Oleh: Syamsul Kurniawan
Tiba-tiba terdengar ledakan dari arah yang tak
terduga. Lalu bunyi sirene. Lalu anak-anak berlari. Tapi bukan main petak
umpet. Mereka menghindari puing-puing. Bukan ke taman bermain, tapi ke bunker
bawah tanah. Bukan sedang belajar matematika, melainkan belajar bertahan hidup.
Dunia, tanpa kita sadari, telah menjadi sekolah darurat yang mengajarkan satu
kurikulum tetap: perang.
Dalam lanskap modern, anak-anak bukan lagi sekadar
penonton dalam layar televisi. Mereka menonton perang, mereka mengarsipkannya
dalam kepala. Mereka melihat bahwa yang kuat boleh menekan yang lemah. Bahwa
peluru lebih efektif daripada perundingan. Bahwa yang berbeda keyakinan, warna
kulit, atau cara hidupnya layak disingkirkan. Perlahan, nilai-nilai itu bukan
lagi wacana—ia menjadi doktrin sunyi yang tumbuh di kepala-kepala kecil itu.
Mereka menirukan dari jauh. Saat Gaza membara, Mosul
dibom, atau Aleppo luluh lantak, di tempat lain, anak-anak belajar bahwa agresi
itu normal. Mereka menyaksikan para pemimpin tertawa di meja makan saat
kota-kota lain terbakar. Mereka melihat tentara muda menjadi bintang video
TikTok. Mereka menyimak bagaimana konflik dikemas sebagai
"penertiban", "pembebasan", atau "operasi militer
terbatas". Kata-kata itu menjadi eufemisme yang menjinakkan kebrutalan.
Tapi anak-anak tetap paham: kekerasan itu dipelajari.
Perang yang berkecamuk di dunia saat ini menjadi
perhatian bersama, sebab perang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dunia
ini seolah-olah tak pernah kunjung terobati, di antaranya konflik antara Israel
dan Palestina di Gaza. Ironinya, saling serang antar keduanya merembet menjadi
perang yang serius dengan melibatkan negara-negara adidaya, sebutlah Amerika
dan Rusia. Oleh sebagian negara, perang malah dipandang sebagai sesuatu hal
yang biasa-biasa saja. Ada semacam pemakluman.
Seperti pandangan yang mengaitkan antara kekerasan
yang dilakukan, misalnya oleh negara adidaya, sebagai bagian dari proses mereka
dalam menekan dan menguasai sumber daya yang ada di suatu negara. Naif, karena
dalam banyak kasus, konsekuensi dari tindakan menguasai tersebut yang dilakukan
oleh mereka (baca: negara adidaya) ini bisa dibilang cukup serius. Tidak hanya
dilihat dari sudut korban kekerasan tetapi juga rasa aman dan damai di
tengah-tengah masyarakat dunia.
Dari kasus-kasus ini, tidak sedikit dari korban perang
yang mengalami luka-luka, kelumpuhan, bahkan sangat banyak yang meninggal
dunia. Jadi relevan di sini sebuah pertanyaan: “mengapa, manusia dalam sejarah
peradabannya yang seharusnya menjadikan dunia ini tempat bersemainya pikiran,
sikap, dan perilaku yang anti kekerasan, anti perang, malah dalam banyak kasus
justru mengendarai perang sebagai sarana pencapaian tujuannya?”
Akar masalah dari kejadian ini jelas perlu ditelaah,
termasuk faktor-faktor internal dan eksternal yang berkontribusi terhadap
berkembangnya pikiran, sikap, dan perilaku pelajar yang condong pada kekerasan
atau suka berperang. K. Standish dalam bukunya Cultural Violence in the
Classroom: Peace, Conflict, and Education in Israel (2015), berdasarkan
riset yang ia lakukan di Israel mengungkap bagaimana kultur sekolah dapat
menyuburkan kekerasan, seperti pembiaran terhadap kebiasaan mengejek di antara
pelajar.
Hal serupa juga diungkap oleh C. Harber dalam bukunya Schooling
as Violence: An Exploratory Overview (2002) dan L. Davies dalam
publikasinya Schools and War: Urgent Agendas for Comparative and
International Education yang dimuat di jurnal Compare (2005). Dengan
kata lain, kesukaan berperang sudah ditanamkan – secara tidak disadari – di
lembaga-lembaga pendidikan.
Feels dalam D. Hicks, dalam buku Education for
Peace: Issues, Principles, and Practice in the Classroom (1988) menyebut
bahwa akar masalahnya bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kekerasan langsung
dan kekerasan yang sifatnya tidak langsung (baca: kekerasan kultural dan
kekerasan struktural). Tawuran antarpelajar jelas bisa muncul oleh karena
alasan ini.
Mereka tak melihat bedanya antara pelajaran sejarah
dengan masa kini. Sebab yang terjadi hari ini, tak jauh dari kisah lama yang
terus diulang: peradaban runtuh karena kerakusan. Kekuasaan diperoleh dengan
menyingkirkan. Negeri ditata ulang oleh yang menang. Nilai-nilai yang dulu
diajarkan di kelas—seperti toleransi, empati, musyawarah—kalah bersaing dengan
tayangan perang di gawai mereka.
Kini kita menyaksikan generasi yang dibesarkan oleh
rekaman kehancuran. Di satu sisi, mereka tangguh. Di sisi lain, mereka trauma.
Mereka bisa menyebut nama-nama senjata lebih fasih daripada nama-nama pahlawan
perdamaian. Mereka bisa mengenali bendera-bendera kelompok bersenjata lebih
cepat daripada mengenal lambang PBB. Kita sedang menanam benih yang kelak
tumbuh sebagai hutan duri: generasi yang menganggap perang sebagai jawaban.
Dan bukankah ini berakar dari sesuatu yang lebih tua?
Kita, orang dewasa, membiarkan politik global dikuasai oleh kalkulasi
untung-rugi. Kita menyaksikan negara adikuasa menjual senjata, lalu menjadi
penengah konflik yang mereka ciptakan sendiri. Kita menyaksikan sanksi ekonomi
dijatuhkan dengan seenaknya, lalu ketika rakyat menderita, mereka dijadikan
komoditas bantuan kemanusiaan. Semua ini adalah pelajaran diam-diam bagi
anak-anak: bahwa dunia memang bekerja dengan cara brutal.
Kita membayangkan bahwa teknologi akan membuat hidup
lebih adil. Tapi nyatanya, drone tempur dikendalikan dari ribuan kilometer,
dengan operator yang minum kopi sambil menjatuhkan bom. Kita membayangkan bahwa
internet akan membuka wawasan, tapi justru mempercepat radikalisasi, memperluas
propaganda, dan merayakan kekejaman secara live. Dunia maya tak lagi maya. Ia
adalah front baru tempat anak-anak kita belajar kekerasan tanpa perlu peluru.
Bahkan di negeri yang damai sekalipun, anak-anak mulai
berbicara tentang perang. Mereka mendengar berita tentang invasi, embargo,
sabotase. Mereka mendengar bahwa musuh bisa saja tinggal di seberang pagar
rumah. Mereka belajar bahwa mencurigai itu bijak, bahwa meragukan itu cerdas.
Pendidikan damai pelan-pelan ditinggalkan. Yang tersisa adalah refleks
bertahan. Refleks mencurigai. Refleks menyerang duluan.
Homo Homini Lupus: Kebenaran yang Menyeramkan
Homo homini lupus, kata Hobbes: manusia adalah
serigala bagi sesamanya. Kalimat itu bukan sekadar adagium tua, melainkan
cerminan dari realitas yang kita saksikan hari ini. Ketika manusia merasa dunia
tidak menyediakan ruang aman bagi semua, maka relasi sosial berubah menjadi
persaingan brutal. Mereka yang tidak mampu menyerang, akan menjadi korban.
Dalam kondisi semacam itu, anak-anak tidak lagi
dibesarkan untuk menjadi manusia yang saling merangkul, tapi untuk bertahan dan
mencurigai. Mereka tumbuh dalam budaya ketakutan, menumbuhkan kepekaan terhadap
ancaman, dan kehilangan kepercayaan pada rekonsiliasi. Dunia menjadi arena
survival.
Ketika sumber daya menipis—air, energi, pangan—manusia
saling menerkam. Perang tak lagi soal ideologi. Ia tentang kelangsungan. Dan
anak-anak yang hari ini bermain di bawah bayang-bayang rudal, akan tumbuh
menjadi pemburu yang tahu betul kapan harus menggigit. Mereka melihat dunia
sebagai rimba. Dan mereka tahu, di rimba, yang tak menyerang akan diserang.
Bayangkan sebuah dunia yang sudah kekurangan
segalanya—dan yang tersisa hanyalah rasa takut. Itulah masa depan jika kita
gagal menanamkan cara berpikir damai. Jika setiap perbedaan selalu dibaca
sebagai ancaman. Jika setiap konflik dibiarkan tumbuh menjadi dendam. Jika
pendidikan hanya mengajarkan sains dan teknologi tapi lupa mengajarkan nilai.
Ketika senjata menjadi mainan, dan layar digital
menyulap kekerasan menjadi tontonan biasa, kita sedang menyaksikan bukan hanya
krisis moral, tapi juga transformasi imajinasi kolektif. Anak-anak tidak hanya
menonton perang, mereka menyerapnya, mengulangnya dalam bentuk permainan,
percakapan, bahkan mimpi. Kita seolah menyuapi mereka dengan narasi bahwa
"berperang adalah lumrah", bahwa pertempuran adalah bagian tak
terhindarkan dari pertumbuhan dan pembentukan harga diri. Mereka bermain
"tembak-tembakan" bukan sekadar karena itu menyenangkan, tapi karena
itu adalah bahasa dunia yang mereka lihat setiap hari.
Seperti yang dikemukakan oleh Erich Fromm dalam The
Anatomy of Human Destructiveness (1973), kekerasan yang berulang bisa
menjadi kebiasaan batin yang tak disadari. Ia menamai hal itu sebagai
"necrophilia" — daya tarik terhadap hal-hal yang mematikan, karena
manusia gagal membangun nilai-nilai kehidupan. Ketika institusi sosial tak
mampu menawarkan alternatif atas konflik, imajinasi anak-anak lebih cepat
belajar dari ledakan dan reruntuhan dibanding dari puisi atau doa. Mereka
belajar dari gambar, bukan dari guru.
Kita telah menciptakan sebuah dunia yang mengasuh
anak-anak dengan trauma yang dibungkus sebagai patriotisme, dan menyebutnya
ketangguhan. Di banyak sekolah di dunia, "kegiatan bela negara" atau
"literasi geopolitik" menjadi kurikulum tersembunyi yang
menormalisasi identitas atas dasar permusuhan terhadap bangsa lain. Dalam
bayang-bayang perang, nasionalisme menjadi mantra yang membenarkan kekerasan.
Anak-anak tumbuh dengan memahami "yang berbeda" sebagai ancaman,
bukan sebagai sesama manusia.
Yang lebih mencemaskan, bahkan di wilayah-wilayah yang
jauh dari konflik, budaya visual ikut menyemai kebiasaan baru: bahwa hidup
tanpa kekerasan adalah utopia yang tidak realistis. Generasi yang kini tumbuh
dengan Call of Duty, PUBG, hingga tayangan real-time tentang Gaza
atau Ukraina, menyerap pesan berulang: dunia ini bukan tempat untuk berdialog,
tetapi untuk menyerang lebih dulu agar tidak diserang. Dalam kerangka Simulacra
milik Jean Baudrillard (1994), ini adalah hiperrealitas yang menggantikan
realitas itu sendiri—perang tak lagi perlu dipahami, cukup ditiru.
Maka yang kita hadapi bukan sekadar hilangnya masa
kecil yang damai, melainkan bergesernya cara manusia membayangkan masa depan.
Sebuah dunia di mana anak-anak yang tumbuh hari ini akan menjadi pemimpin yang
menyimpan kenangan kekerasan sebagai kebijaksanaan. Mereka akan menyusun
strategi, membangun senjata, menutup mata pada perdamaian karena mereka tidak
pernah mencicipi rasanya. Masa depan tak hanya akan dipimpin oleh algoritma,
tapi juga oleh imajinasi yang sudah teracuni trauma kolektif.
Dapatkah Anak Belajar Tanpa Membenci?
Masih adakah celah bagi pendidikan untuk menanamkan
etika damai, ketika televisi, gawai, dan bahkan kebijakan negara, tak henti
menyuarakan bahasa yang sama: "mereka musuhmu, dan kamu harus siaga"?
Barangkali masih, bila sekolah—dan guru—berani melawan arus. Bila narasi-narasi
alternatif dikembangkan, bila keberanian untuk mengajarkan simpati, empati, dan
sejarah tanpa glorifikasi konflik mulai diutamakan.
Hari ini, guru dan murid di berbagai belahan dunia
tidak hanya belajar membaca dan menghitung. Mereka menyaksikan ledakan di
televisi, mereka menonton drone menjatuhkan bom, mereka membaca pujian atas
kematian yang dijustifikasi sebagai pengorbanan. Anak-anak bukan lagi sekadar
penonton: mereka meniru. Mereka menggambar tank dan roket di buku gambar
mereka. Mereka bermain "perang-perangan" bukan karena imajinasi liar,
tetapi karena itulah yang dunia ajarkan pada mereka setiap hari.
Pendidikan damai bukan sekadar teori kelas atau
seminar antarkampus. Ia harus berakar dari keteladanan, dari keberanian
menyebut kezaliman sebagai kezaliman, tak peduli siapa pelakunya. Ia harus
hadir dalam cerita-cerita yang diajarkan di kelas, dalam buku anak, dalam
tontonan remaja. Di situlah pendidikan berperan bukan hanya sebagai sistem,
tapi sebagai perlawanan simbolik terhadap dunia yang terus-menerus memamerkan
luka.
Dan barangkali tugas kita hari ini sebagai masyarakat dunia, sebagai pendidik,
orang tua, penulis, seniman, dan warga, adalah menyusun kembali kamus imajinasi
anak-anak kita. Kita butuh cerita baru yang tidak menjadikan pembunuhan sebagai
keberanian, yang tidak menjadikan perang sebagai akhir dari kebuntuan. Kita
butuh cerita di mana air mata dan maaf memiliki tempat dalam politik dan
sejarah.
Karena jika tidak, sejarah akan mengulang dirinya.
Anak-anak akan tumbuh menjadi Homo Homini Lupus yang baru. Mereka tak
akan bertanya mengapa harus berperang—karena mereka mengira itulah satu-satunya
cara manusia bertahan hidup. Dan kita akan gagal sebagai generasi yang
mewariskan kehidupan.
Maka sebelum senyap sepenuhnya diambil alih oleh
dentuman, mari ajarkan kepada anak-anak dunia satu hal yang sederhana: bahwa
damai tidak pernah datang dari ledakan, tapi dari keberanian untuk
mendengarkan.***