Oleh: Syamsul Kurniawan
Hujan rintik jatuh di Pontianak
siang ini. Di sebuah warung kopi, di antara kepulan asap rokok dan cangkir
hitam, seseorang menyebut nama Pati. Sebuah kabupaten jauh di Jawa Tengah, tapi
sore itu ia hadir begitu dekat—melalui layar ponsel, melalui cerita, melalui
amarah yang menular.
Di alun-alun kota kecil itu,
ribuan orang berkumpul. Mereka tidak membawa instrumen musik, tidak ada
orkestra resmi. Tapi yang terdengar adalah simfoni kemarahan. Mereka meminta
Bupati mereka, Sudewo, mundur.
Sebuah kebijakan pajak—PBB-P2
naik hingga 250 persen—memantik api. Angka yang bagi pejabat hanya deretan
digit di kertas, bagi rakyat adalah tamparan. Harga kesetiaan pada negara
dinaikkan sepihak, tanpa ajakan duduk bersama.
Seperti biasa, pemerintah percaya
bahwa pemberitahuan cukup menggantikan dialog. Padahal, manusia bukan mesin
kasir yang menerima angka tanpa tanya.
Massa membengkak mendekati 100
ribu. Sebuah angka yang bahkan partai politik kerap gagal raih dalam kampanye.
Tetapi bagi pejabat, itu hanyalah “kerumunan.” Sesuatu yang bisa disapu bersih
dengan pengeras suara.
Namun protes di Pati bukan
sekadar peristiwa lokal. Ia adalah gema dari sejarah panjang umat manusia:
sejarah melawan, menggugat, bersuara.
Kitab suci sendiri mencatat,
malaikat pernah protes. Saat Tuhan hendak menciptakan Adam, mereka bertanya:
mengapa harus makhluk yang kelak akan menumpahkan darah di bumi? (QS.
Al-Baqarah: 30). Protes pertama dalam sejarah manusia bukan di jalanan, tapi di
hadapan Tuhan.
Protes, sejak awal, bukan tanda
kebencian. Ia adalah tanda keprihatinan. Malaikat, bahkan, memprotes demi
kebaikan. Dan Tuhan, alih-alih murka, menjawab dengan penjelasan.
Dunia, dalam perjalanannya,
selalu mengenal protes. Dari jalanan Paris tahun 1968, dari Washington D.C.
ketika jutaan menolak perang Irak, hingga unjuk rasa besar di India menolak
diskriminasi.
Di HowStuffWorks tercatat,
beberapa protes terbesar di dunia mampu mengumpulkan jutaan manusia. Mereka
berdiri bersama, bukan karena satu organisasi, melainkan satu rasa: ada sesuatu
yang tak beres, ada ketidakadilan yang tak bisa ditelan diam.
Indonesia pun tak asing. Dari
demonstrasi mahasiswa 1966, Malari 1974, Reformasi 1998, hingga protes-protes
kecil di jalan desa yang tak pernah masuk headline.
Kini, tahun 2025, Pati
menambahkan dirinya ke dalam daftar itu. Satu titik di peta panjang sejarah
protes negeri ini.
Dulu, protes berwujud sindiran,
tembang rakyat, atau lakon wayang. Kini, ia hadir terang-benderang: spanduk,
video viral, drone di udara.
Sartono Kartodirdjo dalam buku Protest
Movements in Rural Java (1973) pernah menulis, gerakan rakyat desa selalu
ada—hanya bentuknya yang berubah. Api tetap api, meski wadahnya berbeda.
Internet kini membuat bara kecil
bisa jadi kobaran besar dalam hitungan jam. Kemarahan desa bisa menjadi
trending topic nasional.
Hari ini kita mungkin akan
menatap Pati dengan getir: beginilah nasib ruang publik yang tak dirawat.
Tempat di mana rakyat harusnya bicara setara, justru dipersempit jadi podium
satu arah.
Pendopo bupati jadi panggung
tunggal. Mikrofon hanya satu. Rakyat diberi kursi plastik, tapi tidak giliran
bicara. Dialog dipentaskan, tapi seperti seminar dengan pembicara tunggal.
Habermas dalam bukunya The
Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of
Bourgeois Society (1991) menulis: ruang publik butuh keterbukaan, kebebasan
bicara, kesetaraan argumen. Tapi di sini, akses dibatasi izin RT, kebebasan
bicara sebatas status Facebook, dan argumen selalu kalah oleh tanda tangan
pejabat.
Maka, jalanan menjadi plan B.
Jika ruang rapat tertutup, rakyat memilih aspal. Jalan raya lebih demokratis:
siapa saja boleh ikut, tanpa undangan.
Protes bukanlah virus yang harus
diisolasi. Ia termometer: penanda bahwa suhu kepercayaan sedang tinggi. Abaikan
ia, termometer pecah.
Kita pernah belajar tahun 1998:
suara rakyat bisa menjatuhkan presiden. Tapi pelajaran lain juga hadir: suara
itu sering baru didengar setelah pagar tumbang.
Menjadi Gelembung
Protes, seperti gelembung udara
dalam air, selalu mencari jalan keluar. Ditahan di bawah, ia naik, menabrak
permukaan, dan pecah dengan suara nyaring.
Pemerintah yang menutup telinga
sesungguhnya hanya menahan gelembung itu sementara. Ia akan mencari celah lain.
Di masa lalu, gelembung itu
meledak dalam bentuk kerusuhan. Kini, ia meledak dalam bentuk meme, video
viral, atau tagar. Bentuknya berubah, tapi sifatnya sama: ingin terdengar.
Media sosial memperbesar suara,
tapi tidak selalu membuka hati. Ia bisa menjadi pengeras kemarahan, tetapi
jarang memberi ruang mendengar.
Pemerintah yang pura-pura tak
melihat protes hanya menjadikannya konten. Dan konten, apalagi yang dramatis,
sukar dilupakan.
Demokrasi semestinya tarian
bersama. Tapi kita lebih suka menari sendiri, dengan rakyat sebagai penonton.
Sampai penonton itu naik panggung, dan tari berubah jadi teriakan.
Protes Pati hanyalah satu rumah
yang jendelanya diketuk keras-keras. Jika suara tak masuk lewat pintu depan, ia
akan menerobos dari jendela.
Dulu, satu desa bisa menyimpan
amarah bertahun-tahun. Sekarang, satu unggahan memindahkan amarah itu ke desa
lain dalam hitungan menit.
Meme sering lebih memalukan
daripada headline. Dan dalam era ini, pejabat yang abai bisa lebih cepat
tumbang oleh satire daripada kritik akademis.
Habermas, jika duduk di warung
kopi Pontianak hari ini, mungkin akan berkata: ruang publik bukanlah alun-alun.
Ia adalah kesediaan mendengar sebelum suara berubah jadi pekik.
Sayangnya, kita sering menunggu
suara itu pecah dulu. Seperti menunggu gelembung meletus, padahal bisa dicegah
dengan percakapan sederhana.
Rakyat tidak minta semua
dikabulkan. Mereka hanya minta proses yang jujur. Tidak sulit, kecuali bila
keterbukaan dianggap ancaman.
Maka, protes Pati adalah alarm.
Suaranya nyaring di alun-alun, tapi gaungnya sampai ke Pontianak, ke Papua, ke
Jakarta.
Bangsa tidak bubar karena perang.
Ia bubar karena kehilangan alasan saling percaya. Dan protes, sekeras apa pun,
sebenarnya hanyalah permintaan sederhana: jangan biarkan kepercayaan itu mati.***