Iklan

Protes

syamsul kurniawan
Wednesday, August 20, 2025
Last Updated 2025-08-21T00:34:23Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Hujan rintik jatuh di Pontianak siang ini. Di sebuah warung kopi, di antara kepulan asap rokok dan cangkir hitam, seseorang menyebut nama Pati. Sebuah kabupaten jauh di Jawa Tengah, tapi sore itu ia hadir begitu dekat—melalui layar ponsel, melalui cerita, melalui amarah yang menular.

 

Di alun-alun kota kecil itu, ribuan orang berkumpul. Mereka tidak membawa instrumen musik, tidak ada orkestra resmi. Tapi yang terdengar adalah simfoni kemarahan. Mereka meminta Bupati mereka, Sudewo, mundur.

 

Sebuah kebijakan pajak—PBB-P2 naik hingga 250 persen—memantik api. Angka yang bagi pejabat hanya deretan digit di kertas, bagi rakyat adalah tamparan. Harga kesetiaan pada negara dinaikkan sepihak, tanpa ajakan duduk bersama.

 

Seperti biasa, pemerintah percaya bahwa pemberitahuan cukup menggantikan dialog. Padahal, manusia bukan mesin kasir yang menerima angka tanpa tanya.

 

Massa membengkak mendekati 100 ribu. Sebuah angka yang bahkan partai politik kerap gagal raih dalam kampanye. Tetapi bagi pejabat, itu hanyalah “kerumunan.” Sesuatu yang bisa disapu bersih dengan pengeras suara.

 

Namun protes di Pati bukan sekadar peristiwa lokal. Ia adalah gema dari sejarah panjang umat manusia: sejarah melawan, menggugat, bersuara.

 

Kitab suci sendiri mencatat, malaikat pernah protes. Saat Tuhan hendak menciptakan Adam, mereka bertanya: mengapa harus makhluk yang kelak akan menumpahkan darah di bumi? (QS. Al-Baqarah: 30). Protes pertama dalam sejarah manusia bukan di jalanan, tapi di hadapan Tuhan.

 

Protes, sejak awal, bukan tanda kebencian. Ia adalah tanda keprihatinan. Malaikat, bahkan, memprotes demi kebaikan. Dan Tuhan, alih-alih murka, menjawab dengan penjelasan.

 

Dunia, dalam perjalanannya, selalu mengenal protes. Dari jalanan Paris tahun 1968, dari Washington D.C. ketika jutaan menolak perang Irak, hingga unjuk rasa besar di India menolak diskriminasi.

 

Di HowStuffWorks tercatat, beberapa protes terbesar di dunia mampu mengumpulkan jutaan manusia. Mereka berdiri bersama, bukan karena satu organisasi, melainkan satu rasa: ada sesuatu yang tak beres, ada ketidakadilan yang tak bisa ditelan diam.

 

Indonesia pun tak asing. Dari demonstrasi mahasiswa 1966, Malari 1974, Reformasi 1998, hingga protes-protes kecil di jalan desa yang tak pernah masuk headline.

 

Kini, tahun 2025, Pati menambahkan dirinya ke dalam daftar itu. Satu titik di peta panjang sejarah protes negeri ini.

 

Dulu, protes berwujud sindiran, tembang rakyat, atau lakon wayang. Kini, ia hadir terang-benderang: spanduk, video viral, drone di udara.

 

Sartono Kartodirdjo dalam buku Protest Movements in Rural Java (1973) pernah menulis, gerakan rakyat desa selalu ada—hanya bentuknya yang berubah. Api tetap api, meski wadahnya berbeda.

 

Internet kini membuat bara kecil bisa jadi kobaran besar dalam hitungan jam. Kemarahan desa bisa menjadi trending topic nasional.

 

Hari ini kita mungkin akan menatap Pati dengan getir: beginilah nasib ruang publik yang tak dirawat. Tempat di mana rakyat harusnya bicara setara, justru dipersempit jadi podium satu arah.

 

Pendopo bupati jadi panggung tunggal. Mikrofon hanya satu. Rakyat diberi kursi plastik, tapi tidak giliran bicara. Dialog dipentaskan, tapi seperti seminar dengan pembicara tunggal.

 

Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1991) menulis: ruang publik butuh keterbukaan, kebebasan bicara, kesetaraan argumen. Tapi di sini, akses dibatasi izin RT, kebebasan bicara sebatas status Facebook, dan argumen selalu kalah oleh tanda tangan pejabat.

 

Maka, jalanan menjadi plan B. Jika ruang rapat tertutup, rakyat memilih aspal. Jalan raya lebih demokratis: siapa saja boleh ikut, tanpa undangan.

 

Protes bukanlah virus yang harus diisolasi. Ia termometer: penanda bahwa suhu kepercayaan sedang tinggi. Abaikan ia, termometer pecah.

 

Kita pernah belajar tahun 1998: suara rakyat bisa menjatuhkan presiden. Tapi pelajaran lain juga hadir: suara itu sering baru didengar setelah pagar tumbang.

 

Menjadi Gelembung

 

Protes, seperti gelembung udara dalam air, selalu mencari jalan keluar. Ditahan di bawah, ia naik, menabrak permukaan, dan pecah dengan suara nyaring.

 

Pemerintah yang menutup telinga sesungguhnya hanya menahan gelembung itu sementara. Ia akan mencari celah lain.

 

Di masa lalu, gelembung itu meledak dalam bentuk kerusuhan. Kini, ia meledak dalam bentuk meme, video viral, atau tagar. Bentuknya berubah, tapi sifatnya sama: ingin terdengar.

 

Media sosial memperbesar suara, tapi tidak selalu membuka hati. Ia bisa menjadi pengeras kemarahan, tetapi jarang memberi ruang mendengar.

 

Pemerintah yang pura-pura tak melihat protes hanya menjadikannya konten. Dan konten, apalagi yang dramatis, sukar dilupakan.

 

Demokrasi semestinya tarian bersama. Tapi kita lebih suka menari sendiri, dengan rakyat sebagai penonton. Sampai penonton itu naik panggung, dan tari berubah jadi teriakan.

 

Protes Pati hanyalah satu rumah yang jendelanya diketuk keras-keras. Jika suara tak masuk lewat pintu depan, ia akan menerobos dari jendela.

 

Dulu, satu desa bisa menyimpan amarah bertahun-tahun. Sekarang, satu unggahan memindahkan amarah itu ke desa lain dalam hitungan menit.

 

Meme sering lebih memalukan daripada headline. Dan dalam era ini, pejabat yang abai bisa lebih cepat tumbang oleh satire daripada kritik akademis.

 

Habermas, jika duduk di warung kopi Pontianak hari ini, mungkin akan berkata: ruang publik bukanlah alun-alun. Ia adalah kesediaan mendengar sebelum suara berubah jadi pekik.

 

Sayangnya, kita sering menunggu suara itu pecah dulu. Seperti menunggu gelembung meletus, padahal bisa dicegah dengan percakapan sederhana.

 

Rakyat tidak minta semua dikabulkan. Mereka hanya minta proses yang jujur. Tidak sulit, kecuali bila keterbukaan dianggap ancaman.

 

Maka, protes Pati adalah alarm. Suaranya nyaring di alun-alun, tapi gaungnya sampai ke Pontianak, ke Papua, ke Jakarta.

 

Bangsa tidak bubar karena perang. Ia bubar karena kehilangan alasan saling percaya. Dan protes, sekeras apa pun, sebenarnya hanyalah permintaan sederhana: jangan biarkan kepercayaan itu mati.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now