![]()  | 
| Foto Dokumentasi di UIN Sumatera Utara (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023) | 
Oleh: Syamsul Kurniawan
Di sebuah ruang rapat perguruan tinggi,
barangkali sedang dibicarakan tentang “moderasi beragama”. Kata yang belakangan
sering terdengar, seolah menjadi mantra baru dalam percakapan akademik kita.
Tapi, di balik kata itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: seberapa tahan ia
terhadap waktu, terhadap kepemimpinan yang berubah, terhadap sistem yang kadang
dingin dan birokratis?
Moderasi beragama bukan sekadar proyek moral,
melainkan kerja kebudayaan yang memerlukan rumah — rumah yang kokoh, dengan
fondasi kepemimpinan yang fungsional. Dan rumah itu, kini, adalah perguruan
tinggi.
Di sana, para rektor, dekan, hingga ketua program
studi menjadi wajah dari kebijakan, bayangan dari nilai yang mereka tegakkan.
Namun, sejauh mana wajah-wajah itu benar-benar memantulkan cahaya moderasi,
bukan sekadar retorika yang dikemas dalam laporan kegiatan tahunan?
Kita tahu, moderasi beragama menuntut sikap yang
tengah-tengah, tidak ekstrem, tidak bias. Tapi dalam ruang kepemimpinan,
“tengah” bukan berarti netral tanpa arah. Ia justru keberanian mengambil posisi
yang berimbang di tengah tarikan berbagai kepentingan.
Di titik ini, daya tahan sebuah kebijakan diuji.
Bukan pada saat ia dicanangkan, tetapi saat ia ditinggalkan — ketika pergantian
pimpinan terjadi, dan semangatnya harus hidup tanpa suara sang perintis.
Kepemimpinan yang
fungsional tentunya tidak lahir dari bakat, melainkan dari pembiasaan dan latihan.
Mungkin benar. Sebab pemimpin bukan makhluk istimewa yang turun dari langit,
melainkan manusia yang terus ditempa oleh keputusan-keputusannya sendiri.
Nabi bersabda: setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Di situ, kepemimpinan bukan
privilege, melainkan beban. Dan dalam beban itulah, kita diuji seberapa
fungsional niat kita terhadap yang dipimpin.
Sebab moderasi tidak tumbuh dari seminar atau
spanduk, melainkan dari teladan. Dan teladan, lebih dari apapun, adalah bahasa
yang paling keras terdengar di ruang yang penuh kebisuan formalitas.
Bila pimpinan hanya bicara tentang moderasi tanpa
memperlihatkannya dalam kebijakan, maka kata itu kehilangan maknanya. Ia akan
menjadi jargon yang dipakai untuk menandai kepatuhan administratif, bukan
kesadaran moral.
Maka, peran kepemimpinan menjadi ujung tombak
dari daya tahan sebuah kebijakan. Tanpa jiwa kepemimpinan yang fungsional,
kebijakan hanya tinggal dokumen; tidak hidup, tidak bergerak, tidak meresap ke
dalam perilaku.
Talcott Parsons (1951) menawarkan kerangka A-G-I-L:
Adaptation, Goal-attainment, Integration, dan Latency. Empat huruf itu, tampak
seperti formula, tapi di tangan pemimpin sejati, ia menjadi kompas.
Adaptasi berarti pemimpin tahu medan kerjanya. Ia
tahu kapan harus menyesuaikan diri tanpa kehilangan arah. Di kampus, adaptasi
berarti membaca konteks sosial mahasiswanya, mengerti denyut zaman, dan
menyusun kebijakan yang tidak buta terhadap realitas.
Pencapaian tujuan (goal-attainment) menuntut visi
yang konkret. Pemimpin yang fungsional bukan hanya tahu apa yang benar, tetapi
tahu bagaimana mencapainya. Ia membaca kebutuhan dan mengubahnya menjadi arah
kebijakan yang berkelanjutan.
Integrasi menuntut kemampuan menjahit. Dalam
lembaga akademik, terlalu mudah terjebak dalam ego struktural — fakultas
melawan fakultas, biro melawan biro. Pemimpin yang fungsional menjadi benang
yang menyatukan, bukan pisau yang memisahkan.
Dan latensi — menjaga pola, menjaga nilai.
Artinya, pemimpin berani melindungi roh kebijakan dari kehancuran jangka
pendek. Ia tidak sekadar mengatur, tapi menumbuhkan keyakinan bahwa nilai
moderasi harus dijaga, bahkan ketika ia tak lagi menjabat.
Jika satu saja dari empat unsur itu hilang,
kebijakan kehilangan daya tahannya. Ia akan mudah runtuh di hadapan perubahan
pimpinan, atau tergerus oleh gelombang politik institusional.
Menjadi pemimpin, karena itu, bukan hanya soal
posisi, tapi kapasitas. Ach. Mohyi menyebut lima syarat kepemimpinan
fungsional: mengatur, mengarahkan, mempersatukan, memelopori, dan memajukan.
Semua itu terdengar teknis, tetapi sesungguhnya ia spiritual.
Sebab, mengatur berarti menata keadilan;
mengarahkan berarti memberi makna; mempersatukan berarti menumbuhkan rasa
percaya; memelopori berarti berani berjalan lebih dulu; dan memajukan berarti
menolak stagnasi. Semua itu tidak bisa lahir dari kepentingan pribadi.
Maka, seorang rektor atau pimpinan program studi
tidak boleh hanya menjadi administrator. Ia harus menjadi penjaga nilai —
semacam penjaga api, agar semangat moderasi tidak padam di tengah formalitas
rapat.
Pemimpin harus
mampu melihat organisasi secara menyeluruh, mengambil keputusan,
mendelegasikan, dan memimpin sekaligus mengabdi. Empat hal yang sederhana, tapi
sulit dilakukan bersamaan.
Di kampus, banyak yang pandai mengambil
keputusan, tapi lupa mengabdi. Banyak yang mahir mendelegasikan, tapi
kehilangan empati terhadap beban yang ia titipkan.
Moderasi beragama menuntut keseimbangan semacam
itu: antara akal dan hati, antara kuasa dan pelayanan. Tanpa keseimbangan itu,
kebijakan hanya akan memerintah tanpa makna.
Kepemimpinan yang fungsional tidak lahir dari
karisma, tapi dari kesediaan untuk mendengar. Sebab hanya dari telinga yang
terbuka, pemimpin bisa menangkap denyut persoalan yang tak tertulis dalam
laporan resmi.
Bila seorang rektor memahami bahwa mahasiswa,
dosen, dan tenaga kependidikan adalah simpul-simpul kehidupan lembaga, maka
kebijakan moderasi akan menemukan tanah suburnya — tumbuh pelan tapi dalam.
Sebaliknya, bila kepemimpinan dijalankan dengan
ketakutan atau ego, maka kebijakan hanya menjadi perintah yang dingin, tanpa
napas.
Moderasi beragama memerlukan keberanian untuk
bersikap manusiawi. Di tengah kekakuan regulasi, pemimpin harus berani menjadi
ruang bagi perbedaan. Di situlah moderasi menemukan bentuk nyatanya: bukan pada
pidato, tapi pada cara memperlakukan orang lain.
Kebijakan yang tahan lama tidak pernah bergantung
pada teks peraturan. Ia hidup karena ada orang-orang yang menjaganya dengan
kesadaran. Dan kesadaran itu hanya bisa lahir dari kepemimpinan yang mengerti
makna kepemimpinan itu sendiri.
Dalam jangka panjang, perguruan tinggi yang kuat
dalam moderasi beragama bukanlah yang paling banyak programnya, melainkan yang
paling konsisten teladannya. Karena keteladanan adalah bentuk kebijakan yang
paling tak terbantahkan.
Kepemimpinan yang fungsional, akhirnya, adalah
kepemimpinan yang sadar akan keterbatasan. Ia tahu, ia tidak bisa memaksa
keyakinan, tapi bisa menumbuhkan ruang agar keyakinan yang beragam hidup
berdampingan dalam martabat yang sama.
Maka, daya tahan kebijakan moderasi beragama
bergantung pada daya tahan nurani para pemimpinnya. Sebab kebijakan bisa
dihapus, tapi nilai yang ditanam dalam jiwa orang-orang, akan tetap tumbuh —
bahkan setelah kepemimpinan berganti.***


