Iklan

Islamic Barbie: Boneka, Identitas, dan Dunia yang Berubah

syamsul kurniawan
Monday, August 18, 2025
Last Updated 2025-08-18T11:26:12Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di sebuah kafe kecil di Pontianak, saya duduk termenung, membaca artikel Amina Yaqin berjudul Islamic Barbie: The Politics of Gender and Performativity (Fashion Theory, Vol. 11, Issue 2/3, 2007, hlm. 173-188). Di luar, panas membakar jalanan, tetapi di dalam kafe ini, udara sejuk memberi ruang bagi saya untuk tenggelam dalam dunia Razanne, boneka Muslim yang menjadi simbol pendidikan moral dan identitas.

 

Setiap halaman yang saya baca menimbulkan rasa ingin tahu yang dalam. Bagaimana sebuah mainan bisa menampung sejarah, politik, dan budaya? Bagaimana ia bisa menjadi medium untuk menegaskan identitas minoritas di tengah dominasi budaya global?

 

Razanne lahir dari tangan Noor dan Ammar Saadeh di Amerika Serikat. Mereka menciptakan boneka ini sebagai respons terhadap kurangnya representasi Muslim dalam mainan global. Dari jilbab yang dikenakannya hingga karpet salat yang dibawanya, setiap detail merupakan pesan moral dan simbol identitas.

 

Saat membaca, saya membayangkan anak-anak Muslim di Barat bermain dengan Razanne, belajar menjadi Muslim yang sopan dan modern. Boneka ini bukan sekadar mainan; ia adalah medium pendidikan moral dan budaya yang lembut, namun kuat.

 

Dalam konteks Barbie yang global, Razanne hadir sebagai alternatif. Ia menghapus unsur seksualisasi dan hedonisme yang melekat pada Barbie, menegaskan bahwa identitas dan kesopanan bisa tampil seiring dengan gaya modern.

 

Setiap gerakan, setiap aksesoris, dan setiap cerita yang menyertai Razanne merupakan performativitas identitas. Seperti Judith Butler tulis, gender dan identitas bukan substansi tetap, tetapi sesuatu yang diulang dan dipertunjukkan, dan Razanne mempraktikkan hal itu dalam bentuk yang sederhana dan anak-anak pahami.

 

Saya menyadari bahwa boneka ini bukan hanya tentang anak-anak. Ia juga berbicara pada orang tua, pada komunitas Muslim diaspora, pada masyarakat yang kerap memandang mereka sebagai “yang lain”. Ia adalah medium negosiasi budaya.

 

Sambil menyesap teh, saya memikirkan bahwa minoritas selalu mencari ruang untuk menegaskan diri. Razanne menjadi salah satu cara mereka melakukan itu, melalui medium yang lembut, ramah, dan edukatif.

 

Boneka ini juga hadir dalam berbagai variasi: dokter, guru, atau anak-anak yang sedang belajar. Variasi itu menunjukkan bahwa perempuan Muslim bisa menempati berbagai peran, asalkan identitas dan moral tetap dijaga.

 

Di tangan anak-anak, Razanne mengajarkan keseimbangan antara kesopanan, moral, dan modernitas. Ia menjadi perantara antara dunia tradisi dan dunia modern yang kerap bertentangan.

 

Dari Amerika hingga Timur Tengah, boneka Muslim lain muncul: Fulla di Suriah, Dara dan Sara di Iran. Semua lahir dari kebutuhan untuk membentuk identitas Muslim yang terlihat, dapat disentuh, dan dimainkan oleh anak-anak.

 

Fulla, misalnya, menutup tubuh dari kepala hingga kaki, tetapi tetap fashionable. Ia menegaskan bahwa agama dan budaya bisa tampil elegan, tanpa kehilangan daya tarik visual.

 

Saya membayangkan dunia di mana anak-anak Muslim memiliki mainan yang mencerminkan identitas mereka. Sebuah dunia di mana identitas bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan sesuatu yang bisa dirayakan melalui permainan.

 

Konsumerisme, Politik, dan Representasi Minoritas

 

Pemasaran Razanne memanfaatkan konsumerisme global; minoritas membeli mainan ini untuk menegaskan nilai, identitas, dan keberadaan mereka di tengah masyarakat yang luas.

 

Pasca 9/11, tekanan terhadap komunitas Muslim meningkat. Media Barat sering menampilkan Muslim sebagai stereotipe, dan boneka seperti Razanne hadir sebagai bentuk negosiasi budaya. Ia adalah medium politik lembut yang menyatukan agama, budaya, dan ekonomi konsumen.

 

Artikel menyoroti gender performativity. Dalam dunia Razanne, anak-anak belajar tentang peran perempuan Muslim yang sopan, berpendidikan, dan aktif, melalui mainan yang tampaknya sederhana, namun sarat dengan pesan moral.

 

Konsumerisme global memberi Razanne ruang untuk menegaskan identitas, tetapi juga menghadirkan paradoks. Ia bernegosiasi dengan dominasi budaya global, namun tetap berada dalam logika pasar yang sama.

 

Saya menyesap teh, menyadari bahwa boneka ini adalah produk budaya yang mampu melintasi batas negara dan budaya. Ia tidak hanya dijual, tetapi juga menjadi simbol politik, representasi minoritas, dan pendidikan moral.

 

Barbie global menekankan fantasi seksual, tubuh ideal, dan kemewahan. Razanne sebaliknya: ia mengajarkan kesopanan, pendidikan, dan moralitas. Paradoks ini membuat boneka ini menjadi alat pendidikan sekaligus kritik sosial.

 

Boneka ini hadir sebagai pernyataan anti-hegemonik, tetapi tetap memanfaatkan mekanisme konsumerisme untuk menjangkau publik. Ia menunjukkan bahwa minoritas dapat menginternalisasi dan menegosiasikan identitas melalui media yang diterima masyarakat luas.

 

Dalam konteks diaspora, Noorart menggunakan internet untuk membangun jaringan transnasional. Anak-anak belajar menjadi bagian dari komunitas global melalui permainan yang sederhana tetapi edukatif.

 

Media Barat menampilkan Razanne sebagai “Islamic Barbie” atau “Burkha Barbie”. Label itu menegaskan stereotipe, tetapi juga membuka diskusi tentang representasi minoritas di ranah publik.

 

Kontroversi jilbab di Inggris, misalnya kasus Shabina Begum, menunjukkan bahwa pakaian menjadi simbol politik. Razanne, dalam konteks ini, menjadi media negosiasi identitas dan pendidikan moral yang halus.

 

Gender, politik, dan pendidikan moral menjadi benang merah dalam artikel ini. Razanne mengajarkan anak-anak tentang batasan, kebebasan, dan tanggung jawab, sekaligus menegaskan keberadaan minoritas dalam dunia global.

 

Saya menatap kafe yang sejuk, membayangkan anak-anak memegang Razanne dan belajar tentang identitas mereka. Sebuah pengalaman edukatif yang sederhana, namun sarat makna dan kompleksitas budaya.

 

Michel de Certeau pernah menulis tentang praktik sehari-hari sebagai bentuk resistensi. Razanne adalah contoh literal: ia mengajarkan anak-anak minoritas cara menegosiasikan identitas mereka dalam konteks dominasi budaya global.

 

Setiap aksesoris, cerita, dan aktivitas Razanne mengajarkan kesopanan dan moralitas. Ia adalah alat edukasi yang memadukan hiburan, nilai agama, dan pendidikan karakter.

 

Dalam perspektif postkolonial, Razanne menjadi simbol resistensi halus. Minoritas menggunakan medium global untuk menegaskan eksistensi mereka, mengubah persepsi publik melalui medium yang bisa diterima semua orang.

 

Saya tersenyum pahit membayangkan paradoks ini. Sebuah boneka bisa menjadi medium resistensi, tapi tetap berada dalam sistem konsumer yang sama yang mendominasi dunia.

 

Anak-anak belajar dari Razanne bahwa identitas bukan statis. Ia bisa dinegosiasikan, dipertunjukkan, dan diinternalisasi melalui aktivitas yang menyenangkan dan edukatif.

 

Noorart memanfaatkan medium hiburan untuk pendidikan. Buku mewarnai, cerita interaktif, dan boneka itu sendiri membentuk identitas Muslim yang sadar budaya, sopan, dan modern.

 

Razanne menjadi cermin kompleksitas: minoritas menegosiasikan keberadaan mereka, masyarakat global menuntut representasi, dan pasar menuntut konsumsi. Semua lapisan itu terekam dalam satu boneka.

 

Saya menutup artikel, melihat luar kafe yang panas dan ramai. Dunia di luar mungkin acuh, tetapi di tangan anak-anak, Razanne membentuk ruang publik mini, sebuah laboratorium moral dan identitas.

 

Melalui fashion, cerita, dan aktivitas, Razanne mengajarkan bahwa identitas Muslim dapat hidup harmonis dalam konsumerisme global. Ia menantang stereotipe, sekaligus menegaskan nilai dan moral yang diajarkan orang tua.

 

Saat saya meninggalkan kafe itu, saya menyadari satu hal: identitas bukan sesuatu yang diam. Ia terus dipertunjukkan, dinegosiasikan, dan diperjuangkan—dalam boneka, dalam permainan anak-anak, dan dalam kehidupan sehari-hari yang panas di luar sana.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now