Oleh:
Syamsul Kurniawan
Pagi
tiba bukan oleh alarm manusiawi atau sapaan ringan, melainkan oleh detik-detik
notifikasi yang berkedip di layar ponsel. Cahaya biru itu menggantikan terang
mentari yang semestinya pertama menyapa. Kita mengangguk dan menarik napas,
lalu langsung menunduk. Seolah dunia hanya bermula ketika layar menyala, bukan
ketika mata terbuka.
Kemudian kita tidur lagi, digelayuti oleh layar yang tak kunjung padam dalam
benak. Tidur, bangun, kembali tidur—semua dibingkai oleh kebutuhan atas ponsel.
Ketika ponsel tak berada dalam genggaman, ada rasa hampa yang sulit dijelaskan.
Seakan ada bagian jiwa yang tertinggal di antara piksel.
Awalnya gadget hanyalah alat: komunikasi, informasi, hiburan. Namun kini ia
semacam teman hidup—menyetir hari, mengatur ritme tidur, bahkan merajut
identitas kita. Tanpa layar, kita kesulitan membayangkan waktu luang, ruang
kosong, atau diam yang penuh makna. Ketergantungan ini nyata, sekaligus
menyedihkan.
Yang mengkhawatirkan bukan hanya kita, tetapi lebih pada anak-anak. Mereka
tumbuh di dunia di mana layar adalah teman pertama, bahkan sebelum pengasuh
manusiawi. Mereka menyerap dari kebiasaan orang dewasa tanpa filter atau
penjelasan. Maka wajar bila perilaku awal mereka terbentuk dari cahaya buatan
ketimbang interaksi hidup.
Anak-anak adalah peniru alami, apalagi terhadap orang dewasa yang mereka
hormati. Ketika orang tua menunduk sembari mengetik, mereka juga melakukan hal
yang sama. Ketika saudara asyik bermain gim, anak kecil ikut menempel. Habitus
pertama mereka adalah layar, bukan tatapan mata atau sentuhan lembut.
Bagi banyak orang tua, gadget menjadi penyelamat sakit kepala sekunder—kendati
itu berarti mereka menyerah mengasuh sejenak. Layar dipakai sebagai penjernih
kedamaian buatan, menggantikan pelukan atau pelukan yang dialih-fungsi.
Anak-anak jadi terbiasa menerima hiburan instan, bukan hubungan yang tumbuh
secara perlahan. Itu menjadikan ikatan emosional pecah, tapi diam-diam
dibiarkan.
Gadget, menurut KBBI, adalah perangkat elektronik dengan fungsi praktis,
seperti smartphone, tablet, dan laptop. Namun pada praktiknya di rumah, istilah
ini mengaburkan yang sebenarnya: ia adalah portal ke dunia maya, hiasan
kesepian modern. Ia membentuk ruang kebersamaan yang riuh namun tanpa
kehangatan. Dunia nyata tersinggung, tenggelam oleh gemerlap piksel.
Di balik perangkat itu, tersedia hampir semua—komunikasi, berita, hiburan,
game, hingga pelarian dari kebosanan. Semua tersedia tanpa jeda, tanpa proses.
Dunia digital menyelubungi kita, menciptakan instanitas yang kemudian
memenjarakan waktu. Realitas ditangguhkan, diganti olah sinyal sekilas.
Bagi anak usia dini, layar adalah teman kesepian yang menenangkan. Ia hadir
kapan saja sesuai keinginan, tak rewel, tak menuntut aturan. Kehadiran manusia
pun terkadang dikalahkan oleh kepiawaian layar dalam merangkul perhatian. Anak
merasa aman, meski itu berarti mereka kehilangan kesempatan membentuk empati
yang lebih dari sekadar perhatian digital.
Namun seperti pisau, gadget punya dua sisi: bermanfaat jika digunakan dengan
bijak, bisa berbahaya jika dilepas kendali. Pisau bisa memotong bahan makanan,
juga bisa menoreh luka. Gadget bisa mendidik tapi juga melemahkan. Kuncinya ada
pada batasan yang harus ditegakkan dengan tegas, bukan sekadar dilewati.
Agama memberi pesan konsisten: jangan berlebihan, jangan melampaui batas.
Keseimbangan adalah pesan moral dan praktis sekaligus. Namun kita, masyarakat
modern, sering abai pada pesan itu. Kita membiarkan diri terjebak dalam
kesenangan berlebihan, termasuk dalam sprint digital yang tak punya ujung.
Di dunia digital, batas-batas itu kian kabur. Tuhan mengingatkan tidak suka
kelebihan, tapi kita terus melaju. Setiap hari, jarum waktu diisi dengan
konten, bukan kontemplasi. Anak-anak menghabiskan hari dengan layar, sementara
dunia nyata meratap pelan dari pinggir kesungguhan hidup.
Akibatnya, anak-anak kehilangan hal-hal mendasar: pelukan, tatap mata, dialog
spontan. Suara manusia tergantikan suara notifikasi. Waktu berkualitas dengan
orang tua berganti dengan waktu tunduk pada ponsel. Dan di sanalah hubungan
terasa hambar, meski tampak terhubung secara digital.
Sebenarnya ada rekomendasi: anak di bawah dua tahun sebaiknya tidak terpapar
layar sama sekali. Namun kenyataan di lapangan jauh dari prinsip itu. Di banyak
rumah, layar jadi alat pengasuhan alternatif, dipakai untuk menenangkan atau
menyenangkan. Anak yang terlalu muda sudah terpapar dunia digital, tanpa cukup
kesiapan untuk memaknai atau berpikul konsekuensinya.
Jarang kita mempertanyakan apa yang hilang ketika anak memilih layar daripada
permainan bersama orang tua. Kita puas karena anak tenang, lalu merasa lega.
Sementara ikatan emosional rapuh pun perlahan terkikis. Anak bisa tumbuh cepat
secara digital, tapi kesepian itu tidak terlihat, dan sulit disembuhkan.
Dalam jangka panjang, kecanduan layar membuka ruang malfungsi mental: gangguan
tidur karena cahaya biru, kecemasan yang tumbuh dalam kesendirian, bahkan
depresi yang datang tanpa alasan pasti. Dunia digital yang dirancang untuk
entertain bisa menjadi wabah mental yang memperingatkan. Gejala mungkin halus,
tapi dampaknya dalam.
Teknologi memang seperti candu, memicu dopamin—hormon “nyaman” yang membuat
kita ketagihan. Sekali disentuh, kita terus ingin kembali. Layar menjadi zona
nyaman permanen. Kita lalu lupa bagaimana jatuh cinta pada keheningan, lupa
merasakan kekosongan sebagai ruang refleksi, justru kita hindari.
Ketika manusia modern sudah begitu tergantung, melepaskan layar terasa
mustahil. Gadget menjadi botol yang terus diisi, mengisi kekosongan, membungkam
kebosanan. Namun justru dari situ hubungan manusiawi tergerus. Dunia maya
mengisi waktu, sementara ruang alami untuk tumbuh bersama menghilang.
Karena itu banyak orang tua menyerah. Mereka tahu penggunaan gadget berlebihan,
tapi tak punya alat untuk menghentikannya. Lelah menghadapi rengekan, takut
kehilangan waktu tenang, atau sekadar merasa tidak ada pilihan lain. Akhirnya
layar diberikan, bukan karena terbaik, melainkan karena paling simpel.
Sementara anak terus bereksperimen dalam dunia digitalnya. Tanpa sadar, mereka
diajar untuk mencari kepuasan instan, bukan proses. Mereka terbiasa hasil
cepat, tidak sabar mencoba pelan. Itulah habitus baru—kecenderungan batin yang
terbentuk oleh lingkungan digital, yang membentuk cara mereka melihat dan
bertindak.
Menurut Pierre Bourdieu (1977), habitus adalah disposisi terinternalisasi sejak
dini yang membentuk persepsi dan tindakan sehari-hari. Pada konteks ini,
anak-anak tumbuh dengan habitus digital—prilaku dan pola pikir yang otomatis
merespon layar, bukan hewan peliharaan manusia. Habitus ini lahir dari
pengasuhan dan lingkungan sosial, bertahan lama, bahkan sulit diubah.
Tak hanya habitus, modal sosial pun terpengaruh. Modal sosial adalah jaringan
relasi dan kepercayaan yang mendukung individu. Jika anak lebih mengenal layar
daripada orang tua, maka modal sosial yang seharusnya mendukung tumbuh kembang
tergantikan oleh koneksi digital semu. Jalinan nyata mitra emosional menjadi
tanya.
Bourdieu (1977) menyebut arena (atau medan) sebagai ruang sosial di mana
praktik dan perebutan modal berlangsung. Rumah seharusnya jadi arena
pengasuhan, tempat anak memperoleh habitus dan modal sosial. Namun layar telah
merebut arena itu. Anak tumbuh dalam medan di mana perhatian dialihkan ke
perangkat, bukan dialog. Arena manusiawi pun berubah menjadi arena digital.
Ketika habitus digital membentuk pola, itu menciptakan praktik sosial yang
sulit dibatalkan. Anak tidak tahu bahwa ia dibentuk; ia hanya tahu bahwa layar
adalah jendela ke dunia. Praktik ini berlangsung berulang, menjadi stabil, dan
jarang disadari. Dan ketika ia tumbuh, pola itu menjadi bagian dirinya, tanpa
ruang untuk alternatif.
Membayangkan
Kecemasan Masa Depan
Kini marilah kita membayangkan masa depan. Jika anak-anak dibesarkan oleh layar
tanpa narasi manusiawi, seperti apa mereka nanti? Apakah kelak mereka menjadi
generasi cerdas teknologi, atau justru generasi yang disorientasi, merasa
terasing meski terkoneksi?
Generasi “emas” yang sering kita impikan bisa bergeser menjadi generasi
“cemas”. Mereka mungkin lihai berinteraksi di dunia maya, tetapi rapuh dalam
hubungan nyata. Mereka bisa cemerlang dengan gadget, namun cemas dalam relasi
manusia. Disforia, rasa tidak puas terus-menerus, bisa menjadi kode dominan
hidup mereka.
Fenomena ini tak sekadar imajinasi. Anak-anak kini lebih fasih menggeser layar
daripada menulis tangan. Mereka ekspresif lewat emoji, acuh lewat tatap muka.
Kreativitas dibentuk berdasarkan algoritma, bukan dialog. Kecemasan dan hampa
mengintai di balik tawa digital.
Di sana komunikasi terasa cepat, tapi dangkal. Ekspresi disingkat, simbol
menggantikan kata. Dialog berganti notifikasi. Dalam jangka panjang, kemampuan
memahami dan merawat kedalaman emosi bisa menguap. Mereka tumbuh dalam dunia
yang terlihat real, tapi sering terasa tipis.
Padahal manusia ditakdirkan untuk hadir: merasakan aroma, menyentuh tangan,
mendengar tawa. Komunikasi manusia jauh lebih dari data. Namun jika anak tumbuh
hanya dengan perangkat, ia mungkin kehilangan jejak keintiman. Dunia nyata
menjadi asing, dan layar menjadi tempat pelarian utama.
Habitus digital yang terbentuk sejak dini menjadi pagar tak terlihat. Anak
bergerak otomatis, tanpa disadari. Bourdieu (1977) menyebut habitus sebagai
struktur mental yang tertanam dan mengorganisasi praktik sosial. Generasi yang
telah dibentuk demikian tampak normal—padahal ia melewatkan proses pembentukan
integritas emosional.
Arena sosial yang ideal untuk tumbuh kembang—keluarga, sekolah,
komunitas—diambil alih layar. Dalam medan yang direbut digital, modal sosial
asli menjadi tergerus. Jaringan sosial tidak lagi dibangun di atas kepercayaan
dan tatap muka, melainkan follow dan like. Relasi terasa banyak, tetapi rapuh.
Masa depan terbentuk oleh kebiasaan saat ini. Bila hari ini yang diwariskan
adalah candu digital, maka yang dipanen nanti bisa jadi kegelisahan massal.
Generasi yang tampak berhasil secara teknologi bisa bergumul dalam kesepian
vertikal. Kita sedang membangun menara emas di atas fondasi cemas.
Teknologi adalah alat yang luar biasa, tetapi tetap alat. Ia harus diarahkan,
dibatasi, dan ditempatkan di tempat seharusnya. Tanpa itu, generasi emas
hanyalah slogan kosong. Tanpa keseimbangan, kita tak melatih agen masa depan,
melainkan pembawa kecemasan sistemik.
Mereka mungkin tumbuh cepat secara digital, tetapi kosong dalam keheningan.
Diajak terhubung setiap saat, tetapi kehilangan rasa in. Mereka mudah mencerna
informasi, tetapi kesulitan menumbuhkan makna. Dunia digital memberi banyak,
tapi jarang memberi keteguhan.
Dalam Madness and Civilization (1964), Foucault mengurai bagaimana
masyarakat dulu mengasingkan yang dianggap gila—menyepakati bahwa “madness”
adalah margin yang mesti dikurung. Kini, layar bisa menjadi batas yang menjerat
generasi: bukan dengan jeruji, tetapi dengan ketidaksadaran kolektif. Dysphoria
menjadi istilah yang tepat: generasi yang tampak lengkap justru lemah, karena
mereka mencemaskan masa depan mereka sendiri. Dan kita harus bertanya—apakah
kita rela menyaksikannya?.***