Iklan

80 Tahun Merdeka: Sebuah Refleksi tentang Cinta, Struktur, dan Harapan

syamsul kurniawan
Tuesday, August 12, 2025
Last Updated 2025-08-12T23:50:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pagi itu, saya duduk di ruang kerja yang rapi. Segala sesuatu tersusun tertata, mencerminkan kehidupan yang ingin terkendali. Di antara tumpukan buku dan poster akademik, sebuah lagu tiba-tiba memecah keheningan. Lagu itu lembut namun menusuk, bercerita tentang dua insan yang pernah menyatu, tetapi terpisah oleh perbedaan arah kiblat dan cara berdoa.

 

Lagu tersebut bukan sekadar kisah percintaan biasa. Ia menjadi metafora hidup kita, bangsa yang merayakan kemerdekaan ke-80, namun masih bergulat dengan jurang perbedaan habitus—struktur sosial yang tak kasat mata, tetapi nyata dalam cara kita berpikir dan bertindak.

 

Kita memanggul sejarah yang berat. Dulu, kita berjalan bersama dalam satu tujuan, satu harapan, satu doa. Namun, waktu dan keadaan memisahkan kita dalam ruang sosial yang berbeda, membentuk cara pandang yang berlainan, hingga sulit kembali menyatu.

 

Kemerdekaan yang kita rayakan bukan hanya kebebasan fisik dari penjajahan, tapi juga kebebasan dari belenggu struktur lama yang membelenggu jiwa dan pikiran. Namun, 80 tahun berlalu, apakah kita benar-benar bebas? Atau justru semakin terperangkap dalam medan sosial yang membentuk kita tanpa disadari?

 

Habitus kita, warisan tak terlihat dari sejarah dan budaya, membentuk “cara berdoa” kita secara kultural. Bukan hanya ritual, tapi juga bagaimana kita memaknai kemerdekaan, keadilan, dan keberagaman. Ketika dua pihak membaca “kitab” yang sama namun dengan tafsir berbeda, ketegangan pun muncul.

 

Kita sering bicara tentang persatuan Indonesia, semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, kadang kita terjebak dalam perbedaan kiblat masing-masing. Kebhinnekaan yang ideal berubah menjadi jurang pemisah, bukan jembatan.

 

Dalam lagu itu, ada kata-kata tentang ego dan air mata. Ego yang muncul dari modal simbolik kita—kepercayaan diri, kehormatan, kelas sosial—membuat kita sulit menundukkan kepala dan mengalah demi harmoni bersama. Dalam konflik sosial Indonesia, ego ini sering terselubung dalam retorika ideologi dan identitas.

 

Kita menyaksikan bagaimana perbedaan agama, suku, dan kelas sosial sering dijadikan alasan untuk memecah belah, bukan menyatukan. Padahal, jika menilik ajaran cinta universal, kemerdekaan sejati harus melampaui itu semua—menjadi ruang terbuka bagi keberagaman, seperti padang rumput yang merangkul semua makhluk.

 

Namun realitas sosial kita belum sesederhana itu. Cinta bangsa ini diuji oleh kecenderungan menuntut keseragaman dan ketaatan pada satu kiblat yang dianggap benar. Padahal kemerdekaan berarti memberi ruang bagi beragam kiblat untuk hidup berdampingan.

 

Lagu itu berbicara tentang “berdamai dengan apa yang terjadi.” Mungkin inilah pesan tersirat bagi bangsa kita. Menerima bahwa perjalanan kemerdekaan tidak linier, penuh luka, pergeseran nilai, dan perpisahan dalam makna figuratif.

 

Memilih jalan politik yang berbeda bukanlah pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Ia adalah pengakuan atas kompleksitas habitus dan medan sosial yang membentuk kita. Dalam perbedaan itu, kita harus belajar menghargai dan membangun jembatan, meski kiblat kita tak selalu sama arah.

 

Seperti yang tersirat dalam lagu Mangu tentang cinta, bangsa ini menghadapi tantangan menjaga persatuan di tengah medan sosial yang terus berubah. Perbedaan cara berdoa—atau dalam konteks kita, perbedaan pandangan dan nilai—harus dihormati, bukan dijauhkan.

 

Di ulang tahun kemerdekaan ke-80, kita harus bertanya: apakah kemerdekaan kita sudah cukup dalam hal kebebasan berpikir dan berkeyakinan? Ataukah kita masih terperangkap dalam struktur lama yang membatasi ruang gerak?

***

 

Bourdieu (1977) mengingatkan bahwa struktur sosial bukan penjara mutlak, tapi medan perjuangan yang butuh kesadaran dan refleksi. Dalam konteks Indonesia, kita harus berani menelisik bagaimana warisan sejarah dan sosial membentuk pandangan kita tentang kebangsaan.

 

Kita tak bisa berharap perubahan tanpa mengubah cara pandang dan interaksi kita terhadap perbedaan. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita mampu menjalin dialog tanpa memaksa yang lain tunduk.

 

Musik, seperti lagu itu, cermin realitas sosial kita. Ia merekam luka, harapan, dan pergeseran yang dialami bangsa ini. Puisi hidup yang mengajarkan kita terus bertanya dan belajar.

 

Di ruang kelas, saya sering berdiskusi soal teori sosial, habitus, dan struktur. Namun, kini saya menyadari teori itu bukan sekadar konsep intelektual, melainkan pengalaman emosional yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kemerdekaan kita, selama 80 tahun, belum sepenuhnya bebas dari struktur yang membatasi. Namun kita tidak harus menyerah. Kesadaran dan tindakan kolektif adalah kunci melampaui batas lama.

 

Kita butuh keberanian mencintai Indonesia dalam segala ketidaksempurnaannya. Cinta yang menerima perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Cinta yang melampaui kiblat berbeda demi tujuan bersama.

 

Dalam dunia yang sering curiga pada perbedaan, kemerdekaan berarti menolak diskriminasi dan eksklusi. Ini tantangan terbesar kita hari ini. Bagaimana membangun ruang sosial yang inklusif dan adil?

 

Lagu itu mengajarkan bahwa niat baik saja tak cukup menyelamatkan sesuatu. Kita harus paham medan sosial dan habitus yang melingkupi. Begitu pula bangsa ini, niat baik harus disertai strategi sosial nyata.

 

Kemerdekaan adalah proses panjang, bukan peristiwa sekali jadi. Ia harus terus direnungkan dan dipertanyakan agar tak menjadi jargon kosong.

 

Refleksi ini mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya batas geografis atau politik, tapi kebebasan batin dan intelektual. Bebas dari belenggu ideologi yang menutup ruang dialog.

 

Dalam memperingati 80 tahun kemerdekaan, kita harus berani menatap dalam diri bangsa, mengakui luka dan ketidaksempurnaan, dan bertekad memperbaiki.

 

Ketika belajar dari kisah itu, kita memahami bahwa cinta dan persatuan tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari kesadaran bersama, penghormatan terhadap perbedaan.

***

 

Indonesia hari ini masih belajar berdamai dengan perbedaan internalnya. Tantangan ini sebesar perjuangan merebut kemerdekaan dulu.

 

Kita harus menciptakan medan sosial yang memungkinkan kiblat, ideologi, dan budaya berbeda hidup berdampingan dengan damai.

 

Ini tugas generasi kini dan mendatang: mengisi kemerdekaan dengan makna yang lebih dalam, lebih manusiawi.

 

Kita harus menolak fanatisme yang memecah belah dan memupuk inklusivitas.

 

Kemerdekaan berarti memberi ruang bagi suara-suara yang tersingkirkan.

 

Dengan demikian, kemerdekaan jadi milik semua, bukan kelompok tertentu.

 

Kita harus belajar menerima bahwa perubahan adalah proses sulit dan menyakitkan.

 

Namun, dalam proses itu ada harapan dan peluang untuk tumbuh bersama.

 

Mari rayakan 80 tahun kemerdekaan dengan kesadaran baru, bukan nostalgia kosong.

 

Hidupkan kembali semangat perjuangan inklusif dan humanis.

 

Semangat yang memandang kemerdekaan sebagai ruang dialog, bukan arena pertarungan.

 

Kemerdekaan adalah panggilan untuk berani berbeda dan tetap bersatu.

 

Kita belajar dari kisah itu bahwa cinta dan kemerdekaan adalah kerja keras setiap hari.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now