Oleh: Syamsul Kurniawan
Diskriminasi tidak selalu hadir
dengan teriakan atau kata-kata kasar. Sering kali ia diam, bersembunyi di balik
senyum tipis atau keputusan yang tampak sepele. Ia muncul ketika seseorang
memilih teman bicara, menentukan siapa yang duduk di sebelah siapa, atau bahkan
saat membagi makanan di meja yang sama.
Dari warna kulit hingga etnis,
dari kaya-miskin hingga senior-junior, dari muda hingga tua, diskriminasi
bekerja melalui norma dan kebiasaan yang tampak wajar. Pierre Bourdieu (1977)
menyebutnya habitus: struktur sosial yang tertanam dalam diri individu,
membentuk persepsi dan preferensi tanpa kita sadari. Kebiasaan ini mengajari
kita siapa yang pantas mendapat perhatian, siapa yang layak didengar, dan siapa
yang layak dihargai.
Di kantor, seorang junior sering
diam dalam rapat karena takut melanggar “aturan tak tertulis” senioritas. Dalam
ruang makan kantor, seseorang memilih kursi tertentu untuk menghindari
penolakan sosial, meski lauknya sama. Di rumah, perhatian dan kasih sayang
kadang dibagi berdasarkan pencapaian atau keserupaan, bukan kebutuhan atau
keadilan.
Diskriminasi halus ini menempel
dalam rutinitas, membentuk pengalaman sosial sejak dini, dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Ia bukan sekadar niat jahat; ia adalah kebiasaan sosial
yang diterima, karena tampak wajar. Kita membiarkan ketidakadilan beroperasi
dalam diam, karena telah menjadi bagian dari tatanan yang kita anggap “normal”.
Narcissus jatuh cinta pada
bayangannya sendiri. Kita, dalam praktik diskriminasi, sering jatuh cinta pada
bayangan norma yang kita ciptakan sendiri. Norma itu menentukan siapa yang
dipuji, siapa yang diabaikan, dan siapa yang harus dijauhi.
Kita jarang sadar bahwa standar
yang kita ikuti adalah konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Jonathan
Haidt (2012) menjelaskan bahwa moralitas manusia didorong oleh intuisi lebih
dari rasio. Kita menilai sebelum berpikir, dan hanya kemudian mencari alasan
untuk membenarkan keputusan yang sudah kita buat.
Karena itu, diskriminasi sering
terlihat wajar meski tidak adil. Dalam konteks kaya-miskin, diskriminasi muncul
melalui akses, kesempatan, dan penghargaan. Orang kaya dianggap lebih layak,
orang miskin dianggap kurang.
Di kantor, senioritas sering
dianggap dasar moral, meski sebenarnya itu hanyalah pengulangan kebiasaan yang
menegaskan hierarki. Di sekolah, anak-anak yang berbeda sering distigmatisasi,
dan guru kadang menormalisasi perlakuan berbeda tanpa menyadarinya. Dalam
keluarga, diskriminasi muncul saat perhatian terbagi tidak merata, memberi
lebih kepada anak yang dianggap “lebih sukses” daripada yang lain.
Semua ini terjadi tanpa refleksi,
karena kebiasaan telah menempel dalam habitus kita. Diskriminasi muncul juga
melalui bahasa, dialek, dan budaya. Seseorang yang berbicara dengan cara
berbeda sering dianggap kurang pantas, bahkan jika kualitasnya setara.
Dalam etnisitas, humor dan
stereotipe menjadi cara halus untuk menegaskan batas sosial. Kita menertawakan
yang berbeda, dan tawa itu memperkuat diskriminasi tanpa kita sadari. Kebutuhan
akan pengakuan dan keamanan sosial membuat praktik ini sulit dihindari.
Praktik diskriminasi menjadi
bagian dari rutinitas sehari-hari. Bahkan dalam hal sepele seperti berbagi lauk
atau meja makan, kita memisahkan yang “layak” dari yang “tidak layak”. Norma
sosial yang menempel pada kebiasaan membuat diskriminasi tampak wajar.
Dalam hubungan intim atau sosial,
diskriminasi menentukan siapa yang layak menjadi pasangan, teman dekat, atau
anggota keluarga yang diperhatikan lebih. Kita menilai orang lain berdasarkan
keserupaan atau status, bukan kualitas atau karakter. Hal ini membuat
ketidakadilan tersembunyi namun terus berjalan.
Mengapa Menormalisasikannya?
Normalisasi terjadi karena
diskriminasi telah menjadi bagian dari kebiasaan yang internal. Kita menilai
orang lain melalui filter yang tampaknya alami, padahal dibentuk oleh habitus
yang tertanam sejak lama. Haidt menekankan bahwa manusia selalu mencari pembenaran
moral untuk intuisi mereka; kita merasa benar menolak orang lain yang berbeda,
walau alasan itu hanyalah konstruksi sosial.
Di tempat kerja, senior
menertawakan pemula yang salah bicara, dan pemula itu diam karena takut
dianggap bodoh. Dalam keluarga, perbedaan perlakuan terhadap anak sering
diterima sebagai aturan lumrah. Normalisasi juga berkaitan dengan rasa aman dan
pengakuan sosial: kita menyesuaikan diri agar diterima, bahkan jika itu berarti
menindas orang lain.
Kita menolak melihat diskriminasi
karena telah menjadi ritual sosial yang tak terlihat. Narcissus hanya melihat
dirinya sendiri; kita hanya melihat dunia dari perspektif kita sendiri, tanpa
menyadari ketidakadilan yang berlangsung. Diskriminasi sering muncul dari
perasaan self-righteousness; kita percaya tindakan kita benar dan menegakkan
batas sosial itu moral.
Dalam masyarakat modern,
diskriminasi melekat di berbagai level: di kantor, organisasi, sekolah, bahkan
keluarga. Kita menertawakan yang berbeda, mengagungkan yang serupa, dan merasa
tidak salah sama sekali. Bahkan dalam berbagi makanan, meja, atau ruang
diskusi, diskriminasi muncul: memisahkan yang layak dari yang tidak layak.
Seperti habitus Bourdieu,
perilaku ini internal dan otomatis. Kita mengulangnya tanpa refleksi, dan
generasi baru menirunya, menganggapnya normal. Dalam hubungan sosial dan intim,
diskriminasi menentukan siapa layak menjadi pasangan, teman dekat, atau anggota
keluarga yang diperhatikan lebih.
Tanpa refleksi, diskriminasi akan
terus mengikat kita. Ia halus namun kuat, membentuk dunia sosial yang tampak
wajar namun penuh ketidakadilan. Narcissus tidak bisa menoleh dari bayangannya;
kita sering gagal melihat ketidakadilan yang kita lakukan sendiri.
Untuk mengubahnya, kita perlu
menyadari habitus yang menempel, mengkritik intuisi, dan menantang normalisasi.
Hanya dengan kesadaran itu, dunia sosial kita bisa menjadi lebih adil dan
manusiawi. Diskriminasi bukan hanya masalah individu, melainkan masalah
struktur yang tertanam dalam praktik sehari-hari.
Kita tidak bisa menunggu orang
lain mengubah dunia. Perubahan dimulai dari kesadaran bahwa setiap tindakan,
sekecil apa pun, bisa memperkuat atau menentang diskriminasi. Setiap senyum
yang terbuka, percakapan yang inklusif, atau meja yang sama dapat menjadi cara
melawan ketidakadilan yang tersembunyi.
Ketika kita menantang
diskriminasi, kita tidak hanya melawan perilaku, tapi juga norma yang telah
tertanam dalam habitus. Proses ini lambat dan penuh tantangan, karena melawan
kebiasaan berarti menentang intuisi yang telah dianggap benar. Namun, kesadaran
adalah langkah pertama untuk membebaskan diri dari ikatan itu.
Jika kita mampu memandang orang
lain tanpa filter status, etnis, atau usia, dunia sosial akan terasa lebih
ringan. Setiap interaksi menjadi peluang untuk menghapus batas yang tidak perlu
dan menumbuhkan rasa hormat. Habitus yang adil tidak muncul tiba-tiba, tetapi
melalui latihan refleksi yang konsisten dan sadar.
Diskriminasi, ketika tidak
disadari, membentuk perilaku kolektif. Kita menilai secara otomatis, tanpa
mempertimbangkan konteks, kapasitas, atau kebutuhan individu. Dalam situasi
ini, intuisi moral yang dijelaskan Haidt berperan besar; kita menilai terlebih
dahulu, baru membenarkan kemudian.
Dengan menantang normalisasi
diskriminasi, kita menumbuhkan ruang sosial yang lebih inklusif. Kita belajar
bahwa penghargaan tidak bergantung pada status, usia, atau keserupaan. Ini
adalah langkah kecil, namun signifikan, untuk meruntuhkan batas yang selama ini
dianggap wajar.
Hanya ketika kita sadar bahwa
kebiasaan yang tampak sepele sekalipun bisa menimbulkan ketidakadilan, kita
mampu mengubah dunia sosial secara nyata. Diskriminasi bukan sekadar masalah
moral, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan refleksi mendalam.
Melihat kembali Narcissus, kita
menyadari betapa mudahnya jatuh cinta pada bayangan diri sendiri. Praktik
diskriminasi pun sering seperti itu: kita menilai berdasarkan bayangan norma
yang kita ciptakan, bukan realitas. Kesadaran diri adalah kunci untuk mengubah
persepsi tersebut.
Kebiasaan yang menempel dalam
habitus dapat diubah, tetapi membutuhkan kesadaran, keberanian, dan latihan
refleksi. Kita perlu mempertanyakan setiap kebiasaan sosial, termasuk yang
tampak “normal”. Dengan begitu, diskriminasi bisa dilawan dari dalam diri kita
sendiri.
Di dunia yang semakin kompleks,
diskriminasi halus sering kali sulit diidentifikasi. Ia muncul dalam komentar
ringan, pilihan teman, atau pembagian perhatian yang tampak sepele. Namun
setiap tindakan kecil membentuk struktur sosial yang lebih besar.
Kesadaran kolektif menjadi jalan
untuk melawan diskriminasi. Kita mulai dengan menantang norma yang telah lama
diterima, mengajak orang lain untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih
adil. Diskriminasi bukan takdir; ia produk kebiasaan yang bisa diubah.
Dengan refleksi yang konsisten,
kita mampu menciptakan ruang sosial yang lebih manusiawi. Dunia yang inklusif
bukan hanya impian, tetapi tujuan yang bisa dicapai melalui praktik sadar
sehari-hari. Diskriminasi tidak akan hilang sendiri; ia memerlukan kesadaran
dan tindakan.***