Iklan

Konstruksi Pengetahuan Sosial Sebagai Modal Penelitian

syamsul kurniawan
Monday, September 22, 2025
Last Updated 2025-09-23T05:27:05Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Setiap pengetahuan sosial lahir dari sebuah peristiwa yang kelihatan sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan jejaring makna. Ia bukan sekadar catatan atas realitas, melainkan bangunan pemahaman yang dipintal dari berlapis-lapis fenomena. Maka, bila seorang peneliti memulai kerja dengan mengira bahwa fenomena berdiri sendiri, ia telah kehilangan setengah jalan.


Yang disebut konstruksi pengetahuan sosial, adalah bangunan: sesuatu yang disusun, disambung, diikat oleh logika berpikir. Ia mirip sebuah rumah, yang tidak berdiri hanya dengan tiang, tetapi dengan rangka, dinding, dan atap yang terhubung dalam satu kesatuan.


Sebab itu, peneliti sosial dituntut bersikap tidak tergesa-gesa. Sebuah kejadian—misalnya kerusuhan di pasar atau viralnya sebuah isu di media sosial—tidak bisa langsung dipatok sebagai “kebenaran”. Fenomena itu harus dipahami dalam serangkaian tindakan lain yang melingkupinya. Ia bagian dari rangkaian, bukan titik tunggal.


Inilah yang membuat penelitian sosial selalu menggoda: ia tidak pernah selesai hanya dengan menyebut data. Data tanpa jalinan logika hanyalah deretan angka, tanpa nyawa. Peneliti harus memintalnya ke dalam sebuah struktur pengetahuan, agar realitas dapat dipahami bukan sebagai serpihan, melainkan sebagai jalinan yang koheren.


Fenomena adalah bundle of action. Ia adalah ikatan dari berbagai tindakan manusia, dari motivasi tersembunyi, dari kebiasaan lama, hingga dari dorongan ekonomi yang tak kasatmata. Maka, peneliti sosial perlu kepekaan membaca simpul-simpul kecil yang membentuk jaringan besar.


Dari sini kita belajar, konstruksi pengetahuan sosial tidak mengklaim kebenaran mutlak. Yang ia tawarkan adalah kebenaran yang logis. Apakah susunan antar-fenomena itu masuk akal? Apakah ia bisa menjelaskan mengapa masyarakat bertindak seperti ini dan bukan seperti itu? Di situlah ukurannya.

 

Pengetahuan sosial, dengan demikian, bukan cermin realitas. Ia adalah tafsir. Ia menata realitas dalam struktur tertentu, yang barangkali berbeda dari peneliti lain. Tetapi justru di situlah nilainya: ia membuka percakapan, memperluas cakrawala, dan memperdalam pemahaman.


Menghadapi realitas yang kompleks, peneliti memerlukan strategi. Satu fenomena, betapapun menariknya, tidak cukup untuk membangun pengetahuan. Ia harus ditopang oleh fenomena lain, ditautkan oleh konteks, hingga tercipta semacam mosaik yang utuh. Penelitian, karenanya, adalah seni memilih dan merangkai.


Ambil contoh krisis lingkungan. Ia tidak hanya soal pembalakan liar atau pencemaran sungai. Ia juga menyimpan kisah pergeseran dari masyarakat tradisional yang percaya pada pantangan, menuju masyarakat modern yang meremehkan larangan. Ia menyimpan cerita tentang moral panic, tentang tren membuka lahan sawit. Semua ini, bila disatukan, baru memberi bentuk pengetahuan.


Di titik inilah, konstruksi pengetahuan sosial menjadi modal penelitian. Ia bukan sekadar metode, melainkan kerangka berpikir yang menjaga agar peneliti tidak terjebak pada simplifikasi. Sebab realitas sosial, selalu, lebih rumit dari yang tampak di permukaan.

 

Beberapa Contoh


Mari kita coba menapak pada contoh konkret. Peneliti yang mengkaji urbanisasi, misalnya, tidak cukup hanya menghitung jumlah penduduk desa yang pindah ke kota. Ia perlu melihat bagaimana televisi, media sosial, dan cerita sukses para perantau membentuk imajinasi kolektif tentang kota. Urbanisasi adalah fenomena migrasi, tetapi juga fenomena mimpi.


Contoh lain datang dari dunia pendidikan. Fenomena menurunnya minat baca tidak bisa hanya dilihat dari statistik jumlah buku yang dipinjam di perpustakaan. Ia harus dibaca dalam kaitannya dengan budaya gawai, dengan kebijakan kurikulum, dengan harga buku, bahkan dengan cara keluarga menanamkan kebiasaan. Barulah pengetahuan yang lahir tidak simplistis.


Atau ambil kasus politik elektoral. Ketika partisipasi pemilih menurun, peneliti tak bisa langsung menyimpulkan bahwa masyarakat apatis. Ada faktor kepercayaan pada institusi, ada pengaruh disinformasi, ada kejenuhan akibat kampanye yang repetitif. Semua ini harus ditenun menjadi pengetahuan yang koheren.


Krisis lingkungan yang disebutkan tadi juga memperlihatkan hal serupa. Di satu sisi, ia tampak sebagai peristiwa ekologis. Tetapi di sisi lain, ia adalah kisah tentang perubahan pola pikir masyarakat muslim perkotaan yang tidak lagi menganggap sungai atau hutan sebagai ruang sakral. Peneliti yang jeli akan menangkap bahwa “modernitas” berperan dalam destruksi ekologi.


Fenomena sosial media adalah contoh kontemporer lain. Viralitas sebuah isu tidak hanya ditentukan oleh fakta, tetapi juga oleh algoritma, oleh psikologi massa, dan oleh motif ekonomi para buzzer. Meneliti media sosial berarti meneliti sebuah jaringan kompleks antara teknologi, budaya, dan politik.


Begitu pula soal korupsi. Jika ia dilihat hanya sebagai tindak pidana, maka penelitian akan berhenti pada angka kasus. Tetapi jika ia dipandang sebagai fenomena sosial, maka ia mencakup budaya patronase, warisan kolonial, ketidakjelasan sistem reward, hingga persepsi masyarakat yang permisif. Pengetahuan sosial hadir justru dari merangkai itu semua.


Dalam penelitian agama, misalnya, pergeseran ritual ke arah lebih komersial juga bukan semata-mata soal ibadah. Ia adalah refleksi dari pasar, dari kelas menengah muslim yang tumbuh, dari gaya hidup konsumtif. Fenomena religius ternyata bisa dibaca sebagai fenomena ekonomi dan budaya sekaligus.


Dengan kata lain, setiap penelitian yang matang tidak berhenti pada gejala. Ia menembus ke struktur yang membangun gejala itu. Seorang peneliti yang hanya mencatat “kenapa orang ramai-ramai membeli emas” belum menghasilkan pengetahuan, sebelum ia menautkannya dengan ketidakpastian ekonomi, budaya investasi, dan bahkan memori krisis masa lalu.


Inilah inti dari contoh-contoh tadi: konstruksi pengetahuan sosial selalu lahir dari keterhubungan fenomena. Tanpa keterhubungan, penelitian akan miskin. Tanpa logika yang menjahit, data hanya jadi catatan dingin yang kehilangan daya jelajah.


Maka, penting bagi peneliti untuk selalu menanyakan: apa struktur sosial yang melatari fenomena ini? Apa pola tindakan yang berulang? Apa tren yang sedang bergerak? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntun data menjadi pengetahuan.


Konstruksi pengetahuan sosial juga menuntut keberanian untuk membatasi. Realitas terlalu luas, sementara penelitian harus fokus. Mengambil fenomena secara selektif bukan berarti mengurangi kebenaran, melainkan menjaga agar logika penelitian tetap terjaga. Di sinilah kebijaksanaan seorang peneliti diuji.


Tidak ada penelitian yang mampu merangkum seluruh kenyataan. Tetapi ada penelitian yang berhasil menyusun kenyataan ke dalam potongan yang bermakna. Perbedaan itulah yang membedakan laporan biasa dengan karya ilmiah yang hidup.


Dalam hal ini, metode penelitian adalah alat bantu untuk menata fenomena. Metode memberi arah, tetapi logika peneliti yang menentukan. Data kualitatif atau kuantitatif sama saja: tanpa kerangka berpikir, ia tidak lebih dari katalog. Dengan konstruksi sosial, ia menjadi narasi.


Kita bisa mengatakan: penelitian adalah seni merancang jembatan antara fenomena dan teori. Fenomena memberi bahan mentah, teori memberi pisau analisis, dan konstruksi pengetahuan menyusun keduanya menjadi bangunan. Tanpa konstruksi, teori menggantung; fenomena terpecah.


Pengetahuan sosial yang demikian juga bersifat terbuka. Ia tidak final, melainkan menunggu koreksi, revisi, bahkan dekonstruksi. Sebab realitas manusia bergerak, begitu pula pengetahuan tentangnya. Justru keterbukaan itulah yang membuatnya bernilai.


Di sinilah perbedaan penelitian sosial dengan eksperimen laboratorium. Bila sains alam mencari hukum universal, sains sosial justru merayakan keragaman tafsir. Yang dicari bukanlah kepastian, melainkan pemahaman yang logis, yang dapat diperdebatkan dan diperkaya.


Karena itu, seorang peneliti sosial mesti rendah hati. Ia tidak datang dengan klaim final, tetapi dengan tawaran kerangka. Ia bukan hakim, melainkan pembaca yang berusaha memahami manusia di tengah segala kontradiksinya.


Dan di titik akhir, konstruksi pengetahuan sosial bukan sekadar untuk menulis skripsi, tesis, atau disertasi. Ia adalah fondasi untuk memahami dunia, untuk menimbang kebijakan, untuk menata masa depan. Penelitian hanya salah satu wadah, bukan tujuan akhir.


Sebab pengetahuan yang terbangun dari fenomena sosial pada akhirnya kembali kepada masyarakat. Ia menjadi cermin yang memantulkan perilaku kolektif, sekaligus menjadi peta yang membantu kita mengambil arah. Dari sini, penelitian berperan bukan hanya sebagai pencatat, melainkan sebagai penyuluh.


Maka jelaslah: konstruksi pengetahuan sosial adalah modal penelitian. Ia modal intelektual, modal moral, modal metodologis. Tanpanya, penelitian hanyalah deretan kata tanpa makna. Dengannya, penelitian menjadi cahaya kecil yang menyingkap jalan di tengah belantara realitas.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now