Oleh: Syamsul Kurniawan
Pagi belum sepenuhnya terang ketika seorang anak membuka gawainya. Notifikasi
terus berdenting, seperti ketukan pelan yang tanpa henti. Tapi di balik layar
itu, bukan kabar baik yang datang. Yang muncul adalah cemoohan, olok-olok, dan
tuduhan yang menyasar tanpa jeda.
Anak itu hanya membalas dengan diam, lalu perlahan menunduk. Ia tidak menangis
di depan banyak orang, tapi rasa perih menyebar di dada. Dunia seakan menyusut
menjadi layar lima inci yang penuh dengan kata-kata tajam. Ia tak tahu harus
bicara kepada siapa, karena lawannya bukan satu wajah, tapi ribuan akun.
Inilah yang disebut orang sebagai cyber bullying, tapi sebutan itu
terlalu netral untuk menggambarkan penderitaan. Ia bukan sekadar konflik
digital, tapi luka psikologis yang kadang abadi. Tak berwujud, tapi terasa. Tak
menyentuh kulit, tapi menghantam jiwa.
Kita sering mengira bahwa dunia maya adalah ruang tanpa darah. Tapi dari sana,
begitu banyak luka mengalir. Luka yang tak terlihat oleh CCTV, tapi membekas
dalam ingatan. Anak-anak tumbuh dengan trauma yang tak bisa dijelaskan oleh
angka di rapor.
Dalam dunia yang penuh simulasi ini, kekerasan tidak lagi perlu tubuh. Menurut
Jean Baudrillard (1994), kita hidup dalam zaman simulakra, di mana yang
palsu tampak lebih nyata daripada kebenaran itu sendiri. Identitas di media
sosial hanyalah kulit—dibuat, disunting, dimanipulasi. Dan dari kulit yang
palsu itu, kekerasan menjelma jadi permainan massa.
Bayangkan saja, seorang siswa dihina karena fotonya dianggap “tidak estetik.”
Sebuah komentar yang diketik dalam lima detik bisa menghancurkan rasa percaya
diri yang dibangun bertahun-tahun. Yang menyakitkan bukan hanya kata-katanya,
tapi diamnya orang-orang yang melihat dan ikut menyebarkan. Kekerasan itu
berlipat karena disaksikan, bukan dicegah.
Abad 21 adalah abad pengetahuan, tempat informasi mengalir tanpa filter. Setiap
orang adalah penerima dan penyebar sekaligus. Sayangnya, kemajuan teknologi
tidak selalu diiringi kemajuan moral. Dan pendidikan sering kali tertinggal di
belakang.
Pembelajaran abad 21 menuntut kecakapan berpikir kritis, literasi digital, dan
empati. Tapi terlalu sering, sekolah hanya sibuk dengan soal pilihan ganda.
Anak-anak diajari menjawab, tapi tidak diajari mendengarkan. Mereka tahu cara
membuat presentasi, tapi tidak peka pada perasaan temannya.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyebut bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana. Tapi kesadaran macam apa yang
tumbuh jika sekolah tak mampu menyentuh dunia nyata para siswa? Dunia nyata itu
kini adalah dunia digital, dunia yang tak diawasi wali kelas tapi bisa
menghancurkan kehidupan.
Kita membiarkan dunia pendidikan terisolasi dari realitas daring. Kita ajarkan
murid tentang Revolusi Industri, tapi tidak tentang bahaya viralitas. Kita
berikan tugas membuat vlog, tapi tak pernah bicara tentang batas etika.
Akibatnya, banyak dari mereka merasa bebas menyakiti lewat layar karena tak
pernah merasa diajari untuk bertanggung jawab.
Fenomena cyber bullying adalah akibat dari kesenjangan antara teknologi
dan pendidikan nilai. Dunia terlalu cepat berubah, tapi sekolah berjalan
terlalu lambat. Teknologi menciptakan simulasi interaksi, tapi tidak
memproduksi rasa. Maka empati digital menjadi barang langka.
Kita terbiasa menganggap pelaku sebagai pihak yang jahat, tanpa menggali dari
mana perilaku itu berasal. Padahal, tidak sedikit pelaku yang dulunya korban.
Ia tumbuh dalam simulasi kekuasaan: menyakiti agar tidak disakiti. Dunia
digital memberinya senjata berupa anonimitas, lalu ia berubah menjadi bayangan
yang menyerang.
Simulakra membuat segala sesuatu tampak nyata meski sebenarnya palsu. Sebuah
video berisi hinaan bisa tampak seperti kebenaran hanya karena banyak yang
membagikannya. Realitas pun terdistorsi. Dan dalam kekacauan itu, pendidikan
yang tidak hadir hanya menonton dari kejauhan.
Empati kini digantikan dengan emoji. Ketulusan digantikan dengan likes.
Kita tidak lagi bertanya “Apakah ini menyakitkan?” melainkan “Apakah ini
viral?” Anak-anak hidup dalam logika seperti itu—dan mereka percaya itu wajar.
Kita mengira mereka paham batas, padahal belum tentu. Kita mengira mereka tahu
benar dan salah, padahal kadang hanya ikut arus. Maka pendidikan tidak bisa
hanya menjadi transmisi informasi. Ia harus menjadi ruang pembentukan kepekaan.
Homo Homini Lupus
dan Kita
“Homo homini lupus”—manusia adalah serigala bagi sesamanya. Frasa ini bukan
sekadar peringatan, tapi kenyataan yang kini mewujud dalam bentuk digital. Di
dunia maya, manusia saling memangsa bukan dengan gigi, tapi dengan kata. Dan
serigala-serigala itu tak lagi berbulu, melainkan berbentuk profil palsu dan
komentar sarkas.
Dunia digital menyediakan ruang tanpa tanggung jawab. Seseorang bisa menjadi
siapa pun dan mengatakan apa pun. Dalam ruang seperti ini, manusia terjebak
pada sifat primitifnya: menyerang demi bertahan, menghina demi diakui,
menjatuhkan demi merasa lebih tinggi. Kita pun melihat, tak sedikit anak-anak
yang menjadi buas karena merasa dilukai lebih dulu.
Fenomena ini bukan mitos. Ia hadir dalam tiap unggahan dan balasan. Seorang
siswa bisa jadi korban hanya karena tak mengikuti tren. Seorang siswi bisa
dihina karena cara berpakaian yang berbeda. Dunia maya menjelma menjadi hutan
yang dipenuhi serigala tak terlihat.
Jika kita diam, maka kita bagian dari kawanan itu. Jika pendidikan tidak hadir,
maka ia adalah pembiar. Homo homini lupus adalah takdir yang bisa
dicegah. Tapi hanya jika kita memutus siklus kekerasan itu—dengan pemahaman,
bukan sekadar hukuman.
Pendidikan harus menjadi rem di tengah budaya menyerang. Sekolah bukan hanya
tempat menanam nilai, tapi tempat merawat luka. Guru bukan hanya pengajar
materi, tapi penuntun moral. Dunia digital perlu disirami etika, bukan
dibanjiri algoritma.
Ketika manusia lupa bahwa lawannya juga manusia, maka simulakra telah
menang. Kita menjadi makhluk yang berbicara dengan mesin, tapi menyakiti
manusia. Kecerdasan tak lagi membuat kita bijak, hanya membuat kita licik.
Banyak siswa yang menyimpan tangis di balik layar. Mereka tidak tahu kepada
siapa harus bicara. Mereka merasa tidak aman di dunia nyata maupun maya. Dan di
titik itu, sekolah harus hadir.
Bayangkan jika setiap sekolah memiliki ruang dialog digital—tempat anak bisa
berbagi pengalaman disakiti secara daring. Bayangkan jika guru diberi pelatihan
khusus tentang literasi empati digital. Bukan sekadar teknologi, tapi juga
psikologi dan kemanusiaan.
Cyber bullying tidak akan hilang hanya karena kita bilang “jangan lakukan.” Ia
hilang ketika kita menciptakan budaya yang lebih besar dari sekadar larangan.
Budaya menghargai, memahami, dan melindungi. Budaya yang tidak menertawakan
luka orang lain.
Anak-anak harus tahu bahwa ada ruang aman. Bahwa dunia tidak sepenuhnya buas.
Tapi untuk itu, kita harus membuat sekolah menjadi tempat yang tidak hanya aman
secara fisik, tapi juga emosional dan digital.
Simulakra bisa
dimatikan dengan realitas yang lebih kuat: kasih sayang. Pendidikan harus
menjadi media realitas itu. Ia tidak boleh menyerah pada gaya hidup digital
yang dingin. Ia harus membawa kehangatan manusiawi ke dalam dunia yang
terlanjur cair.
Literasi digital bukan hanya soal memahami cara kerja media sosial, tapi
memahami cara kerja hati manusia. Kata-kata bisa lebih tajam dari peluru, dan
anak-anak harus tahu itu. Mereka harus dilatih untuk memilih diam ketika tak
perlu bicara, dan bersuara ketika melihat ketidakadilan.
Kita tak boleh membiarkan anak-anak menjadi predator maupun mangsa. Kita harus
membimbing mereka menjadi manusia. Menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas
secara akademis, tapi juga peka terhadap luka orang lain. Itu adalah kerja
panjang, tapi sangat mungkin.
Sebagian besar pelaku cyber bullying bukan orang jahat. Mereka hanya belum
belajar cara menjadi baik. Pendidikan yang kuat akan membuka kemungkinan itu.
Ia akan menawarkan alternatif selain menyerang: berdialog, memahami, berdamai.
Kita hidup di zaman kecepatan. Tapi membentuk karakter butuh pelambatan. Butuh
ruang untuk refleksi, untuk meresapi, untuk merasa. Sekolah harus memberi ruang
itu.
Jika pendidikan hanya mencetak nilai tinggi, maka kita gagal. Karena nilai itu
tidak bisa melindungi seorang anak dari kehancuran akibat ejekan digital.
Pendidikan harus melampaui angka. Ia harus menyentuh nurani.
Empati tidak tumbuh dari ceramah. Ia tumbuh dari teladan dan pengalaman. Maka
guru juga harus belajar. Belajar mendengarkan, belajar hadir, belajar
menjangkau siswa hingga ke dalam dunia daring mereka.
Cyber bullying adalah panggilan zaman. Tapi pendidikan adalah jawabannya. Bukan
dengan cara lama, tapi dengan cara yang lebih manusiawi. Cara yang mengerti
bahwa manusia bukan hanya pikiran, tapi juga luka dan harapan.
Kita butuh pendidikan yang menanamkan keberanian untuk berkata: “Stop.”
Keberanian untuk berkata: “Saya bersamamu.” Keberanian untuk tak menyebarkan.
Pendidikan yang menjadikan dunia maya tempat belajar, bukan tempat membenci.
Akhirnya, cyber bullying hanya bisa ditaklukkan oleh satu hal: kehadiran.
Kehadiran guru, orang tua, dan teman yang tak berpaling. Kehadiran pendidikan
yang tidak sekadar mengajar, tapi mengasuh. Di situlah kita membangun kembali
manusia—yang bukan serigala bagi sesamanya, melainkan cahaya bagi sekitarnya.