Oleh: Syamsul Kurniawan
Setiap pengetahuan sosial lahir dari sebuah peristiwa yang kelihatan sederhana,
tetapi sesungguhnya menyimpan jejaring makna. Ia bukan sekadar catatan atas
realitas, melainkan bangunan pemahaman yang dipintal dari berlapis-lapis
fenomena. Maka, bila seorang peneliti memulai kerja dengan mengira bahwa
fenomena berdiri sendiri, ia telah kehilangan setengah jalan.
Yang disebut konstruksi pengetahuan sosial, adalah bangunan: sesuatu yang
disusun, disambung, diikat oleh logika berpikir. Ia mirip sebuah rumah, yang
tidak berdiri hanya dengan tiang, tetapi dengan rangka, dinding, dan atap yang
terhubung dalam satu kesatuan.
Sebab itu, peneliti sosial dituntut bersikap tidak tergesa-gesa. Sebuah
kejadian—misalnya kerusuhan di pasar atau viralnya sebuah isu di media
sosial—tidak bisa langsung dipatok sebagai “kebenaran”. Fenomena itu harus
dipahami dalam serangkaian tindakan lain yang melingkupinya. Ia bagian dari
rangkaian, bukan titik tunggal.
Inilah yang membuat penelitian sosial selalu menggoda: ia tidak pernah selesai
hanya dengan menyebut data. Data tanpa jalinan logika hanyalah deretan angka,
tanpa nyawa. Peneliti harus memintalnya ke dalam sebuah struktur pengetahuan,
agar realitas dapat dipahami bukan sebagai serpihan, melainkan sebagai jalinan
yang koheren.
Fenomena adalah bundle of action. Ia adalah ikatan dari berbagai
tindakan manusia, dari motivasi tersembunyi, dari kebiasaan lama, hingga dari
dorongan ekonomi yang tak kasatmata. Maka, peneliti sosial perlu kepekaan
membaca simpul-simpul kecil yang membentuk jaringan besar.
Dari sini kita belajar, konstruksi pengetahuan sosial tidak mengklaim kebenaran
mutlak. Yang ia tawarkan adalah kebenaran yang logis. Apakah susunan
antar-fenomena itu masuk akal? Apakah ia bisa menjelaskan mengapa masyarakat
bertindak seperti ini dan bukan seperti itu? Di situlah ukurannya.
Pengetahuan sosial, dengan demikian, bukan cermin
realitas. Ia adalah tafsir. Ia menata realitas dalam struktur tertentu, yang
barangkali berbeda dari peneliti lain. Tetapi justru di situlah nilainya: ia
membuka percakapan, memperluas cakrawala, dan memperdalam pemahaman.
Menghadapi realitas yang kompleks, peneliti memerlukan strategi. Satu fenomena,
betapapun menariknya, tidak cukup untuk membangun pengetahuan. Ia harus
ditopang oleh fenomena lain, ditautkan oleh konteks, hingga tercipta semacam
mosaik yang utuh. Penelitian, karenanya, adalah seni memilih dan merangkai.
Ambil contoh krisis lingkungan. Ia tidak hanya soal pembalakan liar atau
pencemaran sungai. Ia juga menyimpan kisah pergeseran dari masyarakat
tradisional yang percaya pada pantangan, menuju masyarakat modern yang
meremehkan larangan. Ia menyimpan cerita tentang moral panic, tentang tren
membuka lahan sawit. Semua ini, bila disatukan, baru memberi bentuk
pengetahuan.
Di titik inilah, konstruksi pengetahuan sosial menjadi modal penelitian. Ia
bukan sekadar metode, melainkan kerangka berpikir yang menjaga agar peneliti
tidak terjebak pada simplifikasi. Sebab realitas sosial, selalu, lebih rumit
dari yang tampak di permukaan.
Beberapa Contoh
Mari kita coba menapak pada contoh konkret. Peneliti yang mengkaji urbanisasi,
misalnya, tidak cukup hanya menghitung jumlah penduduk desa yang pindah ke
kota. Ia perlu melihat bagaimana televisi, media sosial, dan cerita sukses para
perantau membentuk imajinasi kolektif tentang kota. Urbanisasi adalah fenomena
migrasi, tetapi juga fenomena mimpi.
Contoh lain datang dari dunia pendidikan. Fenomena menurunnya minat baca tidak
bisa hanya dilihat dari statistik jumlah buku yang dipinjam di perpustakaan. Ia
harus dibaca dalam kaitannya dengan budaya gawai, dengan kebijakan kurikulum,
dengan harga buku, bahkan dengan cara keluarga menanamkan kebiasaan. Barulah
pengetahuan yang lahir tidak simplistis.
Atau ambil kasus politik elektoral. Ketika partisipasi pemilih menurun,
peneliti tak bisa langsung menyimpulkan bahwa masyarakat apatis. Ada faktor
kepercayaan pada institusi, ada pengaruh disinformasi, ada kejenuhan akibat
kampanye yang repetitif. Semua ini harus ditenun menjadi pengetahuan yang
koheren.
Krisis lingkungan yang disebutkan tadi juga memperlihatkan hal serupa. Di satu
sisi, ia tampak sebagai peristiwa ekologis. Tetapi di sisi lain, ia adalah
kisah tentang perubahan pola pikir masyarakat muslim perkotaan yang tidak lagi
menganggap sungai atau hutan sebagai ruang sakral. Peneliti yang jeli akan
menangkap bahwa “modernitas” berperan dalam destruksi ekologi.
Fenomena sosial media adalah contoh kontemporer lain. Viralitas sebuah isu
tidak hanya ditentukan oleh fakta, tetapi juga oleh algoritma, oleh psikologi
massa, dan oleh motif ekonomi para buzzer. Meneliti media sosial berarti
meneliti sebuah jaringan kompleks antara teknologi, budaya, dan politik.
Begitu pula soal korupsi. Jika ia dilihat hanya sebagai tindak pidana, maka
penelitian akan berhenti pada angka kasus. Tetapi jika ia dipandang sebagai
fenomena sosial, maka ia mencakup budaya patronase, warisan kolonial,
ketidakjelasan sistem reward, hingga persepsi masyarakat yang permisif.
Pengetahuan sosial hadir justru dari merangkai itu semua.
Dalam penelitian agama, misalnya, pergeseran ritual ke arah lebih komersial
juga bukan semata-mata soal ibadah. Ia adalah refleksi dari pasar, dari kelas
menengah muslim yang tumbuh, dari gaya hidup konsumtif. Fenomena religius
ternyata bisa dibaca sebagai fenomena ekonomi dan budaya sekaligus.
Dengan kata lain, setiap penelitian yang matang tidak berhenti pada gejala. Ia
menembus ke struktur yang membangun gejala itu. Seorang peneliti yang hanya
mencatat “kenapa orang ramai-ramai membeli emas” belum menghasilkan
pengetahuan, sebelum ia menautkannya dengan ketidakpastian ekonomi, budaya
investasi, dan bahkan memori krisis masa lalu.
Inilah inti dari contoh-contoh tadi: konstruksi pengetahuan sosial selalu lahir
dari keterhubungan fenomena. Tanpa keterhubungan, penelitian akan miskin. Tanpa
logika yang menjahit, data hanya jadi catatan dingin yang kehilangan daya
jelajah.
Maka, penting bagi peneliti untuk selalu menanyakan: apa struktur sosial yang
melatari fenomena ini? Apa pola tindakan yang berulang? Apa tren yang sedang
bergerak? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntun data menjadi pengetahuan.
Konstruksi pengetahuan sosial juga menuntut keberanian untuk membatasi.
Realitas terlalu luas, sementara penelitian harus fokus. Mengambil fenomena
secara selektif bukan berarti mengurangi kebenaran, melainkan menjaga agar
logika penelitian tetap terjaga. Di sinilah kebijaksanaan seorang peneliti
diuji.
Tidak ada penelitian yang mampu merangkum seluruh kenyataan. Tetapi ada
penelitian yang berhasil menyusun kenyataan ke dalam potongan yang bermakna.
Perbedaan itulah yang membedakan laporan biasa dengan karya ilmiah yang hidup.
Dalam hal ini, metode penelitian adalah alat bantu untuk menata fenomena.
Metode memberi arah, tetapi logika peneliti yang menentukan. Data kualitatif
atau kuantitatif sama saja: tanpa kerangka berpikir, ia tidak lebih dari
katalog. Dengan konstruksi sosial, ia menjadi narasi.
Kita bisa mengatakan: penelitian adalah seni merancang jembatan antara fenomena
dan teori. Fenomena memberi bahan mentah, teori memberi pisau analisis, dan
konstruksi pengetahuan menyusun keduanya menjadi bangunan. Tanpa konstruksi,
teori menggantung; fenomena terpecah.
Pengetahuan sosial yang demikian juga bersifat terbuka. Ia tidak final,
melainkan menunggu koreksi, revisi, bahkan dekonstruksi. Sebab realitas manusia
bergerak, begitu pula pengetahuan tentangnya. Justru keterbukaan itulah yang
membuatnya bernilai.
Di sinilah perbedaan penelitian sosial dengan eksperimen laboratorium. Bila
sains alam mencari hukum universal, sains sosial justru merayakan keragaman
tafsir. Yang dicari bukanlah kepastian, melainkan pemahaman yang logis, yang
dapat diperdebatkan dan diperkaya.
Karena itu, seorang peneliti sosial mesti rendah hati. Ia tidak datang dengan
klaim final, tetapi dengan tawaran kerangka. Ia bukan hakim, melainkan pembaca
yang berusaha memahami manusia di tengah segala kontradiksinya.
Dan di titik akhir, konstruksi pengetahuan sosial bukan sekadar untuk menulis
skripsi, tesis, atau disertasi. Ia adalah fondasi untuk memahami dunia, untuk
menimbang kebijakan, untuk menata masa depan. Penelitian hanya salah satu
wadah, bukan tujuan akhir.
Sebab pengetahuan yang terbangun dari fenomena sosial pada akhirnya kembali
kepada masyarakat. Ia menjadi cermin yang memantulkan perilaku kolektif,
sekaligus menjadi peta yang membantu kita mengambil arah. Dari sini, penelitian
berperan bukan hanya sebagai pencatat, melainkan sebagai penyuluh.
Maka jelaslah: konstruksi pengetahuan sosial adalah modal penelitian. Ia modal
intelektual, modal moral, modal metodologis. Tanpanya, penelitian hanyalah
deretan kata tanpa makna. Dengannya, penelitian menjadi cahaya kecil yang
menyingkap jalan di tengah belantara realitas.***