Iklan

Sekolah, Pabrik, dan Reproduksi Kelas Sosial

syamsul kurniawan
Sunday, September 21, 2025
Last Updated 2025-09-22T01:57:11Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

The ruling ideas of each age have ever been the ideas of its ruling class” (Karl Marx, 1848) 


Kita sering digoda untuk percaya bahwa setiap kali negara mengganti kurikulum, itu pertanda masa depan akan berubah lebih baik. Seolah-olah di balik rapat panjang kementerian, tersimpan niat murni untuk mencerdaskan bangsa tanpa tendensi. Namun, barangkali justru di situlah kita perlu waspada. Karena, sebagaimana diingatkan Marx (1848, 1867), kelas yang berkuasa adalah kelas yang menguasai sarana produksi. Bila mesin pabrik bisa menghasilkan barang, maka kurikulum menghasilkan kesadaran—dan itu jauh lebih menentukan.

 

Sejarah mengajarkan bahwa pendidikan tak pernah berdiri di ruang hampa. Di masa feodal, sekolah-sekolah dilahirkan untuk mencetak abdi yang tunduk pada tuan tanah. Di masa kolonial, sekolah diarahkan untuk mencetak pegawai rendahan, sekadar bisa baca-tulis, agar administrasi kolonial berjalan mulus. Kini, di era kapitalisme, pendidikan dikemas dengan jargon modernisasi, namun tetap memikul fungsi lama: melestarikan mesin produksi sosial.

 

Mesin itu bekerja halus, lebih halus daripada aparat represif. Ia tidak membentak, tidak menodongkan senjata, tetapi menulis di papan tulis, menyisipkan nilai dalam buku teks, dan menyamarkan kepentingan kelas dalam istilah yang tampak mulia: “karakter bangsa,” “kompetensi abad 21,” atau “profil pelajar Pancasila.”

 

Tentu, semua tampak merdeka. Ada slogan “merdeka belajar,” ada jargon kebebasan. Tapi kemerdekaan yang ditawarkan hanyalah kemerdekaan dalam kerangka yang sudah ditentukan. Kita merdeka sejauh tidak mengguncang tatanan yang mapan.

 

Marx, yang dianggap usang oleh sebagian orang, rupanya tidak pernah benar-benar pergi. Ia masih bergema, terutama ketika kita bicara pendidikan. Sebab Marx (1848, 1867) berkeyakinan bahwa ide-ide yang berkuasa dalam masyarakat manapun adalah ide-ide kelas yang berkuasa. Dengan kata lain, buku pelajaran bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan wadah untuk menyebarkan ideologi dominan.

 

Lihatlah ruang kelas kita. Anak-anak diajari disiplin, ketekunan, dan kompetisi. Mereka jarang diajak berpikir tentang mengapa ada yang tetap miskin meski rajin, atau mengapa ada yang tetap kaya meski malas. Seakan-akan nasib semata soal upaya personal, bukan tentang struktur.

 

Inilah fungsi tersembunyi kurikulum: ia menyamarkan kenyataan. Ia bukan netral, melainkan alat ideologis. Ia bekerja agar siswa menganggap status quo sebagai sesuatu yang wajar, alami, bahkan takdir.

 

Sekolah pun akhirnya menyerupai pabrik. Ia menghasilkan buruh terampil, tapi bukan pemikir kritis. Mereka mampu menjalankan mesin, namun tak pernah bertanya siapa yang memiliki mesin itu. Di sinilah logika Marx tentang “keterasingan” menemukan bentuk baru: murid terasing dari makna belajar, seperti buruh terasing dari hasil kerjanya.

Pendidikan, dengan demikian, adalah pagar yang melindungi kelas berkuasa. Pagar itu tidak dibuat dari kawat berduri, melainkan dari kurikulum, nilai rapor, dan sertifikat. Ia tidak melarang keras, tetapi membatasi halus.

 

Apa Andil Kurikulum?

 

Kurikulum, kata kaum Neo-Marxis, adalah arena reproduksi struktur kelas. Ia memastikan anak buruh tetap menjadi buruh, sementara anak pemilik modal tetap punya jalan untuk mempertahankan kekuasaannya.

 

Marx (1867) pernah menulis, “Kelas berkuasa tidak hanya mengendalikan produksi material, tetapi juga produksi spiritual.” Kurikulum adalah bentuk produksi spiritual itu. Ia membentuk nilai, norma, bahkan mimpi tentang masa depan.

 

Perhatikan bagaimana kurikulum mengajarkan cita-cita luhur: menjadi dokter, insinyur, arsitek. Namun ia jarang menyinggung kenyataan bahwa cita-cita itu hanya bisa ditempuh mereka yang punya modal. Anak kelas pekerja hanya bisa memandang dari jauh, meski duduk di ruang kelas yang sama.

 

Di sinilah kurikulum mengajarkan meritokrasi—bahwa kerja keras pasti berbuah manis. Padahal Marx sudah lama menyadari, bahwa kehidupan bukan ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan sosial. Yang menentukan bukan sekadar kerja, melainkan posisi dalam relasi produksi.

 

Ketika sekolah mengadakan ujian seragam untuk semua siswa, ia seolah berlaku adil. Namun, di baliknya, ia menyembunyikan ketimpangan. Anak kaya datang dengan bimbingan belajar, gawai terbaru, guru privat. Anak miskin datang dengan bekal seadanya. Lalu hasilnya dibandingkan seakan semua memulai dari titik yang sama.

 

Itulah ironi pendidikan modern: dalam nama “kesetaraan,” ia justru meneguhkan ketidakadilan. Gagal dianggap kesalahan individu, bukan akibat struktur.

 

Kesadaran kelas pun tumpul. Siswa dibentuk percaya bahwa dunia ini adil, bahwa semua orang bisa naik kelas sosial asal rajin. Narasi itu menenangkan, tetapi sekaligus menipu.

 

Realitasnya, mobilitas sosial lebih mirip eskalator yang berjalan ke bawah. Anak pekerja berusaha naik, tapi pijakannya terus meluncur turun. Kurikulum memberi ilusi bahwa tangga itu lurus, padahal yang mereka pijak rapuh.

 

Neo-Marxis menyebut kurikulum sebagai alat kontrol ideologi. Ia bukan hanya mengajarkan matematika atau bahasa, melainkan cara pandang terhadap dunia. Dunia yang digambarkan adalah dunia borjuis: dunia kompetisi, profit, dan kesuksesan yang identik dengan konsumsi.

 

Tak heran, dalam buku-buku pelajaran hampir tidak ada ruang untuk membicarakan eksploitasi. Hampir tidak ada pertanyaan: mengapa ada sebagian orang bekerja keras seumur hidup tanpa pernah sejahtera?

 

Kurikulum adalah peta. Namun peta itu sengaja digambar untuk menutupi jalan buntu.

 

Lebih jauh lagi, kurikulum menciptakan keterasingan. Siswa belajar rumus yang tak pernah dipakai dalam hidup, sekadar memenuhi standar ujian. Mereka tahu menghafal, tetapi tidak tahu mengapa harus menghafal.

 

Orang tua pun masuk ke dalam logika ini. Mereka bekerja keras untuk membayar les, membeli buku, membiayai anak bersaing. Tetapi kursi-kursi sukses itu terbatas, dijaga ketat, dan sudah dikendalikan oleh sistem.

 

Kontestasi sosial akhirnya hanya terjadi di level simbolis: siapa masuk universitas ternama, siapa dapat gelar. Padahal struktur kelas di belakangnya tetap kokoh, nyaris tak tersentuh.

Paradoks pendidikan kapitalis terletak di sini: ia menjanjikan gerbang mobilitas sosial, tetapi gerbang itu dijaga oleh kelas yang berkuasa.

 

Mempertanyakan Kurikulum?

 

Apakah berarti kurikulum selalu gagal? Tidak sepenuhnya. Dalam celah-celahnya, selalu ada kemungkinan perlawanan.

 

Guru yang kritis bisa menyelipkan percakapan alternatif. Siswa yang resah bisa membaca ulang sejarah, menemukan bahwa narasi resmi hanyalah satu dari sekian banyak versi.

 

Kurikulum, dengan demikian, juga bisa menjadi arena kontestasi. Ia bisa ditafsirkan ulang, dibalik, bahkan dipakai untuk melawan.

 

Namun, itu hanya mungkin jika ada kesadaran. Marx berkata, “Kaum pekerja tidak punya apa-apa selain rantai yang membelenggunya. Mereka takkan kehilangan apa-apa kecuali belenggu itu.” Kesadaran untuk melihat rantai, itulah yang pertama harus tumbuh.

 

Ketika kesadaran itu muncul, mungkin barulah pendidikan bisa benar-benar merdeka. Bukan merdeka yang diiklankan dalam brosur, melainkan merdeka dari belenggu kelas sosial.

 

Dan pada saat itu, sekolah berhenti menjadi pabrik, berubah menjadi ruang perjuangan. Sebab di sana, anak-anak tidak lagi sekadar menghafal rumus, tetapi belajar bertanya: siapa yang menggambar peta, siapa yang memegang mesin, dan untuk kepentingan siapa kurikulum itu dibuat.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now