Iklan

Normalisasi Perang dalam Imajinasi Anak

syamsul kurniawan
Saturday, July 19, 2025
Last Updated 2025-07-20T02:26:31Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Tiba-tiba terdengar ledakan dari arah yang tak terduga. Lalu bunyi sirene. Lalu anak-anak berlari. Tapi bukan main petak umpet. Mereka menghindari puing-puing. Bukan ke taman bermain, tapi ke bunker bawah tanah. Bukan sedang belajar matematika, melainkan belajar bertahan hidup. Dunia, tanpa kita sadari, telah menjadi sekolah darurat yang mengajarkan satu kurikulum tetap: perang.

Dalam lanskap modern, anak-anak bukan lagi sekadar penonton dalam layar televisi. Mereka menonton perang, mereka mengarsipkannya dalam kepala. Mereka melihat bahwa yang kuat boleh menekan yang lemah. Bahwa peluru lebih efektif daripada perundingan. Bahwa yang berbeda keyakinan, warna kulit, atau cara hidupnya layak disingkirkan. Perlahan, nilai-nilai itu bukan lagi wacana—ia menjadi doktrin sunyi yang tumbuh di kepala-kepala kecil itu.

Mereka menirukan dari jauh. Saat Gaza membara, Mosul dibom, atau Aleppo luluh lantak, di tempat lain, anak-anak belajar bahwa agresi itu normal. Mereka menyaksikan para pemimpin tertawa di meja makan saat kota-kota lain terbakar. Mereka melihat tentara muda menjadi bintang video TikTok. Mereka menyimak bagaimana konflik dikemas sebagai "penertiban", "pembebasan", atau "operasi militer terbatas". Kata-kata itu menjadi eufemisme yang menjinakkan kebrutalan. Tapi anak-anak tetap paham: kekerasan itu dipelajari.

Perang yang berkecamuk di dunia saat ini menjadi perhatian bersama, sebab perang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dunia ini seolah-olah tak pernah kunjung terobati, di antaranya konflik antara Israel dan Palestina di Gaza. Ironinya, saling serang antar keduanya merembet menjadi perang yang serius dengan melibatkan negara-negara adidaya, sebutlah Amerika dan Rusia. Oleh sebagian negara, perang malah dipandang sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja. Ada semacam pemakluman.

Seperti pandangan yang mengaitkan antara kekerasan yang dilakukan, misalnya oleh negara adidaya, sebagai bagian dari proses mereka dalam menekan dan menguasai sumber daya yang ada di suatu negara. Naif, karena dalam banyak kasus, konsekuensi dari tindakan menguasai tersebut yang dilakukan oleh mereka (baca: negara adidaya) ini bisa dibilang cukup serius. Tidak hanya dilihat dari sudut korban kekerasan tetapi juga rasa aman dan damai di tengah-tengah masyarakat dunia.

Dari kasus-kasus ini, tidak sedikit dari korban perang yang mengalami luka-luka, kelumpuhan, bahkan sangat banyak yang meninggal dunia. Jadi relevan di sini sebuah pertanyaan: “mengapa, manusia dalam sejarah peradabannya yang seharusnya menjadikan dunia ini tempat bersemainya pikiran, sikap, dan perilaku yang anti kekerasan, anti perang, malah dalam banyak kasus justru mengendarai perang sebagai sarana pencapaian tujuannya?”

Akar masalah dari kejadian ini jelas perlu ditelaah, termasuk faktor-faktor internal dan eksternal yang berkontribusi terhadap berkembangnya pikiran, sikap, dan perilaku pelajar yang condong pada kekerasan atau suka berperang. K. Standish dalam bukunya Cultural Violence in the Classroom: Peace, Conflict, and Education in Israel (2015), berdasarkan riset yang ia lakukan di Israel mengungkap bagaimana kultur sekolah dapat menyuburkan kekerasan, seperti pembiaran terhadap kebiasaan mengejek di antara pelajar.

Hal serupa juga diungkap oleh C. Harber dalam bukunya Schooling as Violence: An Exploratory Overview (2002) dan L. Davies dalam publikasinya Schools and War: Urgent Agendas for Comparative and International Education yang dimuat di jurnal Compare (2005). Dengan kata lain, kesukaan berperang sudah ditanamkan – secara tidak disadari – di lembaga-lembaga pendidikan.

Feels dalam D. Hicks, dalam buku Education for Peace: Issues, Principles, and Practice in the Classroom (1988) menyebut bahwa akar masalahnya bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kekerasan langsung dan kekerasan yang sifatnya tidak langsung (baca: kekerasan kultural dan kekerasan struktural). Tawuran antarpelajar jelas bisa muncul oleh karena alasan ini.

Mereka tak melihat bedanya antara pelajaran sejarah dengan masa kini. Sebab yang terjadi hari ini, tak jauh dari kisah lama yang terus diulang: peradaban runtuh karena kerakusan. Kekuasaan diperoleh dengan menyingkirkan. Negeri ditata ulang oleh yang menang. Nilai-nilai yang dulu diajarkan di kelas—seperti toleransi, empati, musyawarah—kalah bersaing dengan tayangan perang di gawai mereka.

Kini kita menyaksikan generasi yang dibesarkan oleh rekaman kehancuran. Di satu sisi, mereka tangguh. Di sisi lain, mereka trauma. Mereka bisa menyebut nama-nama senjata lebih fasih daripada nama-nama pahlawan perdamaian. Mereka bisa mengenali bendera-bendera kelompok bersenjata lebih cepat daripada mengenal lambang PBB. Kita sedang menanam benih yang kelak tumbuh sebagai hutan duri: generasi yang menganggap perang sebagai jawaban.

Dan bukankah ini berakar dari sesuatu yang lebih tua? Kita, orang dewasa, membiarkan politik global dikuasai oleh kalkulasi untung-rugi. Kita menyaksikan negara adikuasa menjual senjata, lalu menjadi penengah konflik yang mereka ciptakan sendiri. Kita menyaksikan sanksi ekonomi dijatuhkan dengan seenaknya, lalu ketika rakyat menderita, mereka dijadikan komoditas bantuan kemanusiaan. Semua ini adalah pelajaran diam-diam bagi anak-anak: bahwa dunia memang bekerja dengan cara brutal.

Kita membayangkan bahwa teknologi akan membuat hidup lebih adil. Tapi nyatanya, drone tempur dikendalikan dari ribuan kilometer, dengan operator yang minum kopi sambil menjatuhkan bom. Kita membayangkan bahwa internet akan membuka wawasan, tapi justru mempercepat radikalisasi, memperluas propaganda, dan merayakan kekejaman secara live. Dunia maya tak lagi maya. Ia adalah front baru tempat anak-anak kita belajar kekerasan tanpa perlu peluru.

Bahkan di negeri yang damai sekalipun, anak-anak mulai berbicara tentang perang. Mereka mendengar berita tentang invasi, embargo, sabotase. Mereka mendengar bahwa musuh bisa saja tinggal di seberang pagar rumah. Mereka belajar bahwa mencurigai itu bijak, bahwa meragukan itu cerdas. Pendidikan damai pelan-pelan ditinggalkan. Yang tersisa adalah refleks bertahan. Refleks mencurigai. Refleks menyerang duluan.

Homo Homini Lupus: Kebenaran yang Menyeramkan

Homo homini lupus, kata Hobbes: manusia adalah serigala bagi sesamanya. Kalimat itu bukan sekadar adagium tua, melainkan cerminan dari realitas yang kita saksikan hari ini. Ketika manusia merasa dunia tidak menyediakan ruang aman bagi semua, maka relasi sosial berubah menjadi persaingan brutal. Mereka yang tidak mampu menyerang, akan menjadi korban.

Dalam kondisi semacam itu, anak-anak tidak lagi dibesarkan untuk menjadi manusia yang saling merangkul, tapi untuk bertahan dan mencurigai. Mereka tumbuh dalam budaya ketakutan, menumbuhkan kepekaan terhadap ancaman, dan kehilangan kepercayaan pada rekonsiliasi. Dunia menjadi arena survival.

Ketika sumber daya menipis—air, energi, pangan—manusia saling menerkam. Perang tak lagi soal ideologi. Ia tentang kelangsungan. Dan anak-anak yang hari ini bermain di bawah bayang-bayang rudal, akan tumbuh menjadi pemburu yang tahu betul kapan harus menggigit. Mereka melihat dunia sebagai rimba. Dan mereka tahu, di rimba, yang tak menyerang akan diserang.

Bayangkan sebuah dunia yang sudah kekurangan segalanya—dan yang tersisa hanyalah rasa takut. Itulah masa depan jika kita gagal menanamkan cara berpikir damai. Jika setiap perbedaan selalu dibaca sebagai ancaman. Jika setiap konflik dibiarkan tumbuh menjadi dendam. Jika pendidikan hanya mengajarkan sains dan teknologi tapi lupa mengajarkan nilai.

Ketika senjata menjadi mainan, dan layar digital menyulap kekerasan menjadi tontonan biasa, kita sedang menyaksikan bukan hanya krisis moral, tapi juga transformasi imajinasi kolektif. Anak-anak tidak hanya menonton perang, mereka menyerapnya, mengulangnya dalam bentuk permainan, percakapan, bahkan mimpi. Kita seolah menyuapi mereka dengan narasi bahwa "berperang adalah lumrah", bahwa pertempuran adalah bagian tak terhindarkan dari pertumbuhan dan pembentukan harga diri. Mereka bermain "tembak-tembakan" bukan sekadar karena itu menyenangkan, tapi karena itu adalah bahasa dunia yang mereka lihat setiap hari.

Seperti yang dikemukakan oleh Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness (1973), kekerasan yang berulang bisa menjadi kebiasaan batin yang tak disadari. Ia menamai hal itu sebagai "necrophilia" — daya tarik terhadap hal-hal yang mematikan, karena manusia gagal membangun nilai-nilai kehidupan. Ketika institusi sosial tak mampu menawarkan alternatif atas konflik, imajinasi anak-anak lebih cepat belajar dari ledakan dan reruntuhan dibanding dari puisi atau doa. Mereka belajar dari gambar, bukan dari guru.

Kita telah menciptakan sebuah dunia yang mengasuh anak-anak dengan trauma yang dibungkus sebagai patriotisme, dan menyebutnya ketangguhan. Di banyak sekolah di dunia, "kegiatan bela negara" atau "literasi geopolitik" menjadi kurikulum tersembunyi yang menormalisasi identitas atas dasar permusuhan terhadap bangsa lain. Dalam bayang-bayang perang, nasionalisme menjadi mantra yang membenarkan kekerasan. Anak-anak tumbuh dengan memahami "yang berbeda" sebagai ancaman, bukan sebagai sesama manusia.

Yang lebih mencemaskan, bahkan di wilayah-wilayah yang jauh dari konflik, budaya visual ikut menyemai kebiasaan baru: bahwa hidup tanpa kekerasan adalah utopia yang tidak realistis. Generasi yang kini tumbuh dengan Call of Duty, PUBG, hingga tayangan real-time tentang Gaza atau Ukraina, menyerap pesan berulang: dunia ini bukan tempat untuk berdialog, tetapi untuk menyerang lebih dulu agar tidak diserang. Dalam kerangka Simulacra milik Jean Baudrillard (1994), ini adalah hiperrealitas yang menggantikan realitas itu sendiri—perang tak lagi perlu dipahami, cukup ditiru.

Maka yang kita hadapi bukan sekadar hilangnya masa kecil yang damai, melainkan bergesernya cara manusia membayangkan masa depan. Sebuah dunia di mana anak-anak yang tumbuh hari ini akan menjadi pemimpin yang menyimpan kenangan kekerasan sebagai kebijaksanaan. Mereka akan menyusun strategi, membangun senjata, menutup mata pada perdamaian karena mereka tidak pernah mencicipi rasanya. Masa depan tak hanya akan dipimpin oleh algoritma, tapi juga oleh imajinasi yang sudah teracuni trauma kolektif.

 

Dapatkah Anak Belajar Tanpa Membenci?

Masih adakah celah bagi pendidikan untuk menanamkan etika damai, ketika televisi, gawai, dan bahkan kebijakan negara, tak henti menyuarakan bahasa yang sama: "mereka musuhmu, dan kamu harus siaga"? Barangkali masih, bila sekolah—dan guru—berani melawan arus. Bila narasi-narasi alternatif dikembangkan, bila keberanian untuk mengajarkan simpati, empati, dan sejarah tanpa glorifikasi konflik mulai diutamakan.

Hari ini, guru dan murid di berbagai belahan dunia tidak hanya belajar membaca dan menghitung. Mereka menyaksikan ledakan di televisi, mereka menonton drone menjatuhkan bom, mereka membaca pujian atas kematian yang dijustifikasi sebagai pengorbanan. Anak-anak bukan lagi sekadar penonton: mereka meniru. Mereka menggambar tank dan roket di buku gambar mereka. Mereka bermain "perang-perangan" bukan karena imajinasi liar, tetapi karena itulah yang dunia ajarkan pada mereka setiap hari.

Pendidikan damai bukan sekadar teori kelas atau seminar antarkampus. Ia harus berakar dari keteladanan, dari keberanian menyebut kezaliman sebagai kezaliman, tak peduli siapa pelakunya. Ia harus hadir dalam cerita-cerita yang diajarkan di kelas, dalam buku anak, dalam tontonan remaja. Di situlah pendidikan berperan bukan hanya sebagai sistem, tapi sebagai perlawanan simbolik terhadap dunia yang terus-menerus memamerkan luka.

Dan barangkali tugas kita hari ini sebagai masyarakat dunia, sebagai pendidik, orang tua, penulis, seniman, dan warga, adalah menyusun kembali kamus imajinasi anak-anak kita. Kita butuh cerita baru yang tidak menjadikan pembunuhan sebagai keberanian, yang tidak menjadikan perang sebagai akhir dari kebuntuan. Kita butuh cerita di mana air mata dan maaf memiliki tempat dalam politik dan sejarah.

Karena jika tidak, sejarah akan mengulang dirinya. Anak-anak akan tumbuh menjadi Homo Homini Lupus yang baru. Mereka tak akan bertanya mengapa harus berperang—karena mereka mengira itulah satu-satunya cara manusia bertahan hidup. Dan kita akan gagal sebagai generasi yang mewariskan kehidupan.

Maka sebelum senyap sepenuhnya diambil alih oleh dentuman, mari ajarkan kepada anak-anak dunia satu hal yang sederhana: bahwa damai tidak pernah datang dari ledakan, tapi dari keberanian untuk mendengarkan.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now