Oleh: Syamsul Kurniawan
Beberapa hari terakhir, udara di
Pontianak dan sekitarnya tidak lagi terasa seperti udara yang pernah saya
kenal. Matahari tampak lebih tajam, bukan hangat, dan langit menyimpan warna
kelabu yang bukan mendung. Asap menggantung, seperti debu yang enggan turun,
seperti bisikan yang terlalu sering diabaikan. Saya tetap menghidupkan motor
setiap pagi, melaju perlahan dalam kabut, dengan masker menempel di wajah,
bukan lagi karena pandemi, tapi karena langit seperti sedang sakit.
Di sepanjang jalan, kehidupan
tetap berjalan, meski seperti diatur oleh semacam kebiasaan akan bencana.
Tukang parkir tetap tersenyum meski matanya merah. Penjual sayur tetap
menjajakan dagangannya di bawah langit keruh. Seolah-olah asap ini bukan lagi ancaman,
tapi bagian dari musim.
Saya mengenakan masker bukan
karena paranoid, tapi karena udara telah menjadi sesuatu yang tak lagi netral.
Ia menyimpan sesuatu yang menyengat, mencurigakan, dan perlahan-lahan, membuat
tubuh merasa berat. Tapi hidup tetap menuntut rutinitas. Dan kita, seperti
biasa, terus melaju.
Anak-anak sekolah tetap berjalan
kaki, seragam mereka basah oleh keringat, bukan karena bermain, tapi karena
panas yang tak wajar. Mereka mengenal kabut asap seperti mengenal jadwal
pelajaran. Mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa udara bisa beracun. Tapi tak
ada guru yang mengajarkan mengapa itu bisa terjadi.
Kebakaran hutan dan lahan,
Karhutla, kembali menyelimuti Kalimantan Barat. Tiap tahun, kata itu kembali
hadir seperti perayaan yang menyedihkan. Media menyebutnya sebagai “musim
asap”. Tapi bagi kami yang menghirupnya, ini bukan musim. Ini luka yang tidak
sembuh.
***
Karhutla tak ubahnya naskah lama
yang dipentaskan kembali dengan aktor berbeda tapi dialog yang sama. Lahan
terbakar, api menyebar, pemerintah bereaksi, lalu semuanya reda hanya untuk
dimulai lagi. Apakah kita benar-benar lupa, atau kita telah belajar untuk hidup
dalam lingkaran ini?
Pontianak dan sekitarnya menjadi
halaman depan dari siklus ini. Tahun 1997, 2015, 2019, 2020—empat kebakaran
hutan terparah dalam sejarah Indonesia semuanya menyertakan Kalimantan dalam
daftarnya. Dan tiap kali itu terjadi, langit seolah ingin mengatakan sesuatu.
Tapi kita terlalu sibuk untuk mendengar.
Saya membaca laporan tentang
“respons terpadu” dari pemerintah pusat. Drone, satgas, operasi udara. Tapi
semua itu terasa seperti menambal luka yang dibiarkan bernanah. Udara tidak
bisa dipadamkan dengan konferensi pers.
Di malam yang berat, saya
mengingat Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Islam kontemporer yang menulis
tentang hubungan spiritual antara manusia dan alam. Ia menyebut bahwa krisis
lingkungan bukan sekadar krisis teknis, tapi krisis jiwa. Kita telah kehilangan
cara memandang bumi sebagai ciptaan yang suci. Alam bagi manusia modern
hanyalah objek yang boleh dibongkar, dibakar, atau dibisniskan.
Pandangan dunia modern telah
mencabut kesakralan dari pohon, tanah, sungai, dan udara. Kita menyebut hutan
“lahan kosong”. Kita menyebut rawa sebagai “potensi ekonomi”. Lalu kita
bertanya, mengapa bumi murka?
Dalam Islam, alam juga memiliki
fitrah. Ia hidup dalam keteraturan yang Tuhan tetapkan. Jika keteraturan itu
dirusak, maka keseimbangan pun ikut runtuh. Karhutla bukan hanya kehilangan
pepohonan—tapi kehilangan tatanan kosmik.
Kita tidak lagi tahu bagaimana
mencintai tanah. Kita hanya tahu bagaimana mengolahnya. Mengelola, dalam kamus
birokrasi, berarti mengubah alam menjadi angka. Hutan diubah menjadi luas
hektar yang bisa ditanami sawit. Lalu terbakar.
Asap yang menggantung di langit
Pontianak dan sekitarnya adalah bahasa. Bahasa alam yang sedang berteriak. Tapi
manusia modern adalah makhluk yang tuli terhadap bisikan halus, apalagi
teriakan sunyi.
Saya membaca ulang karya Sachiko
Murata, The Tao of Islam. Ia menulis bahwa dalam Islam segala sesuatu
memiliki pasangan—langit dan bumi, laki-laki dan perempuan, aktif dan pasif.
Alam adalah cerminan dari prinsip keseimbangan. Tapi peradaban kita telah
kehilangan yin-nya.
Kita hidup dalam sistem yang
menindih kelembutan dengan efisiensi, yang mengganti kesabaran dengan
percepatan. Alam, dalam tafsir Murata, adalah sisi feminin dari penciptaan. Ia
memelihara, bukan menuntut. Tapi manusia modern memperlakukannya sebagai objek
yang harus dikendalikan.
***
Kita membakar bukan karena tak
tahu, tapi karena merasa boleh. Kita membuka lahan dengan api, dan menyebutnya
efisiensi. Kita mengukur kerugian dengan angka, bukan dengan napas. Maka, asap
menjadi logika baru yang absurd.
Saya menyaksikan anak saya
menggambar rumah dan langit. Ia tidak menggambar asap. Saya tak tahu apakah itu
bentuk harapan atau ilusi. Tapi saya iri: ia masih punya langit dalam
imajinasi.
Generasi kita adalah generasi
yang gagal mewariskan langit. Kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam udara yang
teracuni, dalam cuaca yang tidak bersahabat. Kita mendiamkan musim kebakaran
seperti mendiamkan skandal. Karena kita tahu, nanti akan berlalu.
Tapi setiap yang berlalu, selalu
kembali. Seperti siklus mitos. Seperti dosa yang tak ditebus. Seperti Karhutla.
Pontianak dan sekitarnya hari ini
adalah ruang tempat mitologi berulang. Bukan dongeng, tapi kenyataan. Kita
adalah Sisyphus yang mendorong batu api ke puncak, hanya untuk melihatnya jatuh
kembali tahun depan.
Sisyphus dihukum karena menipu
dewa. Kita, barangkali, sedang dihukum karena menipu diri sendiri. Kita
pura-pura tak tahu, bahwa tanah telah kehilangan sabarnya. Bahwa langit telah
menyerah.
Bagi Camus, Sisyphus mungkin bisa
bahagia karena menyadari absurditas hidupnya. Tapi apakah kita punya kesadaran
seperti itu? Atau kita hanya mengganti kata “kesadaran” dengan “penyesuaian
anggaran”?
Saya menyusuri jalanan sore ini,
langit tetap kabur. Saya tetap bermasker. Udara masih berbau arang. Tapi tak
ada tanda bahwa ini akan berakhir.
Kita membakar hutan, dan kita
lupa bahwa kita tinggal di dalamnya. Kita melukai tanah, dan kita heran mengapa
hasil panen berkurang. Kita menebang pohon, dan bertanya mengapa udara jadi
panas. Kita ini siapa, kalau bukan orang-orang yang membakar diri sendiri?
Barangkali ini saatnya berhenti.
Bukan hanya berhenti membakar, tapi berhenti berpikir bahwa bumi ini milik
kita. Kita bukan tuan dari tanah. Kita tamu, yang tak tahu diri.
Jika peradaban ini ingin selamat,
maka ia harus mulai belajar meminta maaf. Bukan pada rakyat, bukan pada dunia
internasional. Tapi pada hutan, pada udara, pada langit, dan pada anak-anak
yang belum tahu betapa langit pernah benar-benar biru.***