Oleh: Syamsul Kurniawan
KISAH Abu
Nawas tentang batas jagat raya ciptaan Tuhan mengandung humor sekaligus
renungan mendalam. Suatu kali, seorang murid bertanya kepadanya, “Di mana
batas jagat raya ini?” Dengan santai, Abu Nawas menjawab bahwa batasnya ada
di ujung langkah kakinya. Jawaban sederhana ini bukan hanya sebuah canda,
tetapi sebuah ajakan untuk merenung. Alam semesta ini begitu luas dan tak
terjangkau sepenuhnya oleh akal manusia. Meskipun teknologi manusia telah
berkembang pesat, kita tetap hanyalah bagian kecil dari ciptaan Tuhan yang
agung. Ini adalah pengingat untuk tidak bersikap sombong terhadap alam, apalagi
merusaknya.
Di tengah perkembangan zaman, umat manusia sering kali
lupa akan posisinya yang kecil dalam skala alam semesta. Kekuatan teknologi
yang dimiliki sering kali menjadikan manusia merasa lebih besar daripada alam
itu sendiri. Padahal, seperti yang diungkapkan dalam kisah Abu Nawas, kita
hanyalah bagian yang sangat kecil dalam struktur besar ciptaan Tuhan. Alam,
dengan segala keindahannya, tak tergantikan dan tak terbatas oleh kekuatan
kita. Maka, seharusnya kita menyadari pentingnya menjaga dan merawat bumi yang
kita huni, bukan menganggapnya sebagai objek yang bisa diperlakukan
semena-mena.
Saat ini, dunia sedang menghadapi krisis lingkungan
yang semakin nyata dan mengkhawatirkan. Bencana alam seperti gempa bumi,
tsunami, kebakaran hutan, dan kabut asap semakin sering terjadi, dan dampaknya
semakin besar pada kehidupan manusia. Fenomena ini bukan hanya akibat alam
semesta yang berputar sesuai dengan hukum alam, melainkan juga akibat dari ulah
manusia yang tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam. Kita sering kali
tergoda untuk mengeksploitasi alam tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Alam
yang telah diperbaiki dan seimbang oleh Tuhan, kini sering kali kita rusak
tanpa sadar.
Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan kita dalam Surah
Ar-Rum [30]: 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
oleh perbuatan tangan manusia.” Ayat ini bukan hanya peringatan, tetapi
juga panggilan moral untuk manusia agar bertanggung jawab. Kerusakan yang
terjadi di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa alam ini bukanlah milik
kita untuk dikuasai secara sepihak. Alam adalah amanah yang harus dijaga,
dihormati, dan dijaga kelestariannya. Sikap sombong manusia dalam menanggapi
alam berujung pada kerusakan yang tak hanya merugikan manusia itu sendiri,
tetapi juga makhluk hidup lainnya.
***
Krisis lingkungan ini bukan hanya soal fisik atau
teknis, tetapi berakar pada persoalan moral dan spiritual. Banyak orang
menganggap bahwa kerusakan alam adalah masalah teknis yang dapat diselesaikan
dengan solusi instan dan regulasi yang ketat. Namun, tanpa perubahan mendasar
dalam nilai dan sikap manusia terhadap alam, solusi tersebut hanya akan
bersifat sementara. Kita perlu memperkuat fondasi etika dalam hubungan kita
dengan alam. Ekoteologi, yang memadukan nilai agama dengan upaya pelestarian
lingkungan, dapat menjadi sebuah jalan untuk menjembatani antara agama dan
tanggung jawab ekologis kita.
Ekoteologi mengajak kita untuk melihat alam bukan
sekadar objek eksploitasi, tetapi sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Alam
adalah amanah dari Sang Pencipta yang harus kita jaga dan rawat. Pandangan ini
penting agar perilaku manusia terhadap alam selaras dengan kehendak Tuhan.
Islam, sebagai rahmatan lil’alamin, mengajarkan nilai pelestarian
lingkungan sebagai bagian dari syariat dan tanggung jawab umat manusia. Konsep
hima’ yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai kawasan lindung, adalah
contoh nyata bagaimana Islam menempatkan pelestarian alam sebagai kewajiban
moral dan spiritual. Konsep ini menunjukkan bahwa menjaga alam bukanlah hal
baru, melainkan merupakan bagian dari agama yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan.
Al-Qur’an juga mengingatkan kita untuk tidak merusak
bumi setelah diperbaiki, sebagaimana tertulis dalam QS. Al-A’raf [7]: 56, yang
menyatakan, “Janganlah kamu merusak bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Tafsir Thahir bin ‘Asyur menegaskan bahwa merusak satu bagian dari lingkungan
sama dengan merusak seluruh ciptaan Allah. Dengan demikian, menjaga
keseimbangan alam adalah tanggung jawab kita bersama. Alam ini diciptakan
dengan keseimbangan yang sempurna, dan manusia diberi amanah untuk menjaga
keharmonisan ini. Ketika kita merusak satu bagian dari alam, kita tidak hanya
merusak bumi, tetapi juga merusak keseimbangan ciptaan Tuhan.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, beliau juga mengajarkan
kita untuk menjaga alam dan makhluk hidup lainnya. Nabi SAW menetapkan kawasan
konservasi (hima’) dan menganjurkan umatnya untuk menanam pohon dan
tanaman. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran manusia dalam menjaga
kelestarian alam. Selain itu, ada kisah seorang lelaki yang memberi minum
seekor anjing yang kehausan. Kisah ini mengajarkan kita untuk memiliki rasa
kasih sayang dan ihsan terhadap seluruh makhluk, tidak hanya terhadap sesama
manusia, tetapi juga terhadap hewan dan tumbuhan yang ada di bumi.
Konsep ihya’ al-mawat, yaitu menghidupkan lahan
mati agar produktif, juga menunjukkan pentingnya revitalisasi lingkungan. Dalam
tradisi Islam, ada prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan, seperti iqta, ijarah, harim, dan waqaf.
Prinsip-prinsip ini mengajarkan kita untuk mengelola sumber daya alam secara
bijak dan tidak berlebihan, agar keberlanjutan alam tetap terjaga. Namun, di
tengah krisis lingkungan yang semakin kompleks, tidak cukup hanya mengandalkan
ajaran normatif. Implementasi praktis dalam kehidupan sehari-hari menjadi
sangat penting untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Pendidikan ekoteologi menjadi langkah penting untuk
menumbuhkan kesadaran moral dan spiritual di kalangan masyarakat luas, terutama
generasi muda. Pendidikan berbasis agama yang mengajarkan nilai-nilai ramah
lingkungan dapat menjadi wahana untuk menanamkan kesadaran akan tanggung jawab
ekologis. Generasi muda, sebagai penerus bangsa, harus diberikan pemahaman yang
kuat mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Dengan pemahaman agama yang
mendalam dan kontekstual, kesadaran kolektif tentang tanggung jawab ekologis
akan lebih mudah terwujud.
Unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga, juga
memegang peranan penting dalam pendidikan lingkungan. Perempuan, sebagai
pendidik utama di rumah, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola hidup
yang berkelanjutan. Kebiasaan sederhana seperti menghemat air, menjaga
kebersihan, dan merawat tanaman, jika dilakukan bersama-sama dalam keluarga,
dapat menciptakan perubahan signifikan dalam masyarakat. Perempuan berperan
strategis dalam menggerakkan perubahan sosial-ekologis dalam kehidupan
sehari-hari.
***
Namun, di tengah upaya-upaya pemberdayaan perempuan,
masih terdapat kesenjangan gender yang membatasi peran perempuan dalam
pengambilan keputusan, terutama dalam isu lingkungan. Di banyak negara,
termasuk Indonesia, perempuan masih mengalami hambatan sosial, budaya, dan
politik yang membatasi akses mereka terhadap sumber daya dan posisi-posisi
penting dalam pemerintahan. Meskipun demikian, perempuan bukan hanya korban
dari krisis lingkungan, tetapi juga agen perubahan yang mampu menggerakkan
masyarakat untuk beradaptasi dengan tantangan perubahan iklim.
Oleh karena itu, kesetaraan gender harus menjadi
prioritas dalam pembangunan berkelanjutan. Memberdayakan perempuan berarti
membuka ruang bagi solusi yang lebih efektif dan inklusif dalam menghadapi
masalah lingkungan. Pemberdayaan perempuan akan meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam merespons dan mengelola tantangan perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa
setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki tanggung jawab untuk menjaga
kelestarian ciptaan-Nya, ini adalah amanah kolektif umat manusia.
Pemberdayaan perempuan dalam konteks ini akan
memperkuat peran mereka sebagai penjaga kelestarian kehidupan, yang dapat
menggerakkan komunitas dan keluarga menjadi pelaku aktif perubahan. Dengan
demikian, perempuan bukan hanya menjadi ujung tombak dalam menjaga keharmonisan
antara manusia dan alam, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam upaya
pelestarian lingkungan hidup. Ketika perempuan diberdayakan, maka potensi
perubahan sosial-ekologis yang positif akan semakin kuat.
Mengingat luas dan kompleksnya alam semesta ciptaan
Tuhan, sebagaimana diceritakan dalam kisah Abu Nawas, kita harus bersikap
rendah hati dan menghormati batas-batas alami yang ada. Kesadaran bahwa kita
hanyalah bagian kecil dari ciptaan Tuhan mendorong kita untuk tidak serakah
dalam memanfaatkan alam. Sebaliknya, kita harus belajar untuk hidup selaras
dengan alam, menghormati hak-haknya, dan menjaga keseimbangan yang ada.
Mengelola alam bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan
manusia saat ini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat
hidup dalam lingkungan yang sehat dan lestari. Prinsip keadilan antargenerasi
menjadi landasan dalam menjaga bumi. Kita perlu memastikan bahwa tindakan kita
hari ini tidak merugikan masa depan, karena kita tidak hanya hidup untuk diri
kita sendiri, tetapi juga untuk anak cucu kita.
Ekoteologi dan pemberdayaan perempuan adalah dua aspek
yang saling melengkapi dalam merespons krisis ekologis yang semakin parah.
Keduanya harus berjalan beriringan agar hasilnya berkelanjutan dan berdaya
guna. Jika kita gagal memadukan nilai agama, kesadaran ekologis, dan
pemberdayaan gender, maka kerusakan yang terjadi akan semakin meluas dan
mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.
Sebaliknya, dengan penguatan pendidikan ekoteologi dan
pengakuan peran strategis perempuan, kita dapat membuka pintu menuju masa depan
yang lebih hijau dan adil. Perubahan sosial-ekologis yang menyeluruh menjadi
lebih mungkin terwujud jika kita bersatu dalam upaya ini. Pemerintah dan
lembaga pendidikan harus proaktif mengembangkan program yang mengintegrasikan
nilai keagamaan dan ekologi dengan pendekatan pemberdayaan perempuan.
***
Peran masyarakat sipil dan organisasi perempuan juga
sangat penting dalam memperluas kesadaran dan aksi pelestarian lingkungan.
Kolaborasi multisektoral menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, gerakan kesetaraan gender harus dilihat tidak hanya dalam
ranah sosial-politik, tetapi juga dalam konteks penyelamatan bumi dari
kerusakan yang lebih lanjut.
Dengan memperkuat posisi perempuan, kita sebenarnya
sedang memperkuat pondasi peradaban yang berorientasi pada harmoni antara
manusia, alam, dan Tuhan. Ini adalah tugas bersama yang harus dijalankan dengan
kesungguhan dan keikhlasan. Alam yang sehat dan lestari bukan hanya impian
idealis, tetapi hak asasi bagi seluruh makhluk hidup.
Kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, muda
maupun tua, adalah pelaku dan penanggung jawab keberlangsungan bumi ini. Tidak
ada yang boleh abai terhadap amanah besar ini. Semoga kita mampu melangkah
bersama, menjaga dan merawat ciptaan Tuhan dengan penuh kesadaran dan cinta.
Hanya dengan sinergi iman, ilmu, dan kebersamaan, bumi yang lestari dan manusia
yang bermartabat dapat terwujud.***