Sejak dini hari, kota ini basah. Hujan turun perlahan,
seperti sesuatu yang ingin hadir tanpa mengusik. Tidak ada guntur, tidak ada
riuh. Hanya rintik-rintik kecil yang menepi di kaca jendela dan genting rumah,
seperti menulis ulang pagi dengan tinta yang tenang.
Selama seminggu terakhir, udara di kota ini tertutup asap
kebakaran lahan. Tapi pagi ini, langit mengendur. Aroma daun basah menggantikan
bau tanah hangus. Kabut yang biasanya menggantung di langit kini meredup. Udara
membawa semacam pertanda: sesuatu sedang berubah, entah ke arah mana.
Saya duduk di dekat jendela, memandang ke luar, sambil
membuka kembali satu tulisan lama: Violence, War, and Their Impact: On
Visible and Invisible Effects of Violence oleh Johan Galtung. Tahun 2004.
Dalam keheningan pagi, kata-kata itu terasa lebih nyaring dari hujan.
Galtung menulis bahwa kekerasan tidak selalu datang dalam
bentuk letusan. Ia bisa hadir dalam bentuk yang paling biasa. Dalam sistem.
Dalam struktur. Dalam tatanan sosial yang kita anggap lumrah, padahal menyimpan
luka yang tak disadari.
Ia membaginya menjadi tiga bentuk: kekerasan langsung,
struktural, dan kultural. Kekerasan langsung kita kenal: pukulan, peluru,
pembunuhan. Kekerasan yang menyisakan darah dan berita. Tapi dua lainnya—lebih
halus, lebih licik, dan justru lebih menghancurkan.
Kekerasan struktural tinggal dalam sistem yang timpang:
pendidikan yang hanya bisa dinikmati oleh yang mampu, layanan kesehatan yang
mahal, atau transportasi publik yang menyingkirkan pejalan kaki. Ia hadir dalam
bentuk antrean panjang dan syarat administratif yang melelahkan rakyat kecil.
Kekerasan kultural lebih sunyi lagi. Ia lahir dari nilai,
dari bahasa, dari simbol-simbol yang diwariskan. Kita tertawa karena dianggap
lucu, padahal dalam lelucon itu ada penghinaan yang diwariskan turun-temurun.
Kita menyebut itu adat, tradisi, bahkan kebijaksanaan lokal—tanpa bertanya:
adilkah?
Hari ini, banyak kota berjalan dalam luka. Tapi luka itu tak
meneteskan darah. Ia tak meninggalkan lebam. Ia membentuk kebiasaan. Kota yang
tak ramah pada warganya, sistem yang membuat rakyat kecil tak berdaya, sekolah
yang menindas daya kritis siswa.
Dari balik kaca mobil, saya melihat genangan air mulai
surut. Di pinggir jalan, beberapa anak kecil berlarian di bawah rintik hujan.
Mereka tertawa, mengejar-ngejar air yang meluncur di aspal. Tapi di banyak kota
lain, pemandangan seperti itu sudah tak ada. Lapangan bermain sudah berpagar.
Ruang terbuka dipersempit. Anak-anak kehilangan tempat untuk menjadi anak-anak.
Dan kehilangan ruang bermain, juga sebuah bentuk kekerasan.
Kekerasan yang tak kita sebut, karena kita pikir itu hanya urusan tata kota.
Kekerasan tidak melulu soal darah. Ia bisa hadir sebagai
keterlambatan, pengabaian, dan ketidakpedulian. Kita tidak melihatnya, karena
sudah terlalu lama hidup bersamanya.
Bahasa pun bisa menjadi sekutu kekerasan. Kita diajarkan
untuk menyebut kemiskinan sebagai “takdir”, bukan hasil dari kebijakan. Kita
menyebut orang miskin “malas”, bukan korban dari struktur. Di sinilah kekerasan
kultural bekerja: ia menormalkan luka.
Di banyak kantor pemerintahan, terpampang slogan perdamaian.
Tapi di baliknya, konflik agraria terus berlangsung. Warga digusur dengan
alasan pembangunan. Orang kehilangan tanah karena tumpang tindih sertifikat.
Dan kita menyebutnya “pengembangan wilayah”.
Di kota besar, anak-anak dijual oleh kerabatnya sendiri demi
menyambung hidup. Tapi kota tetap sibuk, tetap sibuk, tetap sibuk. Tidak ada
waktu untuk mendengar jeritan dari lorong sempit atau gang yang terlupakan.
Saya tidak sedang membuat laporan kriminal. Saya hanya
menyebut hal-hal yang terlalu sering kita anggap biasa. Karena kekerasan
menjadi tidak kasat mata saat kita berhenti menyebutnya sebagai kekerasan.
Hujan terus turun pelan. Saya bertanya dalam hati: bagaimana
kita bisa menganggap bahwa sistem yang membuat anak harus memilih antara
sekolah dan membantu ibunya berdagang bukanlah kekerasan?
Saya menemukan jawabannya di Galtung. Dan saya belajar
merasakannya dalam tulisan-tulisan Goenawan. Luka-luka sosial itu tidak harus
dijawab dengan kemarahan. Tapi bisa kita dekati dengan kegelisahan yang jernih.
Kekuasaan bukan hanya soal pemilik jabatan. Kekuasaan hidup
dalam birokrasi, dalam kalender, dalam formulir, dalam kurikulum. Ia bersemayam
dalam hal-hal kecil yang mengatur hidup kita diam-diam.
The Turning Point
Fritjof Capra dalam The Turning Point (1982) menulis
bahwa krisis terbesar umat manusia bukanlah ekonomi, politik, atau lingkungan.
Melainkan krisis paradigma. Kita keliru dalam melihat dunia sebagai serpihan
terpisah, bukan sebagai satu jaringan yang saling terhubung.
Capra menyerukan perubahan cara berpikir. Bahwa sistem yang
adil bukan yang memberikan peluang pada segelintir, tapi yang mengakui
keterhubungan semua pihak. Bahwa kekerasan struktural tak akan pernah selesai
selama kita masih berpikir dalam sekat-sekat lama.
Dengan perspektif sistemik, kita tahu: ketidakadilan
pendidikan hari ini akan menciptakan krisis sosial esok hari. Ketimpangan ruang
kota hari ini akan meledak menjadi konflik horizontal beberapa tahun ke depan.
Saya melihat hujan mulai reda. Genangan air memantulkan
langit yang mulai terang. Tapi saya tahu: apa yang tampak bersih belum tentu
damai. Kota bisa tampak tenang, tapi menyimpan ketimpangan yang dalam.
Di gang-gang sempit, anak-anak mengaji dalam ruang yang
sesak. Mereka belajar ayat-ayat langit di tengah tanah yang makin sempit.
Lapangan telah berubah jadi tempat parkir. Ruang bermain dijadikan gudang. Kota
tak lagi memberi tempat untuk kebahagiaan yang sederhana.
Kita menyebut ini modernisasi. Tapi siapa yang jadi korban?
Kita menyebut ini efisiensi, tapi siapa yang kehilangan? Mungkin, kita terlalu
sering memakai kata-kata indah untuk menyamarkan kebijakan yang menyakiti.
Menjelang siang, langit makin terang. Tapi saya tahu:
kekerasan tidak pergi hanya karena matahari muncul. Ia hanya bersembunyi di
balik prosedur. Di balik angka. Di balik “proyek strategis nasional”.
Saya duduk diam. Bukan karena tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi karena ada satu pertanyaan yang tak kunjung saya temukan jawabannya:
bagaimana menyembuhkan luka yang tak terlihat?
Mungkin jawabannya adalah dengan mengingat. Dengan menyebut
luka itu sebagai luka. Dengan tidak menganggapnya biasa. Karena luka yang
diterima tanpa keluhan, hanya akan menambah panjang daftar kekerasan yang
diterima tanpa pertanyaan.
Kekerasan adalah apa pun yang mencegah manusia berkembang menjadi dirinya yang utuh. Maka sistem yang membungkam siswa untuk bertanya, itu kekerasan. Sistem yang membuat rakyat kecil kehilangan waktu demi satu cap di surat keterangan, itu kekerasan. Dan jika kita diam, mungkin kita sedang menjadi bagian dari kekerasan itu.
Kota-kota di Indonesia hari ini mungkin tampak lebih tenang. Dan itu bukan sekadar ilusi—melainkan harapan yang bisa dirawat. Langit yang cerah memang belum tentu menandakan luka telah sembuh, tapi ia membawa pesan bahwa hari ini bisa dimulai ulang, dengan cara yang lebih baik. Di ujung jalan, genangan air memantulkan cahaya yang lembut—cahaya yang mungkin tak abadi, tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kota ini, seperti banyak kota lain, memang pernah dan mungkin masih menyimpan kekerasan dalam bentuk yang paling sunyi. Tapi kesunyian itu bisa dipatahkan. Karena kekerasan yang terlalu lama dianggap biasa, juga bisa diakhiri—asal kita mulai peduli.***