Iklan

Kalimantan Barat: Ingatan, Simulakra, dan Suara Yang Tak Tertulis

syamsul kurniawan
Friday, July 25, 2025
Last Updated 2025-07-26T01:17:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di sebuah sudut kampung tua di Pontianak, dulu aku pernah berdiri memandang Kapuas. Airnya mengalir pelan—jernih meski berwarna coklat, bersih meski tak sebening kaca. Ia belum menjadi cermin dari limbah: belum menyimpan pantulan dari detritus zaman yang datang tergesa. Yang ada hanya riak tenang, kadang pecah oleh tawa anak-anak yang menyelinap di balik semak nipah, berenang tanpa takut, seolah tubuh mereka bagian dari sungai itu sendiri. Kami belajar menyelam di parit—bukan saluran buangan seperti sekarang, melainkan anak sungai yang sunyi, tempat ikan gabus dan sepat bertelur, dan waktu seperti mengalir lebih lambat dari arusnya

 

Jalan kampung belum beraspal. Jika hujan, becek dan licin. Tapi tak ada yang mengeluh. Kami tetap bermain bola plastik, meski kaki basah sampai lutut. Di dekat rumah, masih berdiri pohon-pohon besar. Rambutan, manggis, petai, dan jengkol tumbuh berdampingan dengan sengon dan belian. Alam belum sepenuhnya dikapling. Hutan masih bicara dalam bahasa dedaunan yang merunduk pelan bila angin datang.

 

Kampung kami tidak sendiri. Di kabupaten-kabupaten lain—di Mempawah, Kapuas Hulu, Sambas, hingga ke ujung Ketapang—hutan dan sungai saat itu adalah sekolah tak bersurat. Di sanalah anak-anak tumbuh dalam ritus kebiasaan: memancing di sungai, menokok sagu, menganyam tikar, memelihara pantun. Tidak semua diajarkan di sekolah formal. Tapi semuanya menjadi fondasi: dari cara menatap dunia hingga cara menyebut nama.

 

Hari ini, Kapuas tak lagi seperti dulu. Ia keruh. Ia menanggung rasa bersalah kita. Kampung-kampung perlahan berubah menjadi kelurahan, dan kelurahan menjadi tapak beton. Pohon-pohon besar di halaman rumah tinggal dalam puisi dan buku pelajaran. Anak-anak kecil kini berenang di kolam renang hotel, bukan di sungai. Dan memancing? Itu kegiatan yang bergeser ke pinggiran.

 

Tentu, tidak semua perubahan adalah musibah. Tapi di antara kemajuan, ada yang turut terkubur: memori bersama. Ingatan kolektif yang dulunya hidup dalam upacara, dalam pantun pembuka sebelum bicara, dalam tatapan diam sebelum berunding. Kita bukan hanya sedang bergerak maju, tapi juga sedang kehilangan arah pulang.

 

Kalimantan Barat, kata orang, adalah Indonesia kecil. Miniatur kebudayaan nasional yang—dalam satu provinsi—memuat Melayu, Dayak, Tionghoa, Madura, Bugis, dan banyak lagi. Ada keragaman di dalam keragaman. Tapi seperti mosaik yang mulai lepas satu per satu, potongan budaya itu kini terancam tanpa kita sadari.

 

Kekayaan budaya Kalbar seharusnya menjadi kekuatan strategis. Rumah panjang di Kapuas Hulu, rebana Melayu di Pontianak, tarian Jepin di Sambas, dan anyaman rotan dari Sintang—semuanya punya daya tarik. Tak sedikit wisatawan asing lebih terkesan pada keunikan daripada kemewahan. Budaya, dalam hal ini, bukan barang museum. Ia bisa menjadi denyut ekonomi, sekaligus benteng identitas.

 

Kita bisa belajar dari Bali atau Yogyakarta. Mereka merawat budaya tidak sekadar sebagai tradisi, tapi sebagai sistem pengetahuan yang adaptif. Tari, musik, dan adat dijaga, tapi juga ditransformasi dalam bingkai pariwisata, pendidikan, bahkan diplomasi budaya. Mengapa Kalimantan Barat belum bisa seperti itu? Apakah karena kita terlalu sibuk berdebat soal siapa yang lebih asli?

 

Sebagian menjawab: karena kesadaran masyarakat terhadap budaya lokal mulai surut. Generasi muda lebih mengenal drama Korea daripada pantun Melayu. Anak-anak sekolah lebih fasih menyebut nama bintang TikTok daripada nama nenek moyangnya sendiri. Namun, menyalahkan mereka adalah upaya paling mudah dari sebuah kegagalan struktural.

 

Yang abai bukan hanya individu, tapi sistem. Kurikulum sekolah jarang sekali mengangkat budaya lokal sebagai pelajaran hidup. Pendidikan kita terlalu nasionalistik dalam wacana, tapi tidak lokalistik dalam praktik. Bahkan bahasa ibu sering kali dilarang digunakan di kelas, dianggap kampungan. Padahal di situlah kunci keberlangsungan budaya dimulai.

 

Komunikasi antarbudaya juga minim. Kita sering bicara soal toleransi, tapi tak pernah benar-benar belajar memahami. Konflik antarsuku yang pernah mewarnai sejarah Kalbar menjadi bukti bahwa kita belum selesai mendialogkan identitas. Ruang publik kita terlalu sempit, bahkan sebelum ada internet. Kita lebih suka berteriak daripada mendengar.

 

Dan ketika media sosial masuk, keadaan tidak jadi lebih baik. Kita hidup dalam kebisingan informasi, bukan percakapan. Gambar-gambar budaya yang ditampilkan di Instagram atau YouTube seringkali hanya estetika tanpa makna. Mereka menjelma simulakra—menurut Jean Baudrillard (1994)—yakni tiruan dari kenyataan yang tak lagi merujuk pada kenyataan aslinya.

 

Seberapa Lupa Kita?

 

Kita mungkin tak sepenuhnya lupa. Tapi ingatan kolektif itu tak lagi punya rumah. Ia seperti suara yang hanya bergema di kepala segelintir orang tua, atau mengendap dalam catatan antropolog yang tak pernah dibaca anak cucu mereka. Ketika kita ditanya: apa itu ngangen-ngangen? Sedikit dari kita yang bisa menjawab, apalagi mempraktikkan.

 

Ngangen-ngangen, sebagai bagian dari tradisi memilih pasangan dalam budaya Melayu Pontianak, kini hanya hidup sebagai catatan kaki dalam skripsi atau makalah seminar. Tradisi itu bukan kalah dalam adu rasionalitas, tetapi dilupakan oleh sistem yang tak memberinya ruang tumbuh. Ia kehilangan konteks, dan kemudian kehilangan bentuk. Lalu datanglah teknologi—seperti tamu yang membawa hadiah, tapi juga membawa lupa.

 

Jean Baudrillard (1994) menyebut ini sebagai dunia hiperrealitas. Dunia di mana tanda-tanda budaya tidak lagi merujuk pada realitas yang hidup, tetapi hanya pada citra, rekayasa, dan estetika semu. Budaya lokal pun akhirnya menjadi gambar-gambar panggung: ditampilkan untuk festival, difoto, diunggah, lalu dilupakan. Kita melihat anak muda menari jepin di TikTok, tapi tak tahu filosofi langkah kakinya. Kita mendengar tabuhan rebana, tapi tak tahu upacara mana yang sedang diiringi.

 

Simulakra, kata Baudrillard, adalah ketika realitas digantikan oleh representasi yang berdiri sendiri. Dalam konteks Kalimantan Barat, budaya kita bukan lagi ruang hidup, tapi dekorasi. Rumah panjang Dayak dijadikan spot foto, bukan tempat musyawarah. Upacara adat Melayu menjadi tontonan turis, bukan ritus hidup. Kita tidak sedang merayakan budaya, kita sedang menyulapnya.

 

Dan dalam masyarakat seperti itu, ruang publik tak lagi memfasilitasi perbincangan rasional. Jürgen Habermas (1991) pernah menyusun mimpi tentang ruang publik—sebuah arena di mana warga berdiskusi setara, menggunakan akal budi untuk mencari kebenaran bersama. Tapi ruang publik kita kini justru menjadi panggung monolog, bukan dialog.

 

Apa yang dulu dilakukan di balai adat atau pelantar rumah—yakni musyawarah, mufakat, dan saling dengar—kini tergantikan oleh komentar Facebook yang saling menista. Budaya yang semestinya memperkuat kohesi sosial justru ditarik masuk ke dalam arus perdebatan digital yang dangkal. Seolah semua orang bicara, tapi tak ada yang mendengar.

 

Habermas menyebut bahwa ketika ruang publik dirusak oleh komersialisasi dan teknologi yang tak terkendali, maka diskursus publik menjadi terdistorsi. Di Kalimantan Barat, kita menyaksikan ini dalam cara budaya lokal menjadi komoditas politik atau pariwisata, bukan sebagai sistem makna. Kita bicara tentang “pelestarian budaya”, tapi maksudnya: anggaran. Bukan keberlanjutan nilai.

 

Lalu kita bertanya lagi: siapa yang bisa disalahkan? Si anak muda yang tak tahu adat, atau si dewasa yang tak pernah mengajarkan? Atau negara yang menggembar-gemborkan identitas nasional tapi abai pada identitas lokal? Atau sekolah, yang tak lagi memberi ruang untuk menyanyikan lagu rakyat atau mendongeng dalam bahasa ibu?

 

Jika ruang publik adalah panggung diskursus, maka kita telah kehilangan teks. Yang tertinggal hanyalah simbol dan slogan. Kita tahu Kalbar itu multikultural, tapi tak pernah mengerti bagaimana menjadi multikultural dalam praktik sehari-hari. Kita tahu tentang rumah betang dan surau tua, tapi tak tahu bagaimana menghidupinya hari ini.

 

Budaya adalah pengalaman kolektif, bukan barang pameran. Ia tidak hidup dalam brosur dinas pariwisata, tapi dalam praktik sosial sehari-hari: dalam cara menyapa, dalam logat bicara, dalam makanan yang dimasak dengan resep warisan. Dan semua itu perlahan ditinggalkan, karena ruang publik kita tidak pernah memberi insentif bagi kelestarian, hanya pada viralitas.

 

Jalan Mana yang Kita Pilih?

 

Kita memang sedang berada di simpang jalan. Di satu sisi, budaya lokal Kalimantan Barat menyimpan potensi luar biasa: sebagai identitas, sebagai perekat sosial, bahkan sebagai sumber ekonomi. Di sisi lain, ia terancam punah bukan oleh senjata atau penjajahan, tapi oleh ketidakpedulian kita sendiri—yang terlalu sibuk mengejar modernitas tanpa arah.

 

Multikulturalisme, bila benar-benar dihayati, bisa menjadi energi kolektif. Tapi ia bukan hanya soal pengakuan terhadap keberagaman, melainkan juga kemampuan untuk berinteraksi, berdialog, dan saling belajar. Dua pilar yang disarankan Habermas (1991)—yakni pendidikan dan komunikasi antar budaya—belum benar-benar hadir dalam sistem kita.

 

Pendidikan kita masih terlalu “Jakarta-sentris”, terlalu terpaku pada standar nasional yang seragam. Padahal setiap kampung punya cara sendiri mengajarkan kearifan. Mengapa tidak ada kurikulum lokal yang benar-benar berasal dari desa? Mengapa bahasa daerah hanya menjadi pelajaran pilihan, bukan bagian dari keseharian?

 

Komunikasi antar budaya juga minim ruang. Padahal jika ada satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah Kalbar, itu adalah bahwa konflik sering lahir bukan dari perbedaan, tetapi dari kegagalan memahami perbedaan. Kita bisa berbagi tanah dan udara, tapi kita belum tentu bisa saling memahami.

 

Namun jangan buru-buru putus asa. Masih ada peluang. Dunia internasional kini mulai menengok ke Asia Tenggara bukan karena teknologinya, tapi karena budayanya. Tradisi menjadi komoditas yang unik dan dicari. Jika kita mampu menampilkan budaya lokal dengan cara yang otentik dan hormat, kita bisa mengundang ketertarikan tanpa harus menjadi tiruan Bali atau Yogyakarta.

 

Kita bisa mulai dari hal sederhana. Sekolah-sekolah bisa mengajak siswa mewawancarai kakek-nenek mereka tentang adat. Pemerintah desa bisa membuat festival budaya yang bukan sekadar panggung hiburan, tapi ruang pendidikan. Anak-anak muda bisa menggunakan media sosial bukan untuk mencitrakan budaya, tapi untuk menjadikannya hidup kembali.

 

Budaya memang tidak akan sama seperti dulu. Tapi ia bisa terus hidup—dalam bentuk baru yang tetap berakar. Yang penting adalah jangan biarkan ia menjadi sekadar citra kosong. Jangan biarkan rumah panjang hanya menjadi hotel tematik. Jangan biarkan surau tua menjadi latar foto prewedding tanpa pernah lagi digunakan untuk belajar mengaji.

 

Karena jika tidak, kita akan terjebak dalam hiperrealitas budaya. Kita merasa sedang merayakan budaya kita, padahal yang kita rayakan hanyalah kulit, bukan makna. Kita membanggakan keberagaman Kalbar di atas panggung, tapi tidak hidup di tengah keberagaman itu sehari-hari. Kita seperti menonton pertunjukan tentang diri kita sendiri—tanpa ikut serta di dalamnya.

 

Akhirnya, semua kembali pada satu pertanyaan sederhana namun mendalam: budaya siapa yang sedang kita rayakan? Budaya siapa yang sedang kita lupakan? Jika kita tak tahu jawabannya, barangkali kita memang sedang hidup dalam ruang yang sudah kehilangan ingatannya. Kita sedang membangun tanpa mengenang, dan mengenang tanpa membangun.

 

Pontianak hari ini mungkin tidak lagi sama seperti dulu. Tapi suara riak sungai Kapuas masih bisa terdengar—jika kita mau diam sejenak dan mendengarnya. Di balik beton dan sinyal 5G, barangkali masih ada cerita yang bisa kita gali kembali. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk membawa masa lalu ke masa depan.

 

Sebab hanya dengan mengingat, kita bisa bertahan. Dan hanya dengan bertahan, budaya akan terus berbicara—bahkan ketika kita sudah diam.***


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now