Iklan

FOMO dan Pamer Aib: Fenomena S-Line

syamsul kurniawan
Tuesday, August 5, 2025
Last Updated 2025-08-08T04:17:56Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di era media sosial yang terus berkembang, di mana segala sesuatu yang viral seakan menjadi bagian dari hidup kita, muncul sebuah fenomena yang cukup mengganggu sekaligus menggelitik: tren S-Line. Sebuah budaya digital yang berawal dari drama Korea yang diadaptasi dari webtoon, kini merambah dunia maya dan memicu reaksi yang beragam. Tidak hanya remaja, bahkan mereka yang sudah menikah pun tak terhindar dari kecemasan untuk ikut serta dalam fenomena ini. S-Line adalah simbol yang seolah menggambarkan pengalaman seksual seseorang, yang dipajang melalui garis merah di atas kepala mereka. Mengapa hal ini menarik perhatian begitu banyak orang, dan mengapa ia memicu FOMO (Fear of Missing Out) yang mendalam? Fenomena ini lebih dari sekadar tren; ia menyentuh inti dari identitas, pengawasan sosial, dan kebutuhan untuk diterima.

 

FOMO, atau Fear of Missing Out, adalah salah satu penyakit sosial yang berkembang pesat di era digital. Ketika kita melihat orang lain menikmati tren atau mendapatkan perhatian di media sosial, kita sering kali merasa tertinggal, merasa tidak relevan. Ketika S-Line pertama kali viral, banyak yang bergabung karena takut dianggap ketinggalan zaman atau bahkan terisolasi. Tentu saja, di balik segala euforia ini, ada ketakutan yang lebih dalam: ketakutan bahwa kita akan dicap tidak cukup baik jika tidak ikut dalam arus tren yang menguasai ruang maya. Tak hanya para remaja, tetapi orang dewasa pun merasa tertekan untuk tampil sesuai dengan harapan dunia digital, sebuah dunia yang hanya menghargai apa yang tampak.

 

Menjerat Semua Kalangan

 

Tren ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk dan memengaruhi perilaku kita. FOMO yang satu ini tidak mengenal batas umur. Bahkan mereka yang sudah menikah, yang seharusnya tidak lagi merasa terpengaruh oleh standar kecantikan dan popularitas, merasa terdorong untuk ikut serta. Ini bukan hanya soal tubuh yang terlihat sempurna, tetapi juga tentang pengakuan—pengakuan yang datang dari dunia maya yang lebih suka menilai dari apa yang terlihat, bukan dari esensi diri yang lebih dalam. Bagi mereka yang terjebak dalam FOMO, S-Line adalah jalan untuk mendapatkan perhatian, untuk menunjukkan bahwa mereka juga "terhubung" dengan dunia yang semakin cepat ini.

 

Namun, tren ini bukan hanya soal ketakutan untuk tertinggal. Ada elemen lain yang perlu dianalisis: pamer aib. Dalam banyak kasus, tren S-Line malah menjadi media untuk mengungkapkan sisi gelap dan rentan dari diri seseorang. S-Line bukan sekadar tentang pengalaman seksual yang dibagikan, melainkan juga tentang bagaimana kita memilih untuk memamerkan aib kita. Mengapa kita merasa perlu untuk membagikan pengalaman pribadi yang seharusnya menjadi ranah intim? Pamer aib dalam hal ini bukanlah tindakan pembebasan, melainkan pencarian validasi melalui simpati dari orang lain.

 

Pamer aib bisa dipandang sebagai bentuk pencarian pengakuan yang lebih dalam. Setiap kali kita membagikan sisi pribadi yang paling gelap atau rapuh, kita berharap mendapatkan pengakuan—bukan hanya dari teman-teman dekat, tetapi juga dari orang-orang asing yang hanya mengenal kita dari layar ponsel mereka. Kita mencari perhatian, bukan karena kita merasa kuat atau bebas, tetapi karena kita merasa terasing jika tidak ada yang memperhatikan atau menyetujui kita. Fenomena S-Line adalah contoh nyata dari kebutuhan akan pengakuan ini: kita mengungkapkan pengalaman yang sangat pribadi untuk menjadi bagian dari percakapan sosial yang lebih besar, meskipun sering kali hal itu hanya memperlihatkan ketidaknyamanan kita dengan diri sendiri.

 

Michel Foucault (1975), filsuf yang terkenal dengan teori tentang pengawasan dan kontrol sosial, akan memberikan pandangan menarik tentang fenomena ini. Foucault mengamati bahwa dalam masyarakat modern, tubuh manusia bukan lagi sekadar objek biologis, tetapi telah menjadi objek pengawasan yang sangat terstruktur. Ketika kita membagikan pengalaman seksual atau tubuh kita dalam bentuk S-Line, kita tidak hanya diawasi oleh masyarakat—tetapi juga mengawasi diri kita sendiri. Foucault menyebut ini sebagai "pengawasan diri." Kita memilih untuk menampilkan bagian tubuh dan pengalaman kita yang akan dinilai oleh orang lain, karena kita tahu bahwa dunia maya akan mengukurnya.

 

Dunia maya, melalui platform media sosial, tidak hanya menciptakan pengawasan eksternal, tetapi juga internalisasi pengawasan. Kita merasa harus memenuhi ekspektasi sosial yang dibentuk oleh platform-platform tersebut. Ketika kita tidak memenuhi standar ini, kita merasa terpinggirkan. S-Line, dalam konteks ini, menjadi bagian dari proses pengawasan diri yang semakin terinternalisasi. Tubuh yang dulu merupakan ruang privat, kini menjadi ruang publik yang terbuka untuk dievaluasi. Ironisnya, kita merasa bebas dalam berbagi, padahal kita justru terjebak dalam pengawasan yang kita buat sendiri.

 

Jean Baudrillard, seorang tokoh utama dalam teori postmodern, memberikan pandangan yang lebih dalam mengenai fenomena ini. Dalam teorinya tentang simulakra dan hiperrealitas, Baudrillard (1994) mengungkapkan bahwa realitas yang kita lihat di media sosial adalah representasi yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dunia yang dipenuhi dengan gambar-gambar tubuh yang diolah, dengan garis-garis merah yang menunjukkan pengalaman seksual, adalah sebuah representasi dari tubuh yang tidak lagi asli, tetapi telah dimodifikasi oleh masyarakat. Di dalam dunia S-Line, apa yang kita lihat bukanlah tubuh yang asli, melainkan simulasi dari tubuh yang disesuaikan dengan standar yang ada.

 

Dalam masyarakat hiperrealitas, tubuh kita tidak lagi dilihat sebagai entitas yang nyata, tetapi sebagai simulasi—sesuatu yang diciptakan untuk memenuhi ekspektasi dunia luar. S-Line adalah contoh sempurna dari konsep ini. Garis merah yang terlukis di kepala bukanlah tanda nyata dari pengalaman, melainkan representasi dari pengalaman yang telah melalui proses konstruksi sosial. Di sini, kita hidup di dunia simulakra, di mana yang tampak lebih penting daripada yang sebenarnya ada. Kehidupan kita di media sosial lebih nyata daripada kehidupan yang kita jalani sehari-hari, dan kita terjebak dalam permainan ini tanpa menyadarinya.

 

Moral Panic: Ketakutan yang Meluas

 

Moral panic adalah fenomena sosial yang terjadi ketika sebuah perubahan besar dalam norma sosial dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang telah lama dijaga (Cohen, 1972). Dalam hal ini, ketakutan muncul karena tren S-Line dianggap dapat merusak moralitas dan nilai-nilai tradisional. Moral panic ini tidak hanya melibatkan mereka yang belum menikah, tetapi juga orang dewasa yang sudah menikah. Mereka merasa takut kehilangan kontrol atas nilai-nilai moral yang telah mereka anut dan yang mereka harapkan pada generasi muda. Ketakutan ini memicu mereka untuk ikut dalam tren ini, meskipun mereka tahu bahwa itu bukanlah hal yang seharusnya mereka pamerkan.

 

Perubahan dalam cara kita memperlakukan tubuh, pengalaman, dan identitas di dunia maya menciptakan ketakutan kolektif. Banyak yang merasa bahwa S-Line adalah simbol dari hilangnya kontrol moral dalam masyarakat. Namun, ketakutan ini lebih banyak berkaitan dengan perubahan cara kita melihat diri dan hubungan kita dengan orang lain. Ketika masyarakat merasa bahwa norma yang ada telah berubah terlalu cepat, moral panic akan muncul. Dalam hal ini, ketakutan bahwa seseorang akan dianggap tidak relevan atau terpinggirkan jika tidak ikut serta dalam tren ini menjadi bagian dari ketakutan kolektif yang mengarah pada pengungkapan pengalaman pribadi secara terbuka.

 

Di tengah gejolak S-Line, kita terjebak di antara dua pilihan yang tampaknya bertentangan: FOMO dan pamer aib. FOMO membawa kita pada kecemasan untuk tertinggal, untuk tidak terlibat dalam percakapan yang sedang viral. Pamer aib, di sisi lain, adalah pengungkapan diri yang sering kali menyakitkan, di mana kita memilih untuk menunjukkan kelemahan dan ketidaksempurnaan kita demi mendapatkan perhatian. Kedua hal ini pada akhirnya berfokus pada satu tujuan yang sama: pengakuan sosial. Tetapi kita lupa bertanya, apakah kita benar-benar ingin diakui berdasarkan apa yang kita ungkapkan secara publik, atau berdasarkan siapa kita sebenarnya di luar citra yang diciptakan dunia maya?

 

Pencarian pengakuan ini seolah tak pernah berakhir. Setiap kali kita mendapatkan perhatian, kita akan merasa puas sejenak, tetapi segera ada dorongan untuk menunjukkan lebih banyak lagi, untuk menceritakan lebih banyak lagi. S-Line bukan hanya tentang membagikan pengalaman, tetapi tentang terus-menerus mencari pengakuan. Apa yang terjadi ketika pencarian ini tidak pernah berakhir? Kita menjadi semakin terikat pada dunia maya, dan semakin jauh dari diri kita yang sesungguhnya.

 

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kebebasan dalam dunia media sosial ini bukanlah kebebasan sejati. Kebebasan yang kita klaim hanya ilusi yang diciptakan oleh tekanan sosial dan harapan dari dunia maya. Dalam mengejar pengakuan sosial melalui S-Line, kita mengorbankan kebebasan untuk menjadi diri kita yang sejati. Apa yang seharusnya menjadi pengalaman yang pribadi dan penuh makna, kini menjadi konsumsi publik yang tidak pernah benar-benar selesai. S-Line mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati bukanlah tentang seberapa banyak kita berbagi, tetapi seberapa banyak kita bisa menerima diri kita sendiri tanpa perlu pengakuan dunia luar.

 

Di dunia yang semakin dipenuhi dengan citra dan representasi, kita harus belajar untuk menemukan kebebasan yang sesungguhnya—bukan melalui garis merah atau pengakuan dari orang lain, tetapi dengan menerima diri kita yang utuh dan tidak terukur.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now