Iklan

Daya Tahan Kebijakan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi dan Support Kepemimpinan

syamsul kurniawan
Tuesday, October 3, 2023
Last Updated 2025-11-01T03:58:26Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Foto Dokumentasi di UIN Sumatera Utara (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023)
 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Di sebuah ruang rapat perguruan tinggi, barangkali sedang dibicarakan tentang “moderasi beragama”. Kata yang belakangan sering terdengar, seolah menjadi mantra baru dalam percakapan akademik kita. Tapi, di balik kata itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: seberapa tahan ia terhadap waktu, terhadap kepemimpinan yang berubah, terhadap sistem yang kadang dingin dan birokratis?

 

Moderasi beragama bukan sekadar proyek moral, melainkan kerja kebudayaan yang memerlukan rumah — rumah yang kokoh, dengan fondasi kepemimpinan yang fungsional. Dan rumah itu, kini, adalah perguruan tinggi.

 

Di sana, para rektor, dekan, hingga ketua program studi menjadi wajah dari kebijakan, bayangan dari nilai yang mereka tegakkan. Namun, sejauh mana wajah-wajah itu benar-benar memantulkan cahaya moderasi, bukan sekadar retorika yang dikemas dalam laporan kegiatan tahunan?

 

Kita tahu, moderasi beragama menuntut sikap yang tengah-tengah, tidak ekstrem, tidak bias. Tapi dalam ruang kepemimpinan, “tengah” bukan berarti netral tanpa arah. Ia justru keberanian mengambil posisi yang berimbang di tengah tarikan berbagai kepentingan.

 

Di titik ini, daya tahan sebuah kebijakan diuji. Bukan pada saat ia dicanangkan, tetapi saat ia ditinggalkan — ketika pergantian pimpinan terjadi, dan semangatnya harus hidup tanpa suara sang perintis.

 

Kepemimpinan yang fungsional tentunya tidak lahir dari bakat, melainkan dari pembiasaan dan latihan. Mungkin benar. Sebab pemimpin bukan makhluk istimewa yang turun dari langit, melainkan manusia yang terus ditempa oleh keputusan-keputusannya sendiri.

 

Nabi bersabda: setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Di situ, kepemimpinan bukan privilege, melainkan beban. Dan dalam beban itulah, kita diuji seberapa fungsional niat kita terhadap yang dipimpin.

 

Sebab moderasi tidak tumbuh dari seminar atau spanduk, melainkan dari teladan. Dan teladan, lebih dari apapun, adalah bahasa yang paling keras terdengar di ruang yang penuh kebisuan formalitas.

 

Bila pimpinan hanya bicara tentang moderasi tanpa memperlihatkannya dalam kebijakan, maka kata itu kehilangan maknanya. Ia akan menjadi jargon yang dipakai untuk menandai kepatuhan administratif, bukan kesadaran moral.

 

Maka, peran kepemimpinan menjadi ujung tombak dari daya tahan sebuah kebijakan. Tanpa jiwa kepemimpinan yang fungsional, kebijakan hanya tinggal dokumen; tidak hidup, tidak bergerak, tidak meresap ke dalam perilaku.

 

Talcott Parsons (1951) menawarkan kerangka A-G-I-L: Adaptation, Goal-attainment, Integration, dan Latency. Empat huruf itu, tampak seperti formula, tapi di tangan pemimpin sejati, ia menjadi kompas.

 

Adaptasi berarti pemimpin tahu medan kerjanya. Ia tahu kapan harus menyesuaikan diri tanpa kehilangan arah. Di kampus, adaptasi berarti membaca konteks sosial mahasiswanya, mengerti denyut zaman, dan menyusun kebijakan yang tidak buta terhadap realitas.

 

Pencapaian tujuan (goal-attainment) menuntut visi yang konkret. Pemimpin yang fungsional bukan hanya tahu apa yang benar, tetapi tahu bagaimana mencapainya. Ia membaca kebutuhan dan mengubahnya menjadi arah kebijakan yang berkelanjutan.

 

Integrasi menuntut kemampuan menjahit. Dalam lembaga akademik, terlalu mudah terjebak dalam ego struktural — fakultas melawan fakultas, biro melawan biro. Pemimpin yang fungsional menjadi benang yang menyatukan, bukan pisau yang memisahkan.

 

Dan latensi — menjaga pola, menjaga nilai. Artinya, pemimpin berani melindungi roh kebijakan dari kehancuran jangka pendek. Ia tidak sekadar mengatur, tapi menumbuhkan keyakinan bahwa nilai moderasi harus dijaga, bahkan ketika ia tak lagi menjabat.

 

Jika satu saja dari empat unsur itu hilang, kebijakan kehilangan daya tahannya. Ia akan mudah runtuh di hadapan perubahan pimpinan, atau tergerus oleh gelombang politik institusional.

 

Menjadi pemimpin, karena itu, bukan hanya soal posisi, tapi kapasitas. Ach. Mohyi menyebut lima syarat kepemimpinan fungsional: mengatur, mengarahkan, mempersatukan, memelopori, dan memajukan. Semua itu terdengar teknis, tetapi sesungguhnya ia spiritual.

 

Sebab, mengatur berarti menata keadilan; mengarahkan berarti memberi makna; mempersatukan berarti menumbuhkan rasa percaya; memelopori berarti berani berjalan lebih dulu; dan memajukan berarti menolak stagnasi. Semua itu tidak bisa lahir dari kepentingan pribadi.

 

Maka, seorang rektor atau pimpinan program studi tidak boleh hanya menjadi administrator. Ia harus menjadi penjaga nilai — semacam penjaga api, agar semangat moderasi tidak padam di tengah formalitas rapat.

 

Pemimpin harus mampu melihat organisasi secara menyeluruh, mengambil keputusan, mendelegasikan, dan memimpin sekaligus mengabdi. Empat hal yang sederhana, tapi sulit dilakukan bersamaan.

 

Di kampus, banyak yang pandai mengambil keputusan, tapi lupa mengabdi. Banyak yang mahir mendelegasikan, tapi kehilangan empati terhadap beban yang ia titipkan.

 

Moderasi beragama menuntut keseimbangan semacam itu: antara akal dan hati, antara kuasa dan pelayanan. Tanpa keseimbangan itu, kebijakan hanya akan memerintah tanpa makna.

 

Kepemimpinan yang fungsional tidak lahir dari karisma, tapi dari kesediaan untuk mendengar. Sebab hanya dari telinga yang terbuka, pemimpin bisa menangkap denyut persoalan yang tak tertulis dalam laporan resmi.

 

Bila seorang rektor memahami bahwa mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan adalah simpul-simpul kehidupan lembaga, maka kebijakan moderasi akan menemukan tanah suburnya — tumbuh pelan tapi dalam.

 

Sebaliknya, bila kepemimpinan dijalankan dengan ketakutan atau ego, maka kebijakan hanya menjadi perintah yang dingin, tanpa napas.

 

Moderasi beragama memerlukan keberanian untuk bersikap manusiawi. Di tengah kekakuan regulasi, pemimpin harus berani menjadi ruang bagi perbedaan. Di situlah moderasi menemukan bentuk nyatanya: bukan pada pidato, tapi pada cara memperlakukan orang lain.

 

Kebijakan yang tahan lama tidak pernah bergantung pada teks peraturan. Ia hidup karena ada orang-orang yang menjaganya dengan kesadaran. Dan kesadaran itu hanya bisa lahir dari kepemimpinan yang mengerti makna kepemimpinan itu sendiri.

 

Dalam jangka panjang, perguruan tinggi yang kuat dalam moderasi beragama bukanlah yang paling banyak programnya, melainkan yang paling konsisten teladannya. Karena keteladanan adalah bentuk kebijakan yang paling tak terbantahkan.

 

Kepemimpinan yang fungsional, akhirnya, adalah kepemimpinan yang sadar akan keterbatasan. Ia tahu, ia tidak bisa memaksa keyakinan, tapi bisa menumbuhkan ruang agar keyakinan yang beragam hidup berdampingan dalam martabat yang sama.

 

Maka, daya tahan kebijakan moderasi beragama bergantung pada daya tahan nurani para pemimpinnya. Sebab kebijakan bisa dihapus, tapi nilai yang ditanam dalam jiwa orang-orang, akan tetap tumbuh — bahkan setelah kepemimpinan berganti.***

 


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now