Iklan

Diskriminasi yang Halus

syamsul kurniawan
Sunday, October 5, 2025
Last Updated 2025-10-05T11:43:30Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Diskriminasi tidak selalu hadir dengan teriakan atau kata-kata kasar. Sering kali ia diam, bersembunyi di balik senyum tipis atau keputusan yang tampak sepele. Ia muncul ketika seseorang memilih teman bicara, menentukan siapa yang duduk di sebelah siapa, atau bahkan saat membagi makanan di meja yang sama.

 

Dari warna kulit hingga etnis, dari kaya-miskin hingga senior-junior, dari muda hingga tua, diskriminasi bekerja melalui norma dan kebiasaan yang tampak wajar. Pierre Bourdieu (1977) menyebutnya habitus: struktur sosial yang tertanam dalam diri individu, membentuk persepsi dan preferensi tanpa kita sadari. Kebiasaan ini mengajari kita siapa yang pantas mendapat perhatian, siapa yang layak didengar, dan siapa yang layak dihargai.

 

Di kantor, seorang junior sering diam dalam rapat karena takut melanggar “aturan tak tertulis” senioritas. Dalam ruang makan kantor, seseorang memilih kursi tertentu untuk menghindari penolakan sosial, meski lauknya sama. Di rumah, perhatian dan kasih sayang kadang dibagi berdasarkan pencapaian atau keserupaan, bukan kebutuhan atau keadilan.

 

Diskriminasi halus ini menempel dalam rutinitas, membentuk pengalaman sosial sejak dini, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ia bukan sekadar niat jahat; ia adalah kebiasaan sosial yang diterima, karena tampak wajar. Kita membiarkan ketidakadilan beroperasi dalam diam, karena telah menjadi bagian dari tatanan yang kita anggap “normal”.

 

Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Kita, dalam praktik diskriminasi, sering jatuh cinta pada bayangan norma yang kita ciptakan sendiri. Norma itu menentukan siapa yang dipuji, siapa yang diabaikan, dan siapa yang harus dijauhi.

 

Kita jarang sadar bahwa standar yang kita ikuti adalah konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Jonathan Haidt (2012) menjelaskan bahwa moralitas manusia didorong oleh intuisi lebih dari rasio. Kita menilai sebelum berpikir, dan hanya kemudian mencari alasan untuk membenarkan keputusan yang sudah kita buat.

 

Karena itu, diskriminasi sering terlihat wajar meski tidak adil. Dalam konteks kaya-miskin, diskriminasi muncul melalui akses, kesempatan, dan penghargaan. Orang kaya dianggap lebih layak, orang miskin dianggap kurang.

 

Di kantor, senioritas sering dianggap dasar moral, meski sebenarnya itu hanyalah pengulangan kebiasaan yang menegaskan hierarki. Di sekolah, anak-anak yang berbeda sering distigmatisasi, dan guru kadang menormalisasi perlakuan berbeda tanpa menyadarinya. Dalam keluarga, diskriminasi muncul saat perhatian terbagi tidak merata, memberi lebih kepada anak yang dianggap “lebih sukses” daripada yang lain.

 

Semua ini terjadi tanpa refleksi, karena kebiasaan telah menempel dalam habitus kita. Diskriminasi muncul juga melalui bahasa, dialek, dan budaya. Seseorang yang berbicara dengan cara berbeda sering dianggap kurang pantas, bahkan jika kualitasnya setara.

 

Dalam etnisitas, humor dan stereotipe menjadi cara halus untuk menegaskan batas sosial. Kita menertawakan yang berbeda, dan tawa itu memperkuat diskriminasi tanpa kita sadari. Kebutuhan akan pengakuan dan keamanan sosial membuat praktik ini sulit dihindari.

 

Praktik diskriminasi menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Bahkan dalam hal sepele seperti berbagi lauk atau meja makan, kita memisahkan yang “layak” dari yang “tidak layak”. Norma sosial yang menempel pada kebiasaan membuat diskriminasi tampak wajar.

 

Dalam hubungan intim atau sosial, diskriminasi menentukan siapa yang layak menjadi pasangan, teman dekat, atau anggota keluarga yang diperhatikan lebih. Kita menilai orang lain berdasarkan keserupaan atau status, bukan kualitas atau karakter. Hal ini membuat ketidakadilan tersembunyi namun terus berjalan.

 

Mengapa Menormalisasikannya?

 

Normalisasi terjadi karena diskriminasi telah menjadi bagian dari kebiasaan yang internal. Kita menilai orang lain melalui filter yang tampaknya alami, padahal dibentuk oleh habitus yang tertanam sejak lama. Haidt menekankan bahwa manusia selalu mencari pembenaran moral untuk intuisi mereka; kita merasa benar menolak orang lain yang berbeda, walau alasan itu hanyalah konstruksi sosial.

 

Di tempat kerja, senior menertawakan pemula yang salah bicara, dan pemula itu diam karena takut dianggap bodoh. Dalam keluarga, perbedaan perlakuan terhadap anak sering diterima sebagai aturan lumrah. Normalisasi juga berkaitan dengan rasa aman dan pengakuan sosial: kita menyesuaikan diri agar diterima, bahkan jika itu berarti menindas orang lain.

 

Kita menolak melihat diskriminasi karena telah menjadi ritual sosial yang tak terlihat. Narcissus hanya melihat dirinya sendiri; kita hanya melihat dunia dari perspektif kita sendiri, tanpa menyadari ketidakadilan yang berlangsung. Diskriminasi sering muncul dari perasaan self-righteousness; kita percaya tindakan kita benar dan menegakkan batas sosial itu moral.

 

Dalam masyarakat modern, diskriminasi melekat di berbagai level: di kantor, organisasi, sekolah, bahkan keluarga. Kita menertawakan yang berbeda, mengagungkan yang serupa, dan merasa tidak salah sama sekali. Bahkan dalam berbagi makanan, meja, atau ruang diskusi, diskriminasi muncul: memisahkan yang layak dari yang tidak layak.

 

Seperti habitus Bourdieu, perilaku ini internal dan otomatis. Kita mengulangnya tanpa refleksi, dan generasi baru menirunya, menganggapnya normal. Dalam hubungan sosial dan intim, diskriminasi menentukan siapa layak menjadi pasangan, teman dekat, atau anggota keluarga yang diperhatikan lebih.

 

Tanpa refleksi, diskriminasi akan terus mengikat kita. Ia halus namun kuat, membentuk dunia sosial yang tampak wajar namun penuh ketidakadilan. Narcissus tidak bisa menoleh dari bayangannya; kita sering gagal melihat ketidakadilan yang kita lakukan sendiri.

 

Untuk mengubahnya, kita perlu menyadari habitus yang menempel, mengkritik intuisi, dan menantang normalisasi. Hanya dengan kesadaran itu, dunia sosial kita bisa menjadi lebih adil dan manusiawi. Diskriminasi bukan hanya masalah individu, melainkan masalah struktur yang tertanam dalam praktik sehari-hari.

 

Kita tidak bisa menunggu orang lain mengubah dunia. Perubahan dimulai dari kesadaran bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa memperkuat atau menentang diskriminasi. Setiap senyum yang terbuka, percakapan yang inklusif, atau meja yang sama dapat menjadi cara melawan ketidakadilan yang tersembunyi.

 

Ketika kita menantang diskriminasi, kita tidak hanya melawan perilaku, tapi juga norma yang telah tertanam dalam habitus. Proses ini lambat dan penuh tantangan, karena melawan kebiasaan berarti menentang intuisi yang telah dianggap benar. Namun, kesadaran adalah langkah pertama untuk membebaskan diri dari ikatan itu.

 

Jika kita mampu memandang orang lain tanpa filter status, etnis, atau usia, dunia sosial akan terasa lebih ringan. Setiap interaksi menjadi peluang untuk menghapus batas yang tidak perlu dan menumbuhkan rasa hormat. Habitus yang adil tidak muncul tiba-tiba, tetapi melalui latihan refleksi yang konsisten dan sadar.

 

Diskriminasi, ketika tidak disadari, membentuk perilaku kolektif. Kita menilai secara otomatis, tanpa mempertimbangkan konteks, kapasitas, atau kebutuhan individu. Dalam situasi ini, intuisi moral yang dijelaskan Haidt berperan besar; kita menilai terlebih dahulu, baru membenarkan kemudian.

 

Dengan menantang normalisasi diskriminasi, kita menumbuhkan ruang sosial yang lebih inklusif. Kita belajar bahwa penghargaan tidak bergantung pada status, usia, atau keserupaan. Ini adalah langkah kecil, namun signifikan, untuk meruntuhkan batas yang selama ini dianggap wajar.

 

Hanya ketika kita sadar bahwa kebiasaan yang tampak sepele sekalipun bisa menimbulkan ketidakadilan, kita mampu mengubah dunia sosial secara nyata. Diskriminasi bukan sekadar masalah moral, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan refleksi mendalam.

 

Melihat kembali Narcissus, kita menyadari betapa mudahnya jatuh cinta pada bayangan diri sendiri. Praktik diskriminasi pun sering seperti itu: kita menilai berdasarkan bayangan norma yang kita ciptakan, bukan realitas. Kesadaran diri adalah kunci untuk mengubah persepsi tersebut.

 

Kebiasaan yang menempel dalam habitus dapat diubah, tetapi membutuhkan kesadaran, keberanian, dan latihan refleksi. Kita perlu mempertanyakan setiap kebiasaan sosial, termasuk yang tampak “normal”. Dengan begitu, diskriminasi bisa dilawan dari dalam diri kita sendiri.

 

Di dunia yang semakin kompleks, diskriminasi halus sering kali sulit diidentifikasi. Ia muncul dalam komentar ringan, pilihan teman, atau pembagian perhatian yang tampak sepele. Namun setiap tindakan kecil membentuk struktur sosial yang lebih besar.

 

Kesadaran kolektif menjadi jalan untuk melawan diskriminasi. Kita mulai dengan menantang norma yang telah lama diterima, mengajak orang lain untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih adil. Diskriminasi bukan takdir; ia produk kebiasaan yang bisa diubah.

 

Dengan refleksi yang konsisten, kita mampu menciptakan ruang sosial yang lebih manusiawi. Dunia yang inklusif bukan hanya impian, tetapi tujuan yang bisa dicapai melalui praktik sadar sehari-hari. Diskriminasi tidak akan hilang sendiri; ia memerlukan kesadaran dan tindakan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now