Kamis 3 Juli 2025

Iklan

Kurikulum Cinta Menyempurnakan Kurikulum Merdeka

syamsul kurniawan
Saturday, May 3, 2025
Last Updated 2025-05-04T01:56:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pendidikan agama di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan kurikulum, yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Salah satu perubahan penting yang tengah disiapkan oleh Kementerian Agama adalah Kurikulum Cinta. Kurikulum ini, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan toleransi dalam pendidikan agama. Menurutnya, kurikulum ini dirancang sebagai upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan kehidupan sosial yang pluralistik di Indonesia, di mana keberagaman agama, budaya, dan suku menjadi bagian integral dari identitas bangsa.

 

Kurikulum Cinta menekankan pada pengajaran agama yang tidak hanya berkutat pada aspek doktrinal, tetapi juga pada bagaimana siswa dapat mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, saling menghargai, dan hidup berdampingan dengan damai. Dalam implementasinya, Kurikulum Cinta bertujuan untuk membuka ruang bagi diskusi terbuka tentang perbedaan keyakinan, mengajak siswa untuk saling memahami, dan memupuk rasa cinta terhadap sesama tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka.

 

Mengutip dari penjelasan Kementerian Agama, Kurikulum Cinta adalah sebuah bentuk upaya untuk menyempurnakan pendidikan agama di Indonesia, yang mengedepankan pengajaran nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua kalangan. Kurikulum ini, yang diharapkan akan segera diterapkan di sekolah-sekolah, merupakan bagian dari respons terhadap perubahan sosial dan kebutuhan akan pendidikan yang lebih inklusif di tengah pluralitas yang ada. Menteri Agama berpendapat bahwa kurikulum ini penting untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan toleransi di kalangan generasi muda Indonesia, guna menjaga keharmonisan sosial di negara yang multikultural ini.

 

Dalam konteks pendidikan agama yang semakin kompleks, Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan pada tahun 2022 menjadi langkah penting untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam menentukan arah pembelajaran sesuai dengan minat dan bakat mereka. Namun, meskipun fleksibel dan memberi otonomi lebih, Kurikulum Merdeka masih memiliki kekurangan dalam aspek pengembangan karakter, khususnya dalam pendidikan agama yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan kognitif, tetapi juga harus mengintegrasikan nilai-nilai moral yang membangun.

 

Di era Society 5.0, di mana teknologi memainkan peran yang sangat besar dalam hampir setiap aspek kehidupan, sistem pendidikan dituntut untuk lebih responsif terhadap perkembangan ini. Teknologi seperti Internet of Things (IoT), Kecerdasan Buatan (AI), dan Big Data membuka potensi baru dalam pendidikan, tetapi juga membawa tantangan tersendiri dalam hal pengintegrasian nilai-nilai moral dan sosial dalam kehidupan digital. Era ini, yang sangat bergantung pada teknologi, membawa serta potensi terjadinya polarisasi sosial dan degradasi moralitas jika tidak diimbangi dengan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Kurikulum Cinta sebagai Penyempurna Kurikulum Merdeka

 

Di tengah tantangan tersebut, Kurikulum Cinta hadir untuk memberikan dimensi yang hilang dalam Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini menekankan nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan toleransi yang harus diajarkan kepada siswa. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Agama, pendidikan agama tidak hanya tentang mengajarkan doktrin keagamaan, tetapi juga tentang menumbuhkan sikap empati dan penghargaan terhadap sesama. Jika pendidikan agama hanya berfokus pada aspek teologis dan moralitas tanpa mengintegrasikan nilai cinta yang lebih inklusif, maka pemahaman yang terbentuk bisa jadi sangat sempit dan eksklusif. Dengan Kurikulum Cinta, diharapkan pendidikan agama dapat menciptakan generasi yang lebih luas pandangannya, mampu menerima perbedaan, dan tidak terjebak dalam rigiditas yang dapat menutup ruang untuk dialog.

 

Kurikulum Cinta bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kasih sayang, menghargai perbedaan, dan hidup dalam kedamaian. Nilai-nilai ini sangat penting, terutama dalam konteks Indonesia yang multikultural. Selain itu, dengan adanya Kurikulum Cinta, diharapkan akan tercipta pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya mengurangi polarisasi sosial dan mendorong masyarakat untuk hidup berdampingan tanpa saling mendiskriminasi.

 

Menggunakan perspektif Jonathan Haidt dalam bukunya The Righteous Mind, kita bisa memahami bahwa moralitas bukan hanya soal rasionalitas dan pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan afeksi emosional dan identitas sosial yang membentuk bagaimana seseorang berperilaku. Haidt menjelaskan bahwa moralitas terbentuk dari berbagai prinsip yang mendalam, termasuk harm/care (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain), fairness/cheating (keadilan), loyalty/betrayal (loyalitas), dan authority/subversion (otoritas dan kepatuhan). Kurikulum Cinta, dengan penekanan pada nilai cinta dan toleransi, memberikan pendekatan yang lebih emosional dan berbasis pengalaman sosial dalam mendidik siswa.

 

Dalam konteks ini, Haidt mengemukakan bahwa moralitas itu sangat terikat dengan kelompok sosial kita, dan sering kali kita mempertahankan nilai-nilai moral berdasarkan afeksi terhadap kelompok yang kita anggap sebagai bagian dari identitas kita. Oleh karena itu, untuk mengurangi polarisasi sosial, pendidikan harus mampu mengajarkan siswa untuk mengatasi perbedaan yang ada dan membangun rasa saling menghormati. Kurikulum Cinta memberikan landasan yang kuat untuk menumbuhkan rasa empati dan pengertian terhadap kelompok lain, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dari latar belakang yang berbeda.

 

Kurikulum Cinta dan Tantangan Implementasinya

 

Meskipun ide dari Kurikulum Cinta sangat menarik, tantangan terbesar terletak pada implementasinya di lapangan. Pendidikan agama, terutama di Indonesia, sering kali dibatasi oleh pemahaman yang sempit dan pendekatan yang terlalu dogmatis. Seperti yang dijelaskan oleh Haidt, moralitas sering kali dibentuk oleh afeksi emosional yang kuat, dan ini mempengaruhi bagaimana nilai-nilai agama dipahami dan diterima. Oleh karena itu, mengubah paradigma pendidikan agama yang terlalu terfokus pada ajaran doktrinal menjadi lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan memerlukan usaha besar dari semua pihak.

 

Guru sebagai pendidik memiliki peran penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai Kurikulum Cinta. Mereka perlu diberikan pelatihan yang memadai untuk mengajarkan cinta, toleransi, dan nilai-nilai sosial lainnya dalam cara yang efektif. Ini memerlukan perubahan pola pikir yang mendalam dan kesiapan untuk mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran tanpa mengorbankan nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan kepada siswa.

 

Pendidikan Agama Islam, sebagai salah satu bidang yang sangat mempengaruhi moralitas generasi muda, memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan moderat. Kurikulum Cinta, dengan fokus pada pembentukan karakter yang berlandaskan pada cinta dan toleransi, dapat memperkaya Kurikulum Merdeka yang sudah ada. Namun, untuk mengimplementasikannya dengan sukses, dibutuhkan evaluasi yang berkelanjutan. Evaluasi ini harus mencakup seberapa jauh siswa dapat memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik dalam konteks keagamaan maupun dalam interaksi sosial dengan orang lain.

 

Selain itu, meskipun teknologi memberi banyak manfaat dalam pendidikan, Haidt memperingatkan kita bahwa teknologi tanpa kendali dapat memperburuk polarisasi dan memperkuat pemikiran yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, pengintegrasian nilai-nilai cinta dalam pendidikan agama sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi digunakan dengan bijaksana, tanpa mengurangi esensi dari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya diajarkan.

 

Dengan melihat perkembangan zaman dan tantangan besar yang dihadapi dalam pendidikan agama, Kurikulum Cinta dapat menjadi langkah penting dalam menyempurnakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Cinta memberikan dimensi moral dan sosial yang lebih dalam, dengan menekankan nilai-nilai cinta, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Dalam era Society 5.0, di mana teknologi semakin mendominasi kehidupan kita, pendidikan tidak hanya bertugas untuk menyiapkan siswa secara intelektual, tetapi juga untuk membentuk karakter mereka sebagai individu yang empatik, toleran, dan mampu beradaptasi dengan dinamika sosial.

 

Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada pengalaman emosional, Kurikulum Cinta dapat menjadi solusi untuk memperbaiki pendidikan agama di Indonesia, agar tidak hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga siswa yang bijaksana dalam berinteraksi dengan sesama, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia digital.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now