Oleh: Syamsul Kurniawan
Di sebuah sudut kampung tua di Pontianak, dulu
aku pernah berdiri memandang Kapuas. Airnya mengalir pelan—jernih meski
berwarna coklat, bersih meski tak sebening kaca. Ia belum menjadi cermin dari
limbah: belum menyimpan pantulan dari detritus zaman yang datang tergesa. Yang
ada hanya riak tenang, kadang pecah oleh tawa anak-anak yang menyelinap di
balik semak nipah, berenang tanpa takut, seolah tubuh mereka bagian dari sungai
itu sendiri. Kami belajar menyelam di parit—bukan saluran buangan seperti sekarang,
melainkan anak sungai yang sunyi, tempat ikan gabus dan sepat bertelur, dan
waktu seperti mengalir lebih lambat dari arusnya
Jalan kampung belum
beraspal. Jika hujan, becek dan licin. Tapi tak ada yang mengeluh. Kami tetap
bermain bola plastik, meski kaki basah sampai lutut. Di dekat rumah, masih
berdiri pohon-pohon besar. Rambutan, manggis, petai, dan jengkol tumbuh
berdampingan dengan sengon dan belian. Alam belum sepenuhnya dikapling. Hutan
masih bicara dalam bahasa dedaunan yang merunduk pelan bila angin datang.
Kampung kami tidak
sendiri. Di kabupaten-kabupaten lain—di Mempawah, Kapuas Hulu, Sambas, hingga
ke ujung Ketapang—hutan dan sungai saat itu adalah sekolah tak bersurat. Di
sanalah anak-anak tumbuh dalam ritus kebiasaan: memancing di sungai, menokok
sagu, menganyam tikar, memelihara pantun. Tidak semua diajarkan di sekolah
formal. Tapi semuanya menjadi fondasi: dari cara menatap dunia hingga cara
menyebut nama.
Hari ini, Kapuas tak
lagi seperti dulu. Ia keruh. Ia menanggung rasa bersalah kita. Kampung-kampung
perlahan berubah menjadi kelurahan, dan kelurahan menjadi tapak beton.
Pohon-pohon besar di halaman rumah tinggal dalam puisi dan buku pelajaran.
Anak-anak kecil kini berenang di kolam renang hotel, bukan di sungai. Dan
memancing? Itu kegiatan yang bergeser ke pinggiran.
Tentu, tidak semua
perubahan adalah musibah. Tapi di antara kemajuan, ada yang turut terkubur:
memori bersama. Ingatan kolektif yang dulunya hidup dalam upacara, dalam pantun
pembuka sebelum bicara, dalam tatapan diam sebelum berunding. Kita bukan hanya
sedang bergerak maju, tapi juga sedang kehilangan arah pulang.
Kalimantan Barat, kata
orang, adalah Indonesia kecil. Miniatur kebudayaan nasional yang—dalam satu
provinsi—memuat Melayu, Dayak, Tionghoa, Madura, Bugis, dan banyak lagi. Ada
keragaman di dalam keragaman. Tapi seperti mosaik yang mulai lepas satu per satu,
potongan budaya itu kini terancam tanpa kita sadari.
Kekayaan budaya Kalbar
seharusnya menjadi kekuatan strategis. Rumah panjang di Kapuas Hulu, rebana
Melayu di Pontianak, tarian Jepin di Sambas, dan anyaman rotan dari
Sintang—semuanya punya daya tarik. Tak sedikit wisatawan asing lebih terkesan
pada keunikan daripada kemewahan. Budaya, dalam hal ini, bukan barang museum.
Ia bisa menjadi denyut ekonomi, sekaligus benteng identitas.
Kita bisa belajar dari
Bali atau Yogyakarta. Mereka merawat budaya tidak sekadar sebagai tradisi, tapi
sebagai sistem pengetahuan yang adaptif. Tari, musik, dan adat dijaga, tapi
juga ditransformasi dalam bingkai pariwisata, pendidikan, bahkan diplomasi budaya.
Mengapa Kalimantan Barat belum bisa seperti itu? Apakah karena kita terlalu
sibuk berdebat soal siapa yang lebih asli?
Sebagian menjawab:
karena kesadaran masyarakat terhadap budaya lokal mulai surut. Generasi muda
lebih mengenal drama Korea daripada pantun Melayu. Anak-anak sekolah lebih
fasih menyebut nama bintang TikTok daripada nama nenek moyangnya sendiri.
Namun, menyalahkan mereka adalah upaya paling mudah dari sebuah kegagalan
struktural.
Yang abai bukan hanya
individu, tapi sistem. Kurikulum sekolah jarang sekali mengangkat budaya lokal
sebagai pelajaran hidup. Pendidikan kita terlalu nasionalistik dalam wacana,
tapi tidak lokalistik dalam praktik. Bahkan bahasa ibu sering kali dilarang digunakan
di kelas, dianggap kampungan. Padahal di situlah kunci keberlangsungan budaya
dimulai.
Komunikasi antarbudaya
juga minim. Kita sering bicara soal toleransi, tapi tak pernah benar-benar
belajar memahami. Konflik antarsuku yang pernah mewarnai sejarah Kalbar menjadi
bukti bahwa kita belum selesai mendialogkan identitas. Ruang publik kita terlalu
sempit, bahkan sebelum ada internet. Kita lebih suka berteriak daripada
mendengar.
Dan ketika media sosial
masuk, keadaan tidak jadi lebih baik. Kita hidup dalam kebisingan informasi,
bukan percakapan. Gambar-gambar budaya yang ditampilkan di Instagram atau
YouTube seringkali hanya estetika tanpa makna. Mereka menjelma simulakra—menurut
Jean Baudrillard (1994)—yakni tiruan dari kenyataan yang tak lagi merujuk pada
kenyataan aslinya.
Seberapa Lupa Kita?
Kita mungkin tak
sepenuhnya lupa. Tapi ingatan kolektif itu tak lagi punya rumah. Ia seperti
suara yang hanya bergema di kepala segelintir orang tua, atau mengendap dalam
catatan antropolog yang tak pernah dibaca anak cucu mereka. Ketika kita
ditanya: apa itu ngangen-ngangen? Sedikit dari kita yang bisa menjawab,
apalagi mempraktikkan.
Ngangen-ngangen,
sebagai bagian dari tradisi memilih pasangan dalam budaya Melayu Pontianak,
kini hanya hidup sebagai catatan kaki dalam skripsi atau makalah seminar.
Tradisi itu bukan kalah dalam adu rasionalitas, tetapi dilupakan oleh sistem
yang tak memberinya ruang tumbuh. Ia kehilangan konteks, dan kemudian
kehilangan bentuk. Lalu datanglah teknologi—seperti tamu yang membawa hadiah,
tapi juga membawa lupa.
Jean Baudrillard (1994)
menyebut ini sebagai dunia hiperrealitas. Dunia di mana tanda-tanda budaya
tidak lagi merujuk pada realitas yang hidup, tetapi hanya pada citra, rekayasa,
dan estetika semu. Budaya lokal pun akhirnya menjadi gambar-gambar panggung:
ditampilkan untuk festival, difoto, diunggah, lalu dilupakan. Kita melihat anak
muda menari jepin di TikTok, tapi tak tahu filosofi langkah kakinya.
Kita mendengar tabuhan rebana, tapi tak tahu upacara mana yang sedang
diiringi.
Simulakra, kata
Baudrillard, adalah ketika realitas digantikan oleh representasi yang berdiri
sendiri. Dalam konteks Kalimantan Barat, budaya kita bukan lagi ruang hidup,
tapi dekorasi. Rumah panjang Dayak dijadikan spot foto, bukan tempat
musyawarah. Upacara adat Melayu menjadi tontonan turis, bukan ritus hidup. Kita
tidak sedang merayakan budaya, kita sedang menyulapnya.
Dan dalam masyarakat
seperti itu, ruang publik tak lagi memfasilitasi perbincangan rasional. Jürgen
Habermas (1991) pernah menyusun mimpi tentang ruang publik—sebuah arena di mana
warga berdiskusi setara, menggunakan akal budi untuk mencari kebenaran bersama.
Tapi ruang publik kita kini justru menjadi panggung monolog, bukan dialog.
Apa yang dulu dilakukan
di balai adat atau pelantar rumah—yakni musyawarah, mufakat, dan saling
dengar—kini tergantikan oleh komentar Facebook yang saling menista. Budaya yang
semestinya memperkuat kohesi sosial justru ditarik masuk ke dalam arus
perdebatan digital yang dangkal. Seolah semua orang bicara, tapi tak ada yang
mendengar.
Habermas menyebut bahwa
ketika ruang publik dirusak oleh komersialisasi dan teknologi yang tak
terkendali, maka diskursus publik menjadi terdistorsi. Di Kalimantan Barat,
kita menyaksikan ini dalam cara budaya lokal menjadi komoditas politik atau
pariwisata, bukan sebagai sistem makna. Kita bicara tentang “pelestarian
budaya”, tapi maksudnya: anggaran. Bukan keberlanjutan nilai.
Lalu kita bertanya
lagi: siapa yang bisa disalahkan? Si anak muda yang tak tahu adat, atau si
dewasa yang tak pernah mengajarkan? Atau negara yang menggembar-gemborkan
identitas nasional tapi abai pada identitas lokal? Atau sekolah, yang tak lagi
memberi ruang untuk menyanyikan lagu rakyat atau mendongeng dalam bahasa ibu?
Jika ruang publik
adalah panggung diskursus, maka kita telah kehilangan teks. Yang tertinggal
hanyalah simbol dan slogan. Kita tahu Kalbar itu multikultural, tapi tak pernah
mengerti bagaimana menjadi multikultural dalam praktik sehari-hari. Kita tahu
tentang rumah betang dan surau tua, tapi tak tahu bagaimana menghidupinya hari
ini.
Budaya adalah
pengalaman kolektif, bukan barang pameran. Ia tidak hidup dalam brosur dinas
pariwisata, tapi dalam praktik sosial sehari-hari: dalam cara menyapa, dalam
logat bicara, dalam makanan yang dimasak dengan resep warisan. Dan semua itu
perlahan ditinggalkan, karena ruang publik kita tidak pernah memberi insentif
bagi kelestarian, hanya pada viralitas.
Jalan Mana yang Kita
Pilih?
Kita memang sedang
berada di simpang jalan. Di satu sisi, budaya lokal Kalimantan Barat menyimpan
potensi luar biasa: sebagai identitas, sebagai perekat sosial, bahkan sebagai
sumber ekonomi. Di sisi lain, ia terancam punah bukan oleh senjata atau
penjajahan, tapi oleh ketidakpedulian kita sendiri—yang terlalu sibuk mengejar
modernitas tanpa arah.
Multikulturalisme, bila
benar-benar dihayati, bisa menjadi energi kolektif. Tapi ia bukan hanya soal
pengakuan terhadap keberagaman, melainkan juga kemampuan untuk berinteraksi,
berdialog, dan saling belajar. Dua pilar yang disarankan Habermas (1991)—yakni
pendidikan dan komunikasi antar budaya—belum benar-benar hadir dalam sistem
kita.
Pendidikan kita masih
terlalu “Jakarta-sentris”, terlalu terpaku pada standar nasional yang seragam.
Padahal setiap kampung punya cara sendiri mengajarkan kearifan. Mengapa tidak
ada kurikulum lokal yang benar-benar berasal dari desa? Mengapa bahasa daerah
hanya menjadi pelajaran pilihan, bukan bagian dari keseharian?
Komunikasi antar budaya
juga minim ruang. Padahal jika ada satu hal yang bisa kita pelajari dari
sejarah Kalbar, itu adalah bahwa konflik sering lahir bukan dari perbedaan,
tetapi dari kegagalan memahami perbedaan. Kita bisa berbagi tanah dan udara,
tapi kita belum tentu bisa saling memahami.
Namun jangan buru-buru
putus asa. Masih ada peluang. Dunia internasional kini mulai menengok ke Asia
Tenggara bukan karena teknologinya, tapi karena budayanya. Tradisi menjadi
komoditas yang unik dan dicari. Jika kita mampu menampilkan budaya lokal dengan
cara yang otentik dan hormat, kita bisa mengundang ketertarikan tanpa harus
menjadi tiruan Bali atau Yogyakarta.
Kita bisa mulai dari
hal sederhana. Sekolah-sekolah bisa mengajak siswa mewawancarai kakek-nenek
mereka tentang adat. Pemerintah desa bisa membuat festival budaya yang bukan
sekadar panggung hiburan, tapi ruang pendidikan. Anak-anak muda bisa
menggunakan media sosial bukan untuk mencitrakan budaya, tapi untuk
menjadikannya hidup kembali.
Budaya memang tidak
akan sama seperti dulu. Tapi ia bisa terus hidup—dalam bentuk baru yang tetap
berakar. Yang penting adalah jangan biarkan ia menjadi sekadar citra kosong.
Jangan biarkan rumah panjang hanya menjadi hotel tematik. Jangan biarkan surau tua
menjadi latar foto prewedding tanpa pernah lagi digunakan untuk belajar
mengaji.
Karena jika tidak, kita
akan terjebak dalam hiperrealitas budaya. Kita merasa sedang merayakan budaya
kita, padahal yang kita rayakan hanyalah kulit, bukan makna. Kita membanggakan
keberagaman Kalbar di atas panggung, tapi tidak hidup di tengah keberagaman itu
sehari-hari. Kita seperti menonton pertunjukan tentang diri kita sendiri—tanpa
ikut serta di dalamnya.
Akhirnya, semua kembali
pada satu pertanyaan sederhana namun mendalam: budaya siapa yang sedang kita
rayakan? Budaya siapa yang sedang kita lupakan? Jika kita tak tahu jawabannya,
barangkali kita memang sedang hidup dalam ruang yang sudah kehilangan
ingatannya. Kita sedang membangun tanpa mengenang, dan mengenang tanpa
membangun.
Pontianak hari ini
mungkin tidak lagi sama seperti dulu. Tapi suara riak sungai Kapuas masih bisa
terdengar—jika kita mau diam sejenak dan mendengarnya. Di balik beton dan
sinyal 5G, barangkali masih ada cerita yang bisa kita gali kembali. Bukan untuk
kembali ke masa lalu, tapi untuk membawa masa lalu ke masa depan.
Sebab hanya dengan
mengingat, kita bisa bertahan. Dan hanya dengan bertahan, budaya akan terus
berbicara—bahkan ketika kita sudah diam.***