Oleh: Syamsul
Kurniawan
Di era media
sosial yang terus berkembang, di mana segala sesuatu yang viral seakan menjadi
bagian dari hidup kita, muncul sebuah fenomena yang cukup mengganggu sekaligus
menggelitik: tren S-Line. Sebuah budaya digital yang berawal dari drama
Korea yang diadaptasi dari webtoon, kini merambah dunia maya dan memicu reaksi
yang beragam. Tidak hanya remaja, bahkan mereka yang sudah menikah pun tak
terhindar dari kecemasan untuk ikut serta dalam fenomena ini. S-Line
adalah simbol yang seolah menggambarkan pengalaman seksual seseorang, yang
dipajang melalui garis merah di atas kepala mereka. Mengapa hal ini menarik
perhatian begitu banyak orang, dan mengapa ia memicu FOMO (Fear of Missing Out)
yang mendalam? Fenomena ini lebih dari sekadar tren; ia menyentuh inti dari
identitas, pengawasan sosial, dan kebutuhan untuk diterima.
FOMO, atau
Fear of Missing Out, adalah salah satu penyakit sosial yang berkembang pesat di
era digital. Ketika kita melihat orang lain menikmati tren atau mendapatkan
perhatian di media sosial, kita sering kali merasa tertinggal, merasa tidak
relevan. Ketika S-Line pertama kali viral, banyak yang bergabung karena
takut dianggap ketinggalan zaman atau bahkan terisolasi. Tentu saja, di balik
segala euforia ini, ada ketakutan yang lebih dalam: ketakutan bahwa kita akan
dicap tidak cukup baik jika tidak ikut dalam arus tren yang menguasai ruang
maya. Tak hanya para remaja, tetapi orang dewasa pun merasa tertekan untuk
tampil sesuai dengan harapan dunia digital, sebuah dunia yang hanya menghargai
apa yang tampak.
Menjerat
Semua Kalangan
Tren ini
menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk dan
memengaruhi perilaku kita. FOMO yang satu ini tidak mengenal batas umur. Bahkan
mereka yang sudah menikah, yang seharusnya tidak lagi merasa terpengaruh oleh
standar kecantikan dan popularitas, merasa terdorong untuk ikut serta. Ini
bukan hanya soal tubuh yang terlihat sempurna, tetapi juga tentang
pengakuan—pengakuan yang datang dari dunia maya yang lebih suka menilai dari
apa yang terlihat, bukan dari esensi diri yang lebih dalam. Bagi mereka yang
terjebak dalam FOMO, S-Line adalah jalan untuk mendapatkan perhatian,
untuk menunjukkan bahwa mereka juga "terhubung" dengan dunia yang
semakin cepat ini.
Namun, tren
ini bukan hanya soal ketakutan untuk tertinggal. Ada elemen lain yang perlu
dianalisis: pamer aib. Dalam banyak kasus, tren S-Line malah menjadi
media untuk mengungkapkan sisi gelap dan rentan dari diri seseorang. S-Line
bukan sekadar tentang pengalaman seksual yang dibagikan, melainkan juga tentang
bagaimana kita memilih untuk memamerkan aib kita. Mengapa kita merasa perlu
untuk membagikan pengalaman pribadi yang seharusnya menjadi ranah intim? Pamer
aib dalam hal ini bukanlah tindakan pembebasan, melainkan pencarian validasi
melalui simpati dari orang lain.
Pamer aib bisa
dipandang sebagai bentuk pencarian pengakuan yang lebih dalam. Setiap kali kita
membagikan sisi pribadi yang paling gelap atau rapuh, kita berharap mendapatkan
pengakuan—bukan hanya dari teman-teman dekat, tetapi juga dari orang-orang asing
yang hanya mengenal kita dari layar ponsel mereka. Kita mencari perhatian,
bukan karena kita merasa kuat atau bebas, tetapi karena kita merasa terasing
jika tidak ada yang memperhatikan atau menyetujui kita. Fenomena S-Line
adalah contoh nyata dari kebutuhan akan pengakuan ini: kita mengungkapkan
pengalaman yang sangat pribadi untuk menjadi bagian dari percakapan sosial yang
lebih besar, meskipun sering kali hal itu hanya memperlihatkan ketidaknyamanan
kita dengan diri sendiri.
Michel
Foucault (1975), filsuf yang terkenal dengan teori tentang pengawasan dan
kontrol sosial, akan memberikan pandangan menarik tentang fenomena ini.
Foucault mengamati bahwa dalam masyarakat modern, tubuh manusia bukan lagi
sekadar objek biologis, tetapi telah menjadi objek pengawasan yang sangat
terstruktur. Ketika kita membagikan pengalaman seksual atau tubuh kita dalam
bentuk S-Line, kita tidak hanya diawasi oleh masyarakat—tetapi juga
mengawasi diri kita sendiri. Foucault menyebut ini sebagai "pengawasan
diri." Kita memilih untuk menampilkan bagian tubuh dan pengalaman kita
yang akan dinilai oleh orang lain, karena kita tahu bahwa dunia maya akan
mengukurnya.
Dunia maya,
melalui platform media sosial, tidak hanya menciptakan pengawasan eksternal,
tetapi juga internalisasi pengawasan. Kita merasa harus memenuhi ekspektasi
sosial yang dibentuk oleh platform-platform tersebut. Ketika kita tidak
memenuhi standar ini, kita merasa terpinggirkan. S-Line, dalam konteks
ini, menjadi bagian dari proses pengawasan diri yang semakin terinternalisasi.
Tubuh yang dulu merupakan ruang privat, kini menjadi ruang publik yang terbuka
untuk dievaluasi. Ironisnya, kita merasa bebas dalam berbagi, padahal kita
justru terjebak dalam pengawasan yang kita buat sendiri.
Jean
Baudrillard, seorang tokoh utama dalam teori postmodern, memberikan pandangan
yang lebih dalam mengenai fenomena ini. Dalam teorinya tentang simulakra dan
hiperrealitas, Baudrillard (1994) mengungkapkan bahwa realitas yang kita lihat
di media sosial adalah representasi yang lebih nyata daripada kenyataan itu
sendiri. Dunia yang dipenuhi dengan gambar-gambar tubuh yang diolah, dengan
garis-garis merah yang menunjukkan pengalaman seksual, adalah sebuah
representasi dari tubuh yang tidak lagi asli, tetapi telah dimodifikasi oleh
masyarakat. Di dalam dunia S-Line, apa yang kita lihat bukanlah tubuh
yang asli, melainkan simulasi dari tubuh yang disesuaikan dengan standar yang
ada.
Dalam
masyarakat hiperrealitas, tubuh kita tidak lagi dilihat sebagai entitas yang
nyata, tetapi sebagai simulasi—sesuatu yang diciptakan untuk memenuhi
ekspektasi dunia luar. S-Line adalah contoh sempurna dari konsep ini.
Garis merah yang terlukis di kepala bukanlah tanda nyata dari pengalaman,
melainkan representasi dari pengalaman yang telah melalui proses konstruksi
sosial. Di sini, kita hidup di dunia simulakra, di mana yang tampak lebih
penting daripada yang sebenarnya ada. Kehidupan kita di media sosial lebih
nyata daripada kehidupan yang kita jalani sehari-hari, dan kita terjebak dalam
permainan ini tanpa menyadarinya.
Moral
Panic: Ketakutan yang Meluas
Moral panic
adalah fenomena sosial yang terjadi ketika sebuah perubahan besar dalam norma
sosial dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang telah lama dijaga
(Cohen, 1972). Dalam hal ini, ketakutan muncul karena tren S-Line
dianggap dapat merusak moralitas dan nilai-nilai tradisional. Moral panic ini
tidak hanya melibatkan mereka yang belum menikah, tetapi juga orang dewasa yang
sudah menikah. Mereka merasa takut kehilangan kontrol atas nilai-nilai moral
yang telah mereka anut dan yang mereka harapkan pada generasi muda. Ketakutan
ini memicu mereka untuk ikut dalam tren ini, meskipun mereka tahu bahwa itu
bukanlah hal yang seharusnya mereka pamerkan.
Perubahan
dalam cara kita memperlakukan tubuh, pengalaman, dan identitas di dunia maya
menciptakan ketakutan kolektif. Banyak yang merasa bahwa S-Line adalah
simbol dari hilangnya kontrol moral dalam masyarakat. Namun, ketakutan ini
lebih banyak berkaitan dengan perubahan cara kita melihat diri dan hubungan
kita dengan orang lain. Ketika masyarakat merasa bahwa norma yang ada telah
berubah terlalu cepat, moral panic akan muncul. Dalam hal ini, ketakutan bahwa
seseorang akan dianggap tidak relevan atau terpinggirkan jika tidak ikut serta
dalam tren ini menjadi bagian dari ketakutan kolektif yang mengarah pada
pengungkapan pengalaman pribadi secara terbuka.
Di tengah
gejolak S-Line, kita terjebak di antara dua pilihan yang tampaknya
bertentangan: FOMO dan pamer aib. FOMO membawa kita pada kecemasan untuk
tertinggal, untuk tidak terlibat dalam percakapan yang sedang viral. Pamer aib,
di sisi lain, adalah pengungkapan diri yang sering kali menyakitkan, di mana
kita memilih untuk menunjukkan kelemahan dan ketidaksempurnaan kita demi
mendapatkan perhatian. Kedua hal ini pada akhirnya berfokus pada satu tujuan
yang sama: pengakuan sosial. Tetapi kita lupa bertanya, apakah kita benar-benar
ingin diakui berdasarkan apa yang kita ungkapkan secara publik, atau
berdasarkan siapa kita sebenarnya di luar citra yang diciptakan dunia maya?
Pencarian
pengakuan ini seolah tak pernah berakhir. Setiap kali kita mendapatkan
perhatian, kita akan merasa puas sejenak, tetapi segera ada dorongan untuk
menunjukkan lebih banyak lagi, untuk menceritakan lebih banyak lagi. S-Line
bukan hanya tentang membagikan pengalaman, tetapi tentang terus-menerus mencari
pengakuan. Apa yang terjadi ketika pencarian ini tidak pernah berakhir? Kita
menjadi semakin terikat pada dunia maya, dan semakin jauh dari diri kita yang
sesungguhnya.
Pada akhirnya,
kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kebebasan dalam dunia media sosial ini bukanlah
kebebasan sejati. Kebebasan yang kita klaim hanya ilusi yang diciptakan oleh
tekanan sosial dan harapan dari dunia maya. Dalam mengejar pengakuan sosial
melalui S-Line, kita mengorbankan kebebasan untuk menjadi diri kita yang
sejati. Apa yang seharusnya menjadi pengalaman yang pribadi dan penuh makna,
kini menjadi konsumsi publik yang tidak pernah benar-benar selesai. S-Line
mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati bukanlah tentang seberapa banyak kita
berbagi, tetapi seberapa banyak kita bisa menerima diri kita sendiri tanpa
perlu pengakuan dunia luar.
Di dunia yang
semakin dipenuhi dengan citra dan representasi, kita harus belajar untuk
menemukan kebebasan yang sesungguhnya—bukan melalui garis merah atau pengakuan
dari orang lain, tetapi dengan menerima diri kita yang utuh dan tidak terukur.***