Iklan

Pergeseran Tempat Belajar: Dari Teras Masjid ke Coffee Shop

syamsul kurniawan
Friday, September 26, 2025
Last Updated 2025-09-27T03:55:13Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pada awal tahun 2000-an, mahasiswa di kota kami memiliki ritme belajar yang berbeda dari hari ini. Kampus adalah pusat aktivitas akademik, tetapi belajar tidak terbatas di ruang kelas. Selain perpustakaan, teras-teras masjid menjadi alternatif yang nyaman dan murah, sekaligus tempat interaksi sosial dan intelektual.

 

Di sana, mahasiswa membaca kitab, mengulang materi kuliah, atau berdiskusi santai dengan teman. Suasana terbuka dan tenang memungkinkan interaksi spontan yang membangun komunitas belajar. Tidak jarang, diskusi yang dimulai dari pelajaran berubah menjadi debat ringan soal filsafat, sastra, atau isu sosial kontemporer.

 

Teras masjid bukan sekadar ruang fisik; ia adalah laboratorium sosial. Di sini, mahasiswa belajar tidak hanya teori, tetapi juga nilai-nilai toleransi, kesabaran, dan solidaritas. Tempat ini menawarkan kombinasi unik antara pendidikan formal dan pengalaman sosial yang tak tergantikan.

 

Namun, waktu membawa perubahan. Kota kami berkembang, muncul kawasan komersial, dan tren gaya hidup baru muncul. Coffee shop menjadi titik pertemuan baru yang populer di kalangan mahasiswa.

 

Coffee shop menawarkan kenyamanan, estetika, dan fasilitas modern yang sulit ditolak. Wi-Fi gratis, colokan listrik, dan desain interior yang instagramable membuat mahasiswa betah berlama-lama. Aroma kopi yang khas juga menjadi daya tarik tersendiri, membangkitkan sensasi produktivitas bagi sebagian orang.

 

Pergeseran ini bukan hanya soal fasilitas fisik. Ia menandai transformasi habitus mahasiswa, seperti yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu. Habitus sebagaimana diterangkan Bourdieau pada bukunya Outline of a Theory of Practice (1977) adalah struktur disposisi yang membimbing perilaku dan preferensi individu dalam menghadapi situasi sosial tertentu.

 

Di teras masjid, habitus mahasiswa terkait dengan kesederhanaan, norma sosial-religius, dan interaksi kolektif. Mahasiswa terbiasa belajar dalam komunitas, berbagi buku, dan berdiskusi tanpa tuntutan komersial.

 

Sebaliknya, coffee shop membentuk habitus yang lebih individualistis dan estetis. Pilihan tempat belajar kini menjadi ekspresi identitas sosial, bukan sekadar kebutuhan akademik. Mahasiswa membawa laptop canggih, pakaian kasual yang stylish, dan memanfaatkan fasilitas digital sebagai bagian dari rutinitas belajar.

 

Pergeseran ini menandai perubahan simbolik. Coffee shop bukan hanya tempat belajar; ia menjadi medium untuk membangun citra diri. Gelas kopi, laptop, dan meja rapi adalah simbol modernitas dan produktivitas.

 

Kota kami menjadi saksi perubahan ini. Jalan-jalan di pusat kota kini dipenuhi mahasiswa yang tersusun di meja-meja coffee shop, mengetik di laptop sambil sesekali mengambil foto untuk media sosial. Aktivitas belajar di tempat publik kini sarat nilai estetis dan performatif.

 

Dalam kerangka Greimas, coffee shop dapat diposisikan sebagai Subject. Mengacu pada pemikiran Greimas dalam Structural Semantics: An Attempt at a Method (1984), ia tampil sebagai ruang yang menawarkan tujuan: sebuah tempat bagi mahasiswa untuk belajar dengan nyaman, sekaligus menjaga citra diri. Mahasiswa sendiri hadir sebagai Actor, sementara coffee shop menjadi Object yang dipakai untuk meraih tujuan itu.

 

Pemilik coffee shop berperan sebagai Helper, menyediakan fasilitas dan suasana yang mendukung produktivitas sekaligus kenyamanan. Mereka menciptakan ruang yang memungkinkan mahasiswa untuk merasa “di rumah” sambil tetap berada dalam konteks komersial.

 

Di sisi lain, teras masjid kini menjadi Opponent. Tempat ini masih tersedia, tetapi kalah menarik bagi sebagian besar mahasiswa yang mengutamakan kenyamanan dan estetika modern.

 

Pergeseran ini tidak hanya soal tempat, tetapi juga soal praktik sosial. Diskusi yang dulu intens di teras masjid kini berubah bentuk; sering kali lebih privat dan tertata, dibatasi oleh ruang meja individual di coffee shop.

 

Coffee shop memfasilitasi simulasi produktivitas: gelas kopi menjadi simbol keseriusan belajar, bahkan ketika kegiatan belajar dilakukan sambil menonton media sosial atau mengerjakan tugas lain.

 

Pergeseran simbolik dan fungsi ini menunjukkan betapa habitus membentuk praktik sosial, sekaligus diperkuat oleh praktik itu sendiri. Mahasiswa memilih coffee shop karena mereka terbiasa dengan simbol modernitas dan kenyamanan, bukan semata untuk belajar.

 

Mahasiswa dengan modal ekonomi dan budaya lebih mudah menyesuaikan diri dengan coffee shop. Mereka membawa perangkat elektronik, pakaian yang modis, dan kemampuan memanfaatkan ruang digital untuk belajar dan bersosialisasi.

 

Mahasiswa dengan keterbatasan modal tetap menggunakan teras masjid atau ruang publik lain yang lebih murah. Perbedaan ini menegaskan bahwa tempat belajar bukan netral; ia menjadi medan simbolik yang memperlihatkan ketimpangan sosial.

 

Pilihan coffee shop juga menekankan estetika. Interior yang menarik, menu kopi yang mahal, dan suasana yang nyaman menjadi kode status sosial. Tempat belajar kini tidak hanya fungsional, tetapi juga simbolik.

 

Mahasiswa menjadi aktan yang sadar akan citra diri. Mereka berinteraksi dengan ruang bukan sekadar untuk belajar, tetapi juga untuk performativitas sosial. Media sosial semakin memperkuat dimensi ini melalui budaya “studygram”.

 

Pergeseran Simbol dan Fungsi

 

Pergeseran simbol dan fungsi antara teras masjid dan coffee shop menjadi jelas saat dianalisis dengan kerangka Actantial Greimas. Coffee shop sebagai Receiver menawarkan hasil belajar sekaligus status sosial, sedangkan mahasiswa sebagai Actor memanfaatkan ruang untuk mencapai tujuan produktivitas dan citra diri.

 

Coffee shop juga berperan sebagai Sender, yang menyalurkan manfaat simbolik dan fungsional: kenyamanan, koneksi sosial, dan pengalaman estetis. Fasilitas modern dan desain interior menjadi daya tarik utama yang memengaruhi pilihan mahasiswa.

 

Teras masjid tetap tersedia, tetapi fungsinya lebih simbolis. Ia menjadi lambang kesederhanaan, komunitas, dan nilai tradisi yang terpinggirkan oleh daya tarik modernitas.

 

Pergeseran fungsi terlihat dari aktivitas sosial yang berubah. Diskusi yang dulu terbuka dan kolektif kini lebih privat dan individual. Ruang menjadi medium performatif, bukan sekadar tempat belajar.

 

Pergeseran simbol juga tampak pada objek yang digunakan mahasiswa. Gelas kopi, laptop, dan earphone adalah atribut yang memberi makna baru pada praktik belajar. Mereka menjadi tanda modernitas dan prestise sosial.

 

Coffee shop menjadi arena di mana habitus bertemu modal sosial dan budaya. Mahasiswa menegaskan identitasnya melalui pilihan tempat, perilaku, dan interaksi dengan lingkungan.

 

Fungsi sosial teras masjid yang dulu menekankan solidaritas dan kesederhanaan kini tergantikan oleh fungsi estetis dan individualistik di coffee shop. Pergeseran ini tidak netral; ia memengaruhi cara mahasiswa memahami produktivitas dan interaksi sosial.

 

Dalam kerangka Greimas, coffee shop juga dapat dipandang sebagai Opponent, ketika mahasiswa menghadapi distraksi atau tekanan performatif dari lingkungan sosial dan digital.

 

Pergeseran simbolik dan fungsi ini menegaskan teori Bourdieu (1977): praktik sosial membentuk dan dibentuk oleh habitus. Pilihan tempat belajar bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi ekspresi identitas sosial dan modal yang dimiliki.

 

Kota kami menyaksikan evolusi gaya hidup ini setiap hari. Coffee shop menjadi tempat belajar, bekerja, dan bersosialisasi. Mahasiswa belajar sambil berbincang, mengetik tugas, atau sekadar menatap layar laptop sambil menikmati kopi.

 

Pergeseran ini juga memengaruhi persepsi tentang produktivitas. Coffee shop dipandang sebagai tempat yang “serius” untuk belajar karena simbol modernitas yang melekat padanya.

 

Mahasiswa menyesuaikan diri dengan aturan informal ruang baru: antre meja, memesan kopi minimal, dan menjaga etiket untuk tetap terlihat fokus dan sopan.

 

Teras masjid tetap ada sebagai pilihan, tetapi seringkali dipandang kurang nyaman atau “kuno” bagi generasi yang terbiasa dengan modernitas visual dan digital.

 

Pergeseran ini mencatat perubahan waktu, ruang, dan nilai dalam kehidupan sosial. Coffee shop bukan hanya tempat belajar; ia menjadi cermin identitas, kelas sosial, dan estetika hidup kontemporer.

 

Di antara aroma kopi dan keramaian kota, mahasiswa tetap belajar, berinteraksi, dan membentuk diri. Tempat belajar kini bukan sekadar ruang fisik, tetapi medium simbolik yang merekam sejarah sosial dan budaya, di mana setiap pilihan menandai siapa mereka, apa yang mereka hargai, dan bagaimana mereka ingin terlihat oleh dunia.***

 


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now