Oleh: Syamsul Kurniawan
Pada awal tahun 2000-an, mahasiswa
di kota kami memiliki ritme belajar yang berbeda dari hari ini. Kampus adalah
pusat aktivitas akademik, tetapi belajar tidak terbatas di ruang kelas. Selain perpustakaan, teras-teras masjid menjadi alternatif yang nyaman dan murah, sekaligus tempat
interaksi sosial dan intelektual.
Di sana, mahasiswa membaca kitab,
mengulang materi kuliah, atau berdiskusi santai dengan teman. Suasana terbuka
dan tenang memungkinkan interaksi spontan yang membangun komunitas belajar.
Tidak jarang, diskusi yang dimulai dari pelajaran berubah menjadi debat ringan
soal filsafat, sastra, atau isu sosial kontemporer.
Teras masjid bukan sekadar ruang
fisik; ia adalah laboratorium sosial. Di sini, mahasiswa belajar tidak hanya
teori, tetapi juga nilai-nilai toleransi, kesabaran, dan solidaritas. Tempat
ini menawarkan kombinasi unik antara pendidikan formal dan pengalaman sosial
yang tak tergantikan.
Namun, waktu membawa perubahan. Kota
kami berkembang, muncul kawasan komersial, dan tren gaya hidup baru muncul.
Coffee shop menjadi titik pertemuan baru yang populer di kalangan mahasiswa.
Coffee shop menawarkan kenyamanan,
estetika, dan fasilitas modern yang sulit ditolak. Wi-Fi gratis, colokan
listrik, dan desain interior yang instagramable membuat mahasiswa betah
berlama-lama. Aroma kopi yang khas juga menjadi daya tarik tersendiri, membangkitkan
sensasi produktivitas bagi sebagian orang.
Pergeseran ini bukan hanya soal
fasilitas fisik. Ia menandai transformasi habitus mahasiswa, seperti yang
dijelaskan oleh Pierre Bourdieu. Habitus sebagaimana diterangkan Bourdieau pada
bukunya Outline of a Theory of Practice (1977) adalah struktur disposisi
yang membimbing perilaku dan preferensi individu dalam menghadapi situasi
sosial tertentu.
Di teras masjid, habitus mahasiswa
terkait dengan kesederhanaan, norma sosial-religius, dan interaksi kolektif.
Mahasiswa terbiasa belajar dalam komunitas, berbagi buku, dan berdiskusi tanpa
tuntutan komersial.
Sebaliknya, coffee shop membentuk
habitus yang lebih individualistis dan estetis. Pilihan tempat belajar kini
menjadi ekspresi identitas sosial, bukan sekadar kebutuhan akademik. Mahasiswa
membawa laptop canggih, pakaian kasual yang stylish, dan memanfaatkan fasilitas
digital sebagai bagian dari rutinitas belajar.
Pergeseran ini menandai perubahan
simbolik. Coffee shop bukan hanya tempat belajar; ia menjadi medium untuk
membangun citra diri. Gelas kopi, laptop, dan meja rapi adalah simbol
modernitas dan produktivitas.
Kota kami menjadi saksi perubahan
ini. Jalan-jalan di pusat kota kini dipenuhi mahasiswa yang tersusun di
meja-meja coffee shop, mengetik di laptop sambil sesekali mengambil foto untuk
media sosial. Aktivitas belajar di tempat publik kini sarat nilai estetis dan
performatif.
Dalam kerangka Greimas, coffee shop dapat diposisikan sebagai Subject. Mengacu pada pemikiran Greimas dalam Structural Semantics: An Attempt at a Method (1984), ia tampil sebagai ruang yang menawarkan tujuan: sebuah tempat bagi mahasiswa untuk belajar dengan nyaman, sekaligus menjaga citra diri. Mahasiswa sendiri hadir sebagai Actor, sementara coffee shop menjadi Object yang dipakai untuk meraih tujuan itu.
Pemilik coffee shop berperan sebagai
Helper, menyediakan fasilitas dan suasana yang mendukung produktivitas
sekaligus kenyamanan. Mereka menciptakan ruang yang memungkinkan mahasiswa
untuk merasa “di rumah” sambil tetap berada dalam konteks komersial.
Di sisi lain, teras masjid kini
menjadi Opponent. Tempat ini masih tersedia, tetapi kalah menarik bagi sebagian
besar mahasiswa yang mengutamakan kenyamanan dan estetika modern.
Pergeseran ini tidak hanya soal
tempat, tetapi juga soal praktik sosial. Diskusi yang dulu intens di teras
masjid kini berubah bentuk; sering kali lebih privat dan tertata, dibatasi oleh
ruang meja individual di coffee shop.
Coffee shop memfasilitasi simulasi
produktivitas: gelas kopi menjadi simbol keseriusan belajar, bahkan ketika
kegiatan belajar dilakukan sambil menonton media sosial atau mengerjakan tugas
lain.
Pergeseran simbolik dan fungsi ini
menunjukkan betapa habitus membentuk praktik sosial, sekaligus diperkuat oleh
praktik itu sendiri. Mahasiswa memilih coffee shop karena mereka terbiasa
dengan simbol modernitas dan kenyamanan, bukan semata untuk belajar.
Mahasiswa dengan modal ekonomi dan
budaya lebih mudah menyesuaikan diri dengan coffee shop. Mereka membawa
perangkat elektronik, pakaian yang modis, dan kemampuan memanfaatkan ruang
digital untuk belajar dan bersosialisasi.
Mahasiswa dengan keterbatasan modal
tetap menggunakan teras masjid atau ruang publik lain yang lebih murah.
Perbedaan ini menegaskan bahwa tempat belajar bukan netral; ia menjadi medan
simbolik yang memperlihatkan ketimpangan sosial.
Pilihan coffee shop juga menekankan
estetika. Interior yang menarik, menu kopi yang mahal, dan suasana yang nyaman
menjadi kode status sosial. Tempat belajar kini tidak hanya fungsional, tetapi
juga simbolik.
Mahasiswa menjadi aktan yang sadar
akan citra diri. Mereka berinteraksi dengan ruang bukan sekadar untuk belajar,
tetapi juga untuk performativitas sosial. Media sosial semakin memperkuat
dimensi ini melalui budaya “studygram”.
Pergeseran Simbol dan Fungsi
Pergeseran simbol dan fungsi antara
teras masjid dan coffee shop menjadi jelas saat dianalisis dengan kerangka
Actantial Greimas. Coffee shop sebagai Receiver menawarkan hasil belajar
sekaligus status sosial, sedangkan mahasiswa sebagai Actor memanfaatkan ruang
untuk mencapai tujuan produktivitas dan citra diri.
Coffee shop juga berperan sebagai Sender,
yang menyalurkan manfaat simbolik dan fungsional: kenyamanan, koneksi sosial,
dan pengalaman estetis. Fasilitas modern dan desain interior menjadi daya tarik
utama yang memengaruhi pilihan mahasiswa.
Teras masjid tetap tersedia, tetapi
fungsinya lebih simbolis. Ia menjadi lambang kesederhanaan, komunitas, dan
nilai tradisi yang terpinggirkan oleh daya tarik modernitas.
Pergeseran fungsi terlihat dari
aktivitas sosial yang berubah. Diskusi yang dulu terbuka dan kolektif kini
lebih privat dan individual. Ruang menjadi medium performatif, bukan sekadar
tempat belajar.
Pergeseran simbol juga tampak pada
objek yang digunakan mahasiswa. Gelas kopi, laptop, dan earphone adalah atribut
yang memberi makna baru pada praktik belajar. Mereka menjadi tanda modernitas
dan prestise sosial.
Coffee shop menjadi arena di mana
habitus bertemu modal sosial dan budaya. Mahasiswa menegaskan identitasnya
melalui pilihan tempat, perilaku, dan interaksi dengan lingkungan.
Fungsi sosial teras masjid yang dulu
menekankan solidaritas dan kesederhanaan kini tergantikan oleh fungsi estetis
dan individualistik di coffee shop. Pergeseran ini tidak netral; ia memengaruhi
cara mahasiswa memahami produktivitas dan interaksi sosial.
Dalam kerangka Greimas, coffee shop
juga dapat dipandang sebagai Opponent, ketika mahasiswa menghadapi distraksi
atau tekanan performatif dari lingkungan sosial dan digital.
Pergeseran simbolik dan fungsi ini
menegaskan teori Bourdieu (1977): praktik sosial membentuk dan dibentuk oleh
habitus. Pilihan tempat belajar bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi ekspresi
identitas sosial dan modal yang dimiliki.
Kota kami menyaksikan evolusi gaya
hidup ini setiap hari. Coffee shop menjadi tempat belajar, bekerja, dan
bersosialisasi. Mahasiswa belajar sambil berbincang, mengetik tugas, atau
sekadar menatap layar laptop sambil menikmati kopi.
Pergeseran ini juga memengaruhi
persepsi tentang produktivitas. Coffee shop dipandang sebagai tempat yang
“serius” untuk belajar karena simbol modernitas yang melekat padanya.
Mahasiswa menyesuaikan diri dengan
aturan informal ruang baru: antre meja, memesan kopi minimal, dan menjaga
etiket untuk tetap terlihat fokus dan sopan.
Teras masjid tetap ada sebagai
pilihan, tetapi seringkali dipandang kurang nyaman atau “kuno” bagi generasi
yang terbiasa dengan modernitas visual dan digital.
Pergeseran ini mencatat perubahan
waktu, ruang, dan nilai dalam kehidupan sosial. Coffee shop bukan hanya tempat
belajar; ia menjadi cermin identitas, kelas sosial, dan estetika hidup
kontemporer.
Di antara aroma kopi dan keramaian
kota, mahasiswa tetap belajar, berinteraksi, dan membentuk diri. Tempat belajar
kini bukan sekadar ruang fisik, tetapi medium simbolik yang merekam sejarah
sosial dan budaya, di mana setiap pilihan menandai siapa mereka, apa yang
mereka hargai, dan bagaimana mereka ingin terlihat oleh dunia.***