Iklan

Karhutla: Kita yang Membakar Diri Sendiri

syamsul kurniawan
Wednesday, July 30, 2025
Last Updated 2025-07-31T05:31:07Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Beberapa hari terakhir, udara di Pontianak dan sekitarnya tidak lagi terasa seperti udara yang pernah saya kenal. Matahari tampak lebih tajam, bukan hangat, dan langit menyimpan warna kelabu yang bukan mendung. Asap menggantung, seperti debu yang enggan turun, seperti bisikan yang terlalu sering diabaikan. Saya tetap menghidupkan motor setiap pagi, melaju perlahan dalam kabut, dengan masker menempel di wajah, bukan lagi karena pandemi, tapi karena langit seperti sedang sakit.

 

Di sepanjang jalan, kehidupan tetap berjalan, meski seperti diatur oleh semacam kebiasaan akan bencana. Tukang parkir tetap tersenyum meski matanya merah. Penjual sayur tetap menjajakan dagangannya di bawah langit keruh. Seolah-olah asap ini bukan lagi ancaman, tapi bagian dari musim.

 

Saya mengenakan masker bukan karena paranoid, tapi karena udara telah menjadi sesuatu yang tak lagi netral. Ia menyimpan sesuatu yang menyengat, mencurigakan, dan perlahan-lahan, membuat tubuh merasa berat. Tapi hidup tetap menuntut rutinitas. Dan kita, seperti biasa, terus melaju.

 

Anak-anak sekolah tetap berjalan kaki, seragam mereka basah oleh keringat, bukan karena bermain, tapi karena panas yang tak wajar. Mereka mengenal kabut asap seperti mengenal jadwal pelajaran. Mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa udara bisa beracun. Tapi tak ada guru yang mengajarkan mengapa itu bisa terjadi.

 

Kebakaran hutan dan lahan, Karhutla, kembali menyelimuti Kalimantan Barat. Tiap tahun, kata itu kembali hadir seperti perayaan yang menyedihkan. Media menyebutnya sebagai “musim asap”. Tapi bagi kami yang menghirupnya, ini bukan musim. Ini luka yang tidak sembuh.

 

***

Karhutla tak ubahnya naskah lama yang dipentaskan kembali dengan aktor berbeda tapi dialog yang sama. Lahan terbakar, api menyebar, pemerintah bereaksi, lalu semuanya reda hanya untuk dimulai lagi. Apakah kita benar-benar lupa, atau kita telah belajar untuk hidup dalam lingkaran ini?

 

Pontianak dan sekitarnya menjadi halaman depan dari siklus ini. Tahun 1997, 2015, 2019, 2020—empat kebakaran hutan terparah dalam sejarah Indonesia semuanya menyertakan Kalimantan dalam daftarnya. Dan tiap kali itu terjadi, langit seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi kita terlalu sibuk untuk mendengar.

 

Saya membaca laporan tentang “respons terpadu” dari pemerintah pusat. Drone, satgas, operasi udara. Tapi semua itu terasa seperti menambal luka yang dibiarkan bernanah. Udara tidak bisa dipadamkan dengan konferensi pers.

 

Di malam yang berat, saya mengingat Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Islam kontemporer yang menulis tentang hubungan spiritual antara manusia dan alam. Ia menyebut bahwa krisis lingkungan bukan sekadar krisis teknis, tapi krisis jiwa. Kita telah kehilangan cara memandang bumi sebagai ciptaan yang suci. Alam bagi manusia modern hanyalah objek yang boleh dibongkar, dibakar, atau dibisniskan.

 

Pandangan dunia modern telah mencabut kesakralan dari pohon, tanah, sungai, dan udara. Kita menyebut hutan “lahan kosong”. Kita menyebut rawa sebagai “potensi ekonomi”. Lalu kita bertanya, mengapa bumi murka?

 

Dalam Islam, alam juga memiliki fitrah. Ia hidup dalam keteraturan yang Tuhan tetapkan. Jika keteraturan itu dirusak, maka keseimbangan pun ikut runtuh. Karhutla bukan hanya kehilangan pepohonan—tapi kehilangan tatanan kosmik.

 

Kita tidak lagi tahu bagaimana mencintai tanah. Kita hanya tahu bagaimana mengolahnya. Mengelola, dalam kamus birokrasi, berarti mengubah alam menjadi angka. Hutan diubah menjadi luas hektar yang bisa ditanami sawit. Lalu terbakar.

 

Asap yang menggantung di langit Pontianak dan sekitarnya adalah bahasa. Bahasa alam yang sedang berteriak. Tapi manusia modern adalah makhluk yang tuli terhadap bisikan halus, apalagi teriakan sunyi.

 

Saya membaca ulang karya Sachiko Murata, The Tao of Islam. Ia menulis bahwa dalam Islam segala sesuatu memiliki pasangan—langit dan bumi, laki-laki dan perempuan, aktif dan pasif. Alam adalah cerminan dari prinsip keseimbangan. Tapi peradaban kita telah kehilangan yin-nya.

 

Kita hidup dalam sistem yang menindih kelembutan dengan efisiensi, yang mengganti kesabaran dengan percepatan. Alam, dalam tafsir Murata, adalah sisi feminin dari penciptaan. Ia memelihara, bukan menuntut. Tapi manusia modern memperlakukannya sebagai objek yang harus dikendalikan.

 

***

 

Kita membakar bukan karena tak tahu, tapi karena merasa boleh. Kita membuka lahan dengan api, dan menyebutnya efisiensi. Kita mengukur kerugian dengan angka, bukan dengan napas. Maka, asap menjadi logika baru yang absurd.

 

Saya menyaksikan anak saya menggambar rumah dan langit. Ia tidak menggambar asap. Saya tak tahu apakah itu bentuk harapan atau ilusi. Tapi saya iri: ia masih punya langit dalam imajinasi.

 

Generasi kita adalah generasi yang gagal mewariskan langit. Kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam udara yang teracuni, dalam cuaca yang tidak bersahabat. Kita mendiamkan musim kebakaran seperti mendiamkan skandal. Karena kita tahu, nanti akan berlalu.

 

Tapi setiap yang berlalu, selalu kembali. Seperti siklus mitos. Seperti dosa yang tak ditebus. Seperti Karhutla.

 

Pontianak dan sekitarnya hari ini adalah ruang tempat mitologi berulang. Bukan dongeng, tapi kenyataan. Kita adalah Sisyphus yang mendorong batu api ke puncak, hanya untuk melihatnya jatuh kembali tahun depan.

 

Sisyphus dihukum karena menipu dewa. Kita, barangkali, sedang dihukum karena menipu diri sendiri. Kita pura-pura tak tahu, bahwa tanah telah kehilangan sabarnya. Bahwa langit telah menyerah.

 

Bagi Camus, Sisyphus mungkin bisa bahagia karena menyadari absurditas hidupnya. Tapi apakah kita punya kesadaran seperti itu? Atau kita hanya mengganti kata “kesadaran” dengan “penyesuaian anggaran”?

 

Saya menyusuri jalanan sore ini, langit tetap kabur. Saya tetap bermasker. Udara masih berbau arang. Tapi tak ada tanda bahwa ini akan berakhir.

 

Kita membakar hutan, dan kita lupa bahwa kita tinggal di dalamnya. Kita melukai tanah, dan kita heran mengapa hasil panen berkurang. Kita menebang pohon, dan bertanya mengapa udara jadi panas. Kita ini siapa, kalau bukan orang-orang yang membakar diri sendiri?

 

Barangkali ini saatnya berhenti. Bukan hanya berhenti membakar, tapi berhenti berpikir bahwa bumi ini milik kita. Kita bukan tuan dari tanah. Kita tamu, yang tak tahu diri.

 

Jika peradaban ini ingin selamat, maka ia harus mulai belajar meminta maaf. Bukan pada rakyat, bukan pada dunia internasional. Tapi pada hutan, pada udara, pada langit, dan pada anak-anak yang belum tahu betapa langit pernah benar-benar biru.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now