Oleh: Syamsul
Kurniawan
Di sebuah kafe
kecil di Pontianak, saya duduk termenung, membaca artikel Amina Yaqin berjudul Islamic
Barbie: The Politics of Gender and Performativity (Fashion Theory, Vol. 11,
Issue 2/3, 2007, hlm. 173-188). Di luar, panas membakar jalanan, tetapi di
dalam kafe ini, udara sejuk memberi ruang bagi saya untuk tenggelam dalam dunia
Razanne, boneka Muslim yang menjadi simbol pendidikan moral dan identitas.
Setiap halaman
yang saya baca menimbulkan rasa ingin tahu yang dalam. Bagaimana sebuah mainan
bisa menampung sejarah, politik, dan budaya? Bagaimana ia bisa menjadi medium
untuk menegaskan identitas minoritas di tengah dominasi budaya global?
Razanne lahir
dari tangan Noor dan Ammar Saadeh di Amerika Serikat. Mereka menciptakan boneka
ini sebagai respons terhadap kurangnya representasi Muslim dalam mainan global.
Dari jilbab yang dikenakannya hingga karpet salat yang dibawanya, setiap detail
merupakan pesan moral dan simbol identitas.
Saat membaca,
saya membayangkan anak-anak Muslim di Barat bermain dengan Razanne, belajar
menjadi Muslim yang sopan dan modern. Boneka ini bukan sekadar mainan; ia
adalah medium pendidikan moral dan budaya yang lembut, namun kuat.
Dalam konteks
Barbie yang global, Razanne hadir sebagai alternatif. Ia menghapus unsur
seksualisasi dan hedonisme yang melekat pada Barbie, menegaskan bahwa identitas
dan kesopanan bisa tampil seiring dengan gaya modern.
Setiap
gerakan, setiap aksesoris, dan setiap cerita yang menyertai Razanne merupakan
performativitas identitas. Seperti Judith Butler tulis, gender dan identitas
bukan substansi tetap, tetapi sesuatu yang diulang dan dipertunjukkan, dan
Razanne mempraktikkan hal itu dalam bentuk yang sederhana dan anak-anak pahami.
Saya menyadari
bahwa boneka ini bukan hanya tentang anak-anak. Ia juga berbicara pada orang
tua, pada komunitas Muslim diaspora, pada masyarakat yang kerap memandang
mereka sebagai “yang lain”. Ia adalah medium negosiasi budaya.
Sambil
menyesap teh, saya memikirkan bahwa minoritas selalu mencari ruang untuk
menegaskan diri. Razanne menjadi salah satu cara mereka melakukan itu, melalui
medium yang lembut, ramah, dan edukatif.
Boneka ini
juga hadir dalam berbagai variasi: dokter, guru, atau anak-anak yang sedang
belajar. Variasi itu menunjukkan bahwa perempuan Muslim bisa menempati berbagai
peran, asalkan identitas dan moral tetap dijaga.
Di tangan
anak-anak, Razanne mengajarkan keseimbangan antara kesopanan, moral, dan
modernitas. Ia menjadi perantara antara dunia tradisi dan dunia modern yang
kerap bertentangan.
Dari Amerika
hingga Timur Tengah, boneka Muslim lain muncul: Fulla di Suriah, Dara dan Sara
di Iran. Semua lahir dari kebutuhan untuk membentuk identitas Muslim yang
terlihat, dapat disentuh, dan dimainkan oleh anak-anak.
Fulla,
misalnya, menutup tubuh dari kepala hingga kaki, tetapi tetap fashionable. Ia
menegaskan bahwa agama dan budaya bisa tampil elegan, tanpa kehilangan daya
tarik visual.
Saya
membayangkan dunia di mana anak-anak Muslim memiliki mainan yang mencerminkan
identitas mereka. Sebuah dunia di mana identitas bukan sesuatu yang dipaksakan,
melainkan sesuatu yang bisa dirayakan melalui permainan.
Konsumerisme,
Politik, dan Representasi Minoritas 
Pemasaran
Razanne memanfaatkan konsumerisme global; minoritas membeli mainan ini untuk
menegaskan nilai, identitas, dan keberadaan mereka di tengah masyarakat yang
luas.
Pasca 9/11,
tekanan terhadap komunitas Muslim meningkat. Media Barat sering menampilkan
Muslim sebagai stereotipe, dan boneka seperti Razanne hadir sebagai bentuk
negosiasi budaya. Ia adalah medium politik lembut yang menyatukan agama,
budaya, dan ekonomi konsumen.
Artikel
menyoroti gender performativity. Dalam dunia Razanne, anak-anak belajar tentang
peran perempuan Muslim yang sopan, berpendidikan, dan aktif, melalui mainan
yang tampaknya sederhana, namun sarat dengan pesan moral.
Konsumerisme
global memberi Razanne ruang untuk menegaskan identitas, tetapi juga
menghadirkan paradoks. Ia bernegosiasi dengan dominasi budaya global, namun
tetap berada dalam logika pasar yang sama.
Saya menyesap
teh, menyadari bahwa boneka ini adalah produk budaya yang mampu melintasi batas
negara dan budaya. Ia tidak hanya dijual, tetapi juga menjadi simbol politik,
representasi minoritas, dan pendidikan moral.
Barbie global
menekankan fantasi seksual, tubuh ideal, dan kemewahan. Razanne sebaliknya: ia
mengajarkan kesopanan, pendidikan, dan moralitas. Paradoks ini membuat boneka
ini menjadi alat pendidikan sekaligus kritik sosial.
Boneka ini
hadir sebagai pernyataan anti-hegemonik, tetapi tetap memanfaatkan mekanisme
konsumerisme untuk menjangkau publik. Ia menunjukkan bahwa minoritas dapat
menginternalisasi dan menegosiasikan identitas melalui media yang diterima
masyarakat luas.
Dalam konteks
diaspora, Noorart menggunakan internet untuk membangun jaringan transnasional.
Anak-anak belajar menjadi bagian dari komunitas global melalui permainan yang
sederhana tetapi edukatif.
Media Barat
menampilkan Razanne sebagai “Islamic Barbie” atau “Burkha Barbie”. Label itu
menegaskan stereotipe, tetapi juga membuka diskusi tentang representasi
minoritas di ranah publik.
Kontroversi
jilbab di Inggris, misalnya kasus Shabina Begum, menunjukkan bahwa pakaian
menjadi simbol politik. Razanne, dalam konteks ini, menjadi media negosiasi
identitas dan pendidikan moral yang halus.
Gender,
politik, dan pendidikan moral menjadi benang merah dalam artikel ini. Razanne
mengajarkan anak-anak tentang batasan, kebebasan, dan tanggung jawab, sekaligus
menegaskan keberadaan minoritas dalam dunia global.
Saya menatap
kafe yang sejuk, membayangkan anak-anak memegang Razanne dan belajar tentang
identitas mereka. Sebuah pengalaman edukatif yang sederhana, namun sarat makna
dan kompleksitas budaya.
Michel de
Certeau pernah menulis tentang praktik sehari-hari sebagai bentuk resistensi.
Razanne adalah contoh literal: ia mengajarkan anak-anak minoritas cara
menegosiasikan identitas mereka dalam konteks dominasi budaya global.
Setiap
aksesoris, cerita, dan aktivitas Razanne mengajarkan kesopanan dan moralitas.
Ia adalah alat edukasi yang memadukan hiburan, nilai agama, dan pendidikan
karakter.
Dalam
perspektif postkolonial, Razanne menjadi simbol resistensi halus. Minoritas
menggunakan medium global untuk menegaskan eksistensi mereka, mengubah persepsi
publik melalui medium yang bisa diterima semua orang.
Saya tersenyum
pahit membayangkan paradoks ini. Sebuah boneka bisa menjadi medium resistensi,
tapi tetap berada dalam sistem konsumer yang sama yang mendominasi dunia.
Anak-anak
belajar dari Razanne bahwa identitas bukan statis. Ia bisa dinegosiasikan,
dipertunjukkan, dan diinternalisasi melalui aktivitas yang menyenangkan dan
edukatif.
Noorart
memanfaatkan medium hiburan untuk pendidikan. Buku mewarnai, cerita interaktif,
dan boneka itu sendiri membentuk identitas Muslim yang sadar budaya, sopan, dan
modern.
Razanne
menjadi cermin kompleksitas: minoritas menegosiasikan keberadaan mereka,
masyarakat global menuntut representasi, dan pasar menuntut konsumsi. Semua
lapisan itu terekam dalam satu boneka.
Saya menutup
artikel, melihat luar kafe yang panas dan ramai. Dunia di luar mungkin acuh,
tetapi di tangan anak-anak, Razanne membentuk ruang publik mini, sebuah
laboratorium moral dan identitas.
Melalui
fashion, cerita, dan aktivitas, Razanne mengajarkan bahwa identitas Muslim
dapat hidup harmonis dalam konsumerisme global. Ia menantang stereotipe,
sekaligus menegaskan nilai dan moral yang diajarkan orang tua.
Saat saya
meninggalkan kafe itu, saya menyadari satu hal: identitas bukan sesuatu yang
diam. Ia terus dipertunjukkan, dinegosiasikan, dan diperjuangkan—dalam boneka,
dalam permainan anak-anak, dan dalam kehidupan sehari-hari yang panas di luar
sana.***


