Oleh: Syamsul Kurniawan
SAYA menulis ini bukan dari podium megah, bukan pula dari tempat
yang tinggi. Saya menulis ini untuk dibacakan dalam sebuah ruang sempit, di
balik dinding Lapas Kelas 2A Pontianak, tempat manusia menjalani hari dengan
cara yang berbeda. Sebuah tempat yang tak banyak orang pilih untuk singgah,
tapi justru dari sana banyak kesadaran bisa lahir. Karena kadang, dalam sunyi
dan kehilangan arah, seseorang akhirnya bisa mendengar dirinya sendiri.
Setiap orang pernah jatuh. Itu bukan lelucon, bukan aib, bukan pula
vonis akhir. Itu fakta yang merata. Tak ada manusia tanpa kesalahan, hanya
berbeda bentuk dan waktunya.
Tapi hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari bahwa kesalahan
bukan sekadar jalan buntu. Kesalahan bisa jadi titik balik. Sebuah kesempatan
untuk melihat hidup dengan cara baru, untuk mengenali bagian dari diri kita
yang selama ini diabaikan.
Islam sendiri mengajarkan bahwa dosa bukan akhir dari segalanya.
Dalam setiap cerita para nabi, selalu ada ruang bagi manusia untuk kembali.
Bukan hanya kembali secara spiritual, tapi berubah secara nyata.
Perubahan itu bukan hasil dari ceramah panjang atau perintah keras.
Ia tumbuh dari dalam. Dari niat, dari kesadaran, dari pertanyaan kecil dalam
hati: "Maukah aku tetap seperti ini?"
James Clear dalam buku Atomic Habits (2018) menyebut bahwa
perubahan bukan soal kekuatan besar, melainkan soal sistem kecil yang
konsisten. Kebiasaan buruk tidak hilang dalam semalam, tapi perlahan
ditinggalkan dengan kebiasaan baru yang lebih baik.
Kita sering mengira perubahan itu harus drastis. Padahal, satu
langkah kecil yang dilakukan terus-menerus lebih berpengaruh daripada lompatan
besar yang hanya sekali. Seperti tetes air yang pelan-pelan melubangi batu.
Contoh kecil: memulai hari dengan satu doa. Tidak panjang, tidak
lantang. Tapi hadir. Dan kehadiran itu menjadi sinyal pada diri sendiri: aku
ingin berubah.
Langkah kecil lain: membaca satu ayat Al-Quran setiap pagi. Bahkan
jika belum paham maknanya, itu tetap cahaya yang masuk. Perlahan, ayat-ayat itu
akan berbicara pada kita, dengan caranya sendiri.
Mengapa kebiasaan kecil penting? Karena ia tidak mengancam. Ia
tidak membuat kita lelah. Dan justru karena itu, ia bisa bertahan lebih lama.
Lingkungan seperti Lapas bisa menjadi tempat subur untuk perubahan,
bila digunakan dengan benar. Dalam keterbatasan, kita belajar menyederhanakan
hidup. Dan dalam kesederhanaan itu, kita menemukan kembali apa yang esensial.
Bukan kebetulan jika dalam Islam, amal kecil tapi konsisten lebih
dicintai Allah dibanding amal besar tapi sesekali. Karena konsistensi
menandakan niat yang jujur dan usaha yang nyata.
Istiqamah Dimulai dari Langkah Pertama
Istiqamah bukan soal kuat atau hebat. Ia adalah soal setia. Setia
untuk tetap berada di jalur, meski pelan, meski jatuh bangun. Ia bukan tentang
sempurna, tapi tentang bertahan.
Langkah pertama mungkin remeh. Tapi tanpa itu, tidak akan ada
langkah kedua. Kita tidak bisa membangun hidup baru kalau tidak memulai dari
mana pun.
Satu kebiasaan baik setiap hari sudah cukup untuk menggerakkan roda
perubahan. Seiring waktu, kebiasaan itu akan menumpuk dan membentuk identitas
baru. Anda tidak lagi orang yang sama dengan kemarin.
Dan di situlah titik perubahan yang sejati: bukan hanya apa yang
kita lakukan berubah, tapi siapa kita di dalam juga bergeser.
James Clear menjelaskan bahwa perubahan jangka panjang terjadi saat
kita membangun identitas baru. Bukan hanya "saya ingin rajin shalat,"
tapi "saya adalah orang yang selalu mendekat pada Tuhan."
Kebiasaan adalah bukti identitas. Saat kita terus membaca Al-Quran,
itu bukan hanya aktivitas, itu adalah pernyataan: saya adalah orang yang butuh
petunjuk.
Ketika kita menghindari kata-kata kasar, menjaga lisan, itu bukan
soal sopan santun semata, tapi pengakuan: saya adalah orang yang ingin hidup
bersih.
Satu tindakan kecil bisa menjadi pondasi karakter baru. Dan
karakter adalah dasar dari kehidupan yang kokoh.
Dalam konteks ini, kita belajar bahwa hidup bukan soal menghapus
masa lalu, tapi membangun masa depan di atasnya. Batu yang dulu menjadi
sandungan, kini bisa menjadi pondasi.
Jangan takut pada masa lalu Anda. Tak ada yang bisa mengubahnya.
Tapi masa depan masih kosong. Dan Anda bisa mengisinya dengan apa pun.
Kita tidak sendirian dalam perjuangan ini. Bahkan Nabi Muhammad pun
mendapat wahyu secara bertahap. Islam sendiri turun perlahan, sesuai kemampuan
manusia untuk menerima.
Maka wajar bila kita berubah perlahan. Yang penting, kita tetap
bergerak ke arah yang sama.
Setiap kebiasaan baik yang Anda tanam hari ini, akan memengaruhi
Anda besok. Bahkan jika belum terlihat, perubahan itu sedang bekerja di dalam.
Hidup baru bukan hadiah. Ia adalah hasil. Dan hasil itu lahir dari
keputusan-keputusan kecil yang terus dilakukan.
Jangan tunggu semuanya siap. Mulailah dengan apa yang bisa Anda
lakukan hari ini. Bahkan jika hanya satu doa pendek sebelum tidur.
Karena saat Anda mulai, Anda telah menang melawan versi lama dari
diri Anda.
Dan bila Anda terus istiqamah, tidak lama lagi Anda akan berdiri
sebagai pribadi baru. Bukan karena Anda tidak punya masa lalu, tapi karena Anda
punya masa depan.
Akhirnya, semua orang ingin berubah. Tapi hanya sedikit yang
benar-benar memulai. Dan hanya mereka yang terus melangkah—meski kecil, meski
pelan—yang akhirnya sampai.
Hidup baru itu nyata. Dan ia dibangun dari kebiasaan kecil, yang
dikerjakan dengan hati yang jujur dan tekad yang sabar.***