kecerdasan buatan, tapi tak lagi
mengerti cara mencintai tanpa pamrih.
Mungkin karena itu, kisah Ismail terasa jauh. Seperti dongeng dari
dunia yang sunyi, lambat, dan terlalu taat. Namun di balik kisah itu tersimpan
energi yang bisa menyembuhkan kita: ketulusan. Bukan sebagai simbol pasrah
buta, tapi sebagai pernyataan tertinggi kesadaran: bahwa hidup ini bukan
tentang ‘aku’ semata.
Ismail, dalam usia belia, tidak menolak untuk dikorbankan. Ia tidak
lari. Ia tidak memberontak. Dalam ketundukannya justru tersimpan keberanian. Ia
memberi pelajaran penting bahwa ketaatan bukanlah bentuk kepatuhan buta, tapi
kemerdekaan untuk memilih tunduk atas dasar cinta.
Sang ayah, Ibrahim, adalah nabi yang diuji dalam kesendirian. Ia
membawa putranya ke bukit, bukan dengan kemarahan atau manipulasi, tetapi
dengan cinta yang diperas dari iman terdalam. Dialog antara ayah dan anak itu
ringkas, namun memuat getaran spiritual yang lebih dalam dari segala
kecanggihan zaman.
Tidak ada gadget, tidak ada jaringan internet, namun hubungan ayah dan
anak itu begitu jernih. Mereka tidak perlu kode verifikasi untuk memastikan
kepercayaan. Mereka tidak memerlukan algoritma untuk memetakan emosi. Yang
mereka butuhkan hanya satu: keikhlasan.
Ketulusan di Tengah Dunia yang Sibuk
Ketulusan adalah kata yang nyaris punah dalam percakapan sehari-hari.
Ia digantikan oleh ‘efektivitas’, ‘branding’, ‘hasil cepat’, dan ‘insight’.
Kita diajak berpikir praktis, bukan reflektif. Maka, kehadiran kisah Ismail
dalam relung Hari Raya Kurban menjadi tamparan lembut bagi kita semua: bahwa
nilai tertinggi dalam hidup bukanlah apa yang kita raih, tetapi apa yang kita
relakan.
Apa yang kita relakan, bukan karena tidak mampu memiliki, tetapi karena
kita sadar itu bukan milik kita seutuhnya. Ismail adalah lambang dari sesuatu
yang sangat dicintai, namun tetap rela dilepaskan. Dan bukankah hidup memang
tentang itu: mencintai tanpa menggenggam?
Kita hidup di zaman ketika kehilangan dianggap kegagalan. Padahal, ada
kehilangan yang justru menyembuhkan. Ada pengorbanan yang bukan tentang
kekalahan, tetapi kemenangan ruhani. Ismail tidak mati, karena kurban itu bukan
tentang pisau dan darah, melainkan tentang hati yang siap dilepaskan.
Di Society 5.0, kita diajak menjadi manusia terpusat. Tapi pusat yang
seperti apa? Jika yang dimaksud hanya manusia yang bisa mengatur data,
menyimpan emosi dalam folder, dan menyusun perasaan dalam spreadsheet, maka
kita bukan lagi manusia, melainkan robot yang tersamar.
Yang membuat kita tetap manusia adalah kemampuan untuk percaya,
mencinta, dan melepaskan. Dan ketulusan adalah bahasa terdalam dari ketiganya.
Maka, kisah Ismail bukan dongeng. Ia adalah cermin. Cermin yang menatap kita
dan bertanya: sejauh mana engkau rela melepaskan demi sesuatu yang lebih
tinggi?
Maka kurban di zaman ini bukan hanya soal menyembelih kambing. Tapi
juga tentang menyembelih ego. Melepas gengsi. Menghentikan kebiasaan
merendahkan. Menahan lidah yang ingin menang sendiri. Memberi waktu bagi orang
tua, anak, atau pasangan, bukan hanya data dan performa.
Sebab yang dilihat Tuhan bukan jumlah, tetapi niat. Bukan kemasan,
tetapi isi. Dan niat itu adalah sesuatu yang bahkan tidak bisa direkam oleh
sistem canggih sekalipun. Ia hanya bisa diukur oleh hati.
Ketulusan seperti Ismail adalah ketulusan yang tidak banyak bicara,
tapi tegas dalam tindakan. Ia tenang, tapi bukan berarti pasif. Ia sabar, tapi
bukan berarti lemah. Ia tahu bahwa hidup bukan soal siapa yang lebih cepat,
tapi siapa yang lebih ikhlas.
Dalam hiruk pikuk zaman ini, apakah kita masih bisa menjadi seperti
Ismail? Bukan dalam bentuk literal, tetapi dalam kesiapan menerima hidup ini
sebagai ladang pengabdian, bukan hanya perhitungan. Bukan hanya tempat ambisi,
tapi juga altar untuk mencintai tanpa balas.
Ibrah dan Kebiasaan Baru
Kita perlu menumbuhkan kembali kebiasaan untuk hening. Untuk bertanya
kepada diri sendiri, bukan hanya Google. Untuk mendengarkan batin, bukan hanya
notifikasi. Sebab seperti kata James Clear dalam Atomic Habits (2018),
perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil.
Mengubah kebiasaan bukanlah pekerjaan sekali jadi. Ia adalah perjuangan
panjang. Tapi seperti Ibrahim dan Ismail, segala kebesaran dimulai dari
kesediaan untuk melangkah. Meskipun langkah itu berat. Meskipun arah itu belum
jelas.
Kita mungkin tidak sedang berjalan menuju Mina, tapi setiap hari kita
berjalan menuju pilihan-pilihan hidup. Dan di setiap persimpangan itu, kita
diuji untuk memilih: diri sendiri atau nilai yang lebih tinggi? Kenyamanan atau
kebaikan? Ego atau cinta?
Ibrah dari kisah Ismail bukan ajakan untuk menjadi korban, tetapi
ajakan untuk menjadi dewasa secara spiritual. Kita tidak diminta mati, tapi
hidup dengan penuh makna. Kita tidak diminta meninggalkan dunia, tapi membawa
nilai-nilai langit ke dalamnya.
Maka, mulai hari ini, kurbanilah kebiasaan buruk yang membelenggu.
Potonglah sikap reaktif yang tak perlu. Gantikan dengan jeda, dengan renungan,
dengan pertimbangan. Jadikan sabar sebagai teman dalam bicara. Jadikan syukur
sebagai selimut dalam bekerja.
Dan jangan takut untuk kehilangan sesuatu yang fana demi sesuatu yang
abadi. Ismail tidak hilang, ia justru diabadikan. Karena siapa pun yang memberi
dengan hati, akan dikenang oleh langit.
Di tengah kejaran waktu dan pencapaian, sesekali berhentilah. Tatap
hidup ini dengan jujur. Tanyakan: sudah sejauh apa aku hidup, bukan hanya
bertahan? Sudah sejauh mana aku ikhlas, bukan hanya lihai berpura-pura?
Ketulusan bukan milik nabi saja. Ia adalah kemungkinan yang bisa tumbuh
di hati siapa pun. Bahkan di zaman secepat ini, bahkan pada diri kita sendiri.
Asal kita mau berhenti sejenak, dan mendengarkan suara sunyi itu kembali.
Mungkin, dari sanalah segala perubahan bisa dimulai.***