Oleh: Syamsul Kurniawan
Pagi itu, saya duduk di ruang
kerja yang rapi. Segala sesuatu tersusun tertata, mencerminkan kehidupan yang
ingin terkendali. Di antara tumpukan buku dan poster akademik, sebuah lagu
tiba-tiba memecah keheningan. Lagu itu lembut namun menusuk, bercerita tentang
dua insan yang pernah menyatu, tetapi terpisah oleh perbedaan arah kiblat dan
cara berdoa.
Lagu tersebut bukan sekadar kisah
percintaan biasa. Ia menjadi metafora hidup kita, bangsa yang merayakan
kemerdekaan ke-80, namun masih bergulat dengan jurang perbedaan
habitus—struktur sosial yang tak kasat mata, tetapi nyata dalam cara kita
berpikir dan bertindak.
Kita memanggul sejarah yang
berat. Dulu, kita berjalan bersama dalam satu tujuan, satu harapan, satu doa.
Namun, waktu dan keadaan memisahkan kita dalam ruang sosial yang berbeda,
membentuk cara pandang yang berlainan, hingga sulit kembali menyatu.
Kemerdekaan yang kita rayakan
bukan hanya kebebasan fisik dari penjajahan, tapi juga kebebasan dari belenggu
struktur lama yang membelenggu jiwa dan pikiran. Namun, 80 tahun berlalu,
apakah kita benar-benar bebas? Atau justru semakin terperangkap dalam medan
sosial yang membentuk kita tanpa disadari?
Habitus kita, warisan tak
terlihat dari sejarah dan budaya, membentuk “cara berdoa” kita secara kultural.
Bukan hanya ritual, tapi juga bagaimana kita memaknai kemerdekaan, keadilan,
dan keberagaman. Ketika dua pihak membaca “kitab” yang sama namun dengan tafsir
berbeda, ketegangan pun muncul.
Kita sering bicara tentang
persatuan Indonesia, semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, kadang kita terjebak
dalam perbedaan kiblat masing-masing. Kebhinnekaan yang ideal berubah menjadi
jurang pemisah, bukan jembatan.
Dalam lagu itu, ada kata-kata
tentang ego dan air mata. Ego yang muncul dari modal simbolik kita—kepercayaan
diri, kehormatan, kelas sosial—membuat kita sulit menundukkan kepala dan
mengalah demi harmoni bersama. Dalam konflik sosial Indonesia, ego ini sering
terselubung dalam retorika ideologi dan identitas.
Kita menyaksikan bagaimana
perbedaan agama, suku, dan kelas sosial sering dijadikan alasan untuk memecah
belah, bukan menyatukan. Padahal, jika menilik ajaran cinta universal,
kemerdekaan sejati harus melampaui itu semua—menjadi ruang terbuka bagi keberagaman,
seperti padang rumput yang merangkul semua makhluk.
Namun realitas sosial kita belum
sesederhana itu. Cinta bangsa ini diuji oleh kecenderungan menuntut keseragaman
dan ketaatan pada satu kiblat yang dianggap benar. Padahal kemerdekaan berarti
memberi ruang bagi beragam kiblat untuk hidup berdampingan.
Lagu itu berbicara tentang
“berdamai dengan apa yang terjadi.” Mungkin inilah pesan tersirat bagi bangsa
kita. Menerima bahwa perjalanan kemerdekaan tidak linier, penuh luka,
pergeseran nilai, dan perpisahan dalam makna figuratif.
Memilih jalan politik yang
berbeda bukanlah pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Ia adalah pengakuan atas
kompleksitas habitus dan medan sosial yang membentuk kita. Dalam perbedaan itu,
kita harus belajar menghargai dan membangun jembatan, meski kiblat kita tak
selalu sama arah.
Seperti yang tersirat dalam lagu
Mangu tentang cinta, bangsa ini menghadapi tantangan menjaga persatuan di
tengah medan sosial yang terus berubah. Perbedaan cara berdoa—atau dalam
konteks kita, perbedaan pandangan dan nilai—harus dihormati, bukan dijauhkan.
Di ulang tahun kemerdekaan ke-80,
kita harus bertanya: apakah kemerdekaan kita sudah cukup dalam hal kebebasan
berpikir dan berkeyakinan? Ataukah kita masih terperangkap dalam struktur lama
yang membatasi ruang gerak?
***
Bourdieu (1977) mengingatkan
bahwa struktur sosial bukan penjara mutlak, tapi medan perjuangan yang butuh
kesadaran dan refleksi. Dalam konteks Indonesia, kita harus berani menelisik
bagaimana warisan sejarah dan sosial membentuk pandangan kita tentang
kebangsaan.
Kita tak bisa berharap perubahan
tanpa mengubah cara pandang dan interaksi kita terhadap perbedaan. Kemerdekaan
sejati adalah ketika kita mampu menjalin dialog tanpa memaksa yang lain tunduk.
Musik, seperti lagu itu, cermin
realitas sosial kita. Ia merekam luka, harapan, dan pergeseran yang dialami
bangsa ini. Puisi hidup yang mengajarkan kita terus bertanya dan belajar.
Di ruang kelas, saya sering
berdiskusi soal teori sosial, habitus, dan struktur. Namun, kini saya menyadari
teori itu bukan sekadar konsep intelektual, melainkan pengalaman emosional yang
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kemerdekaan kita, selama 80
tahun, belum sepenuhnya bebas dari struktur yang membatasi. Namun kita tidak
harus menyerah. Kesadaran dan tindakan kolektif adalah kunci melampaui batas
lama.
Kita butuh keberanian mencintai
Indonesia dalam segala ketidaksempurnaannya. Cinta yang menerima perbedaan
sebagai kekayaan, bukan ancaman. Cinta yang melampaui kiblat berbeda demi
tujuan bersama.
Dalam dunia yang sering curiga
pada perbedaan, kemerdekaan berarti menolak diskriminasi dan eksklusi. Ini
tantangan terbesar kita hari ini. Bagaimana membangun ruang sosial yang
inklusif dan adil?
Lagu itu mengajarkan bahwa niat
baik saja tak cukup menyelamatkan sesuatu. Kita harus paham medan sosial dan
habitus yang melingkupi. Begitu pula bangsa ini, niat baik harus disertai
strategi sosial nyata.
Kemerdekaan adalah proses
panjang, bukan peristiwa sekali jadi. Ia harus terus direnungkan dan
dipertanyakan agar tak menjadi jargon kosong.
Refleksi ini mengingatkan bahwa
kemerdekaan bukan hanya batas geografis atau politik, tapi kebebasan batin dan
intelektual. Bebas dari belenggu ideologi yang menutup ruang dialog.
Dalam memperingati 80 tahun
kemerdekaan, kita harus berani menatap dalam diri bangsa, mengakui luka dan
ketidaksempurnaan, dan bertekad memperbaiki.
Ketika belajar dari kisah itu,
kita memahami bahwa cinta dan persatuan tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari
kesadaran bersama, penghormatan terhadap perbedaan.
***
Indonesia hari ini masih belajar
berdamai dengan perbedaan internalnya. Tantangan ini sebesar perjuangan merebut
kemerdekaan dulu.
Kita harus menciptakan medan
sosial yang memungkinkan kiblat, ideologi, dan budaya berbeda hidup
berdampingan dengan damai.
Ini tugas generasi kini dan
mendatang: mengisi kemerdekaan dengan makna yang lebih dalam, lebih manusiawi.
Kita harus menolak fanatisme yang
memecah belah dan memupuk inklusivitas.
Kemerdekaan berarti memberi ruang
bagi suara-suara yang tersingkirkan.
Dengan demikian, kemerdekaan jadi
milik semua, bukan kelompok tertentu.
Kita harus belajar menerima bahwa
perubahan adalah proses sulit dan menyakitkan.
Namun, dalam proses itu ada
harapan dan peluang untuk tumbuh bersama.
Mari rayakan 80 tahun kemerdekaan
dengan kesadaran baru, bukan nostalgia kosong.
Hidupkan kembali semangat
perjuangan inklusif dan humanis.
Semangat yang memandang
kemerdekaan sebagai ruang dialog, bukan arena pertarungan.
Kemerdekaan adalah panggilan
untuk berani berbeda dan tetap bersatu.
Kita belajar dari kisah itu bahwa
cinta dan kemerdekaan adalah kerja keras setiap hari.***