Oleh: Syamsul Kurniawan
Pendidikan agama di Indonesia telah
mengalami berbagai perubahan kurikulum, yang disesuaikan dengan kebutuhan
zaman. Salah satu perubahan penting yang tengah disiapkan oleh Kementerian
Agama adalah Kurikulum Cinta. Kurikulum ini, sebagaimana diungkapkan oleh
Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, bertujuan untuk mengajarkan
nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan toleransi dalam pendidikan agama.
Menurutnya, kurikulum ini dirancang sebagai upaya untuk mengintegrasikan
nilai-nilai agama dengan kehidupan sosial yang pluralistik di Indonesia, di
mana keberagaman agama, budaya, dan suku menjadi bagian integral dari identitas
bangsa.
Kurikulum Cinta menekankan pada
pengajaran agama yang tidak hanya berkutat pada aspek doktrinal, tetapi juga
pada bagaimana siswa dapat mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti
empati, saling menghargai, dan hidup berdampingan dengan damai. Dalam implementasinya,
Kurikulum Cinta bertujuan untuk membuka ruang bagi diskusi terbuka tentang
perbedaan keyakinan, mengajak siswa untuk saling memahami, dan memupuk rasa
cinta terhadap sesama tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka.
Mengutip dari penjelasan Kementerian
Agama, Kurikulum Cinta adalah sebuah bentuk upaya untuk menyempurnakan
pendidikan agama di Indonesia, yang mengedepankan pengajaran nilai-nilai
universal yang dapat diterima oleh semua kalangan. Kurikulum ini, yang diharapkan
akan segera diterapkan di sekolah-sekolah, merupakan bagian dari respons
terhadap perubahan sosial dan kebutuhan akan pendidikan yang lebih inklusif di
tengah pluralitas yang ada. Menteri Agama berpendapat bahwa kurikulum ini
penting untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan toleransi di kalangan
generasi muda Indonesia, guna menjaga keharmonisan sosial di negara yang
multikultural ini.
Dalam konteks pendidikan agama yang
semakin kompleks, Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan pada tahun 2022 menjadi
langkah penting untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam menentukan arah
pembelajaran sesuai dengan minat dan bakat mereka. Namun, meskipun fleksibel
dan memberi otonomi lebih, Kurikulum Merdeka masih memiliki kekurangan dalam
aspek pengembangan karakter, khususnya dalam pendidikan agama yang tidak hanya
mengajarkan pengetahuan kognitif, tetapi juga harus mengintegrasikan
nilai-nilai moral yang membangun.
Di era Society 5.0, di mana teknologi
memainkan peran yang sangat besar dalam hampir setiap aspek kehidupan, sistem
pendidikan dituntut untuk lebih responsif terhadap perkembangan ini. Teknologi
seperti Internet of Things (IoT), Kecerdasan Buatan (AI), dan Big Data membuka
potensi baru dalam pendidikan, tetapi juga membawa tantangan tersendiri dalam
hal pengintegrasian nilai-nilai moral dan sosial dalam kehidupan digital. Era
ini, yang sangat bergantung pada teknologi, membawa serta potensi terjadinya
polarisasi sosial dan degradasi moralitas jika tidak diimbangi dengan
pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kurikulum Cinta sebagai Penyempurna
Kurikulum Merdeka
Di tengah tantangan tersebut, Kurikulum
Cinta hadir untuk memberikan dimensi yang hilang dalam Kurikulum Merdeka.
Kurikulum ini menekankan nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan toleransi yang
harus diajarkan kepada siswa. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Agama,
pendidikan agama tidak hanya tentang mengajarkan doktrin keagamaan, tetapi juga
tentang menumbuhkan sikap empati dan penghargaan terhadap sesama. Jika
pendidikan agama hanya berfokus pada aspek teologis dan moralitas tanpa
mengintegrasikan nilai cinta yang lebih inklusif, maka pemahaman yang terbentuk
bisa jadi sangat sempit dan eksklusif. Dengan Kurikulum Cinta, diharapkan
pendidikan agama dapat menciptakan generasi yang lebih luas pandangannya, mampu
menerima perbedaan, dan tidak terjebak dalam rigiditas yang dapat menutup ruang
untuk dialog.
Kurikulum Cinta bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kasih sayang, menghargai
perbedaan, dan hidup dalam kedamaian. Nilai-nilai ini sangat penting, terutama
dalam konteks Indonesia yang multikultural. Selain itu, dengan adanya Kurikulum
Cinta, diharapkan akan tercipta pemahaman yang lebih mendalam tentang
pentingnya mengurangi polarisasi sosial dan mendorong masyarakat untuk hidup
berdampingan tanpa saling mendiskriminasi.
Menggunakan perspektif Jonathan Haidt
dalam bukunya The Righteous Mind, kita bisa memahami bahwa moralitas bukan
hanya soal rasionalitas dan pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan afeksi
emosional dan identitas sosial yang membentuk bagaimana seseorang berperilaku.
Haidt menjelaskan bahwa moralitas terbentuk dari berbagai prinsip yang
mendalam, termasuk harm/care (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain), fairness/cheating
(keadilan), loyalty/betrayal (loyalitas), dan authority/subversion (otoritas dan
kepatuhan). Kurikulum Cinta, dengan penekanan pada nilai cinta dan toleransi,
memberikan pendekatan yang lebih emosional dan berbasis pengalaman sosial dalam
mendidik siswa.
Dalam konteks ini, Haidt mengemukakan
bahwa moralitas itu sangat terikat dengan kelompok sosial kita, dan sering kali
kita mempertahankan nilai-nilai moral berdasarkan afeksi terhadap kelompok yang
kita anggap sebagai bagian dari identitas kita. Oleh karena itu, untuk
mengurangi polarisasi sosial, pendidikan harus mampu mengajarkan siswa untuk
mengatasi perbedaan yang ada dan membangun rasa saling menghormati. Kurikulum
Cinta memberikan landasan yang kuat untuk menumbuhkan rasa empati dan
pengertian terhadap kelompok lain, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain dari latar belakang yang berbeda.
Kurikulum Cinta dan Tantangan
Implementasinya
Meskipun ide dari Kurikulum Cinta sangat
menarik, tantangan terbesar terletak pada implementasinya di lapangan.
Pendidikan agama, terutama di Indonesia, sering kali dibatasi oleh pemahaman
yang sempit dan pendekatan yang terlalu dogmatis. Seperti yang dijelaskan oleh
Haidt, moralitas sering kali dibentuk oleh afeksi emosional yang kuat, dan ini
mempengaruhi bagaimana nilai-nilai agama dipahami dan diterima. Oleh karena
itu, mengubah paradigma pendidikan agama yang terlalu terfokus pada ajaran
doktrinal menjadi lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan
memerlukan usaha besar dari semua pihak.
Guru sebagai pendidik memiliki peran
penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai Kurikulum Cinta. Mereka perlu
diberikan pelatihan yang memadai untuk mengajarkan cinta, toleransi, dan
nilai-nilai sosial lainnya dalam cara yang efektif. Ini memerlukan perubahan
pola pikir yang mendalam dan kesiapan untuk mengintegrasikan teknologi dalam
proses pembelajaran tanpa mengorbankan nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan
kepada siswa.
Pendidikan Agama Islam, sebagai salah
satu bidang yang sangat mempengaruhi moralitas generasi muda, memerlukan
pendekatan yang lebih inklusif dan moderat. Kurikulum Cinta, dengan fokus pada
pembentukan karakter yang berlandaskan pada cinta dan toleransi, dapat
memperkaya Kurikulum Merdeka yang sudah ada. Namun, untuk
mengimplementasikannya dengan sukses, dibutuhkan evaluasi yang berkelanjutan.
Evaluasi ini harus mencakup seberapa jauh siswa dapat memahami dan
mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik
dalam konteks keagamaan maupun dalam interaksi sosial dengan orang lain.
Selain itu, meskipun teknologi memberi
banyak manfaat dalam pendidikan, Haidt memperingatkan kita bahwa teknologi
tanpa kendali dapat memperburuk polarisasi dan memperkuat pemikiran yang lebih
ekstrem. Oleh karena itu, pengintegrasian nilai-nilai cinta dalam pendidikan
agama sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi digunakan dengan
bijaksana, tanpa mengurangi esensi dari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya
diajarkan.
Dengan melihat perkembangan zaman dan
tantangan besar yang dihadapi dalam pendidikan agama, Kurikulum Cinta dapat
menjadi langkah penting dalam menyempurnakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Cinta
memberikan dimensi moral dan sosial yang lebih dalam, dengan menekankan
nilai-nilai cinta, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Dalam era Society
5.0, di mana teknologi semakin mendominasi kehidupan kita, pendidikan tidak
hanya bertugas untuk menyiapkan siswa secara intelektual, tetapi juga untuk
membentuk karakter mereka sebagai individu yang empatik, toleran, dan mampu
beradaptasi dengan dinamika sosial.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif
dan berbasis pada pengalaman emosional, Kurikulum Cinta dapat menjadi solusi
untuk memperbaiki pendidikan agama di Indonesia, agar tidak hanya mencetak
siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga siswa yang bijaksana dalam
berinteraksi dengan sesama, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia
digital.***