Oleh: Syamsul Kurniawan
“The ruling ideas of each age have ever been the ideas of its ruling class” (Karl Marx, 1848)
Kita sering digoda untuk percaya bahwa setiap kali negara mengganti
kurikulum, itu pertanda masa depan akan berubah lebih baik. Seolah-olah di
balik rapat panjang kementerian, tersimpan niat murni untuk mencerdaskan bangsa
tanpa tendensi. Namun, barangkali justru di situlah kita perlu waspada. Karena,
sebagaimana diingatkan Marx (1848, 1867), kelas yang berkuasa adalah kelas yang
menguasai sarana produksi. Bila mesin pabrik bisa menghasilkan barang, maka
kurikulum menghasilkan kesadaran—dan itu jauh lebih menentukan.
Sejarah mengajarkan bahwa pendidikan tak pernah berdiri di ruang hampa.
Di masa feodal, sekolah-sekolah dilahirkan untuk mencetak abdi yang tunduk pada
tuan tanah. Di masa kolonial, sekolah diarahkan untuk mencetak pegawai
rendahan, sekadar bisa baca-tulis, agar administrasi kolonial berjalan mulus.
Kini, di era kapitalisme, pendidikan dikemas dengan jargon modernisasi, namun
tetap memikul fungsi lama: melestarikan mesin produksi sosial.
Mesin itu bekerja halus, lebih halus daripada aparat represif. Ia tidak
membentak, tidak menodongkan senjata, tetapi menulis di papan tulis,
menyisipkan nilai dalam buku teks, dan menyamarkan kepentingan kelas dalam
istilah yang tampak mulia: “karakter bangsa,” “kompetensi abad 21,” atau
“profil pelajar Pancasila.”
Tentu, semua tampak merdeka. Ada slogan “merdeka belajar,” ada jargon
kebebasan. Tapi kemerdekaan yang ditawarkan hanyalah kemerdekaan dalam kerangka
yang sudah ditentukan. Kita merdeka sejauh tidak mengguncang tatanan yang
mapan.
Marx, yang dianggap usang oleh sebagian orang, rupanya tidak pernah
benar-benar pergi. Ia masih bergema, terutama ketika kita bicara pendidikan.
Sebab Marx (1848, 1867) berkeyakinan bahwa ide-ide yang berkuasa dalam
masyarakat manapun adalah ide-ide kelas yang berkuasa. Dengan kata lain, buku
pelajaran bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan wadah untuk menyebarkan
ideologi dominan.
Lihatlah ruang kelas kita. Anak-anak diajari disiplin, ketekunan, dan
kompetisi. Mereka jarang diajak berpikir tentang mengapa ada yang tetap miskin
meski rajin, atau mengapa ada yang tetap kaya meski malas. Seakan-akan nasib
semata soal upaya personal, bukan tentang struktur.
Inilah fungsi tersembunyi kurikulum: ia menyamarkan kenyataan. Ia bukan
netral, melainkan alat ideologis. Ia bekerja agar siswa menganggap status quo
sebagai sesuatu yang wajar, alami, bahkan takdir.
Sekolah pun akhirnya menyerupai pabrik. Ia menghasilkan buruh terampil,
tapi bukan pemikir kritis. Mereka mampu menjalankan mesin, namun tak pernah
bertanya siapa yang memiliki mesin itu. Di sinilah logika Marx tentang
“keterasingan” menemukan bentuk baru: murid terasing dari makna belajar,
seperti buruh terasing dari hasil kerjanya.
Pendidikan, dengan demikian, adalah pagar yang melindungi kelas
berkuasa. Pagar itu tidak dibuat dari kawat berduri, melainkan dari kurikulum,
nilai rapor, dan sertifikat. Ia tidak melarang keras, tetapi membatasi halus.
Apa Andil Kurikulum?
Kurikulum, kata kaum Neo-Marxis, adalah arena reproduksi struktur
kelas. Ia memastikan anak buruh tetap menjadi buruh, sementara anak pemilik
modal tetap punya jalan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Marx (1867) pernah menulis, “Kelas berkuasa tidak hanya mengendalikan
produksi material, tetapi juga produksi spiritual.” Kurikulum adalah bentuk
produksi spiritual itu. Ia membentuk nilai, norma, bahkan mimpi tentang masa
depan.
Perhatikan bagaimana kurikulum mengajarkan cita-cita luhur: menjadi
dokter, insinyur, arsitek. Namun ia jarang menyinggung kenyataan bahwa
cita-cita itu hanya bisa ditempuh mereka yang punya modal. Anak kelas pekerja
hanya bisa memandang dari jauh, meski duduk di ruang kelas yang sama.
Di sinilah kurikulum mengajarkan meritokrasi—bahwa kerja keras pasti
berbuah manis. Padahal Marx sudah lama menyadari, bahwa kehidupan bukan
ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan sosial.
Yang menentukan bukan sekadar kerja, melainkan posisi dalam relasi produksi.
Ketika sekolah mengadakan ujian seragam untuk semua siswa, ia seolah
berlaku adil. Namun, di baliknya, ia menyembunyikan ketimpangan. Anak kaya
datang dengan bimbingan belajar, gawai terbaru, guru privat. Anak miskin datang
dengan bekal seadanya. Lalu hasilnya dibandingkan seakan semua memulai dari
titik yang sama.
Itulah ironi pendidikan modern: dalam nama “kesetaraan,” ia justru
meneguhkan ketidakadilan. Gagal dianggap kesalahan individu, bukan akibat
struktur.
Kesadaran kelas pun tumpul. Siswa dibentuk percaya bahwa dunia ini
adil, bahwa semua orang bisa naik kelas sosial asal rajin. Narasi itu
menenangkan, tetapi sekaligus menipu.
Realitasnya, mobilitas sosial lebih mirip eskalator yang berjalan ke
bawah. Anak pekerja berusaha naik, tapi pijakannya terus meluncur turun.
Kurikulum memberi ilusi bahwa tangga itu lurus, padahal yang mereka pijak
rapuh.
Neo-Marxis menyebut kurikulum sebagai alat kontrol ideologi. Ia bukan
hanya mengajarkan matematika atau bahasa, melainkan cara pandang terhadap
dunia. Dunia yang digambarkan adalah dunia borjuis: dunia kompetisi, profit,
dan kesuksesan yang identik dengan konsumsi.
Tak heran, dalam buku-buku pelajaran hampir tidak ada ruang untuk
membicarakan eksploitasi. Hampir tidak ada pertanyaan: mengapa ada sebagian
orang bekerja keras seumur hidup tanpa pernah sejahtera?
Kurikulum adalah peta. Namun peta itu sengaja digambar untuk menutupi
jalan buntu.
Lebih jauh lagi, kurikulum menciptakan keterasingan. Siswa belajar
rumus yang tak pernah dipakai dalam hidup, sekadar memenuhi standar ujian.
Mereka tahu menghafal, tetapi tidak tahu mengapa harus menghafal.
Orang tua pun masuk ke dalam logika ini. Mereka bekerja keras untuk
membayar les, membeli buku, membiayai anak bersaing. Tetapi kursi-kursi sukses
itu terbatas, dijaga ketat, dan sudah dikendalikan oleh sistem.
Kontestasi sosial akhirnya hanya terjadi di level simbolis: siapa masuk
universitas ternama, siapa dapat gelar. Padahal struktur kelas di belakangnya
tetap kokoh, nyaris tak tersentuh.
Paradoks pendidikan kapitalis terletak di sini: ia menjanjikan gerbang
mobilitas sosial, tetapi gerbang itu dijaga oleh kelas yang berkuasa.
Mempertanyakan Kurikulum?
Apakah berarti kurikulum selalu gagal? Tidak sepenuhnya. Dalam
celah-celahnya, selalu ada kemungkinan perlawanan.
Guru yang kritis bisa menyelipkan percakapan alternatif. Siswa yang
resah bisa membaca ulang sejarah, menemukan bahwa narasi resmi hanyalah satu
dari sekian banyak versi.
Kurikulum, dengan demikian, juga bisa menjadi arena kontestasi. Ia bisa
ditafsirkan ulang, dibalik, bahkan dipakai untuk melawan.
Namun, itu hanya mungkin jika ada kesadaran. Marx berkata, “Kaum
pekerja tidak punya apa-apa selain rantai yang membelenggunya. Mereka takkan
kehilangan apa-apa kecuali belenggu itu.” Kesadaran untuk melihat rantai,
itulah yang pertama harus tumbuh.
Ketika kesadaran itu muncul, mungkin barulah pendidikan bisa
benar-benar merdeka. Bukan merdeka yang diiklankan dalam brosur, melainkan
merdeka dari belenggu kelas sosial.
Dan pada saat itu, sekolah berhenti menjadi pabrik, berubah menjadi
ruang perjuangan. Sebab di sana, anak-anak tidak lagi sekadar menghafal rumus,
tetapi belajar bertanya: siapa yang menggambar peta, siapa yang memegang mesin,
dan untuk kepentingan siapa kurikulum itu dibuat.***