Iklan

Kontestasi MTQ dan Eksistensi Budaya Literasi Al-Qur’an

syamsul kurniawan
Friday, September 19, 2025
Last Updated 2025-09-23T05:20:08Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Perjalanan panjang itu dimulai dari Terminal Bis Perintis di Pontianak. Jam menunjukkan pukul dua siang ketika saya menaiki sebuah bis eksekutif—berpendingin udara, kursinya lebar, sandarannya bisa diturunkan hampir setengah rebah. Saya tidak ikut rombongan resmi yang lebih dulu berangkat, melainkan memilih jalur sendiri: membeli tiket, mencari kenyamanan, dan bersiap menempuh jarak lebih dari enam ratus kilometer menuju Kapuas Hulu.


Di dalam bis, suasana tenang. Lantunan lagu-lagu lawas mengalun: Sheila on 7, Ada Band, bahkan sesekali Kahitna. Musik itu seakan mengisi ruang di antara kantuk dan kesadaran. Perjalanan panjang yang melewati jalan hutan, jembatan kayu, dan sungai yang berkilau samar di bawah cahaya bulan menjadi terasa lebih ringan.


Saya tertidur, terbangun, lalu tertidur lagi. Waktu berlari pelan, bergulir dari senja ke tengah malam. Jam lima pagi keesokan hari, bis akhirnya berhenti di Putussibau. Udara dingin menggigit, berbeda sekali dari lembapnya Pontianak. Tubuh masih segar, karena perjalanan panjang itu memberi cukup ruang untuk beristirahat. Di ujungnya, sebuah helat besar menunggu: Musabaqah Tilawatil Qur’an ke-XXXIII Provinsi Kalimantan Barat.


Bagi sebagian orang, perjalanan sejauh ini terasa seperti upaya menuju titik terjauh. Kapuas Hulu memang disebut daerah paling ujung di Kalimantan Barat—sebuah kabupaten seluas lebih dari 31 ribu kilometer persegi, berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia.


Namun jarak sejauh itu terasa terbayar ketika memasuki kota kecil Putussibau. Di sepanjang jalan, umbul-umbul dipasang, baliho MTQ menghiasi setiap persimpangan. Semuanya menunjukkan satu hal: masyarakat menyambut dengan hangat.


Yang menarik, sambutan itu tidak hanya datang dari umat Islam. Saya melihat warga non-muslim ikut menata kota, menyiapkan penginapan, bahkan hadir di arena pembukaan. Ada suasana kebersamaan yang sulit dipalsukan: seakan seluruh Kapuas Hulu sepakat, MTQ adalah hajatan mereka semua.


Di situ, saya menangkap sesuatu yang lebih dalam. MTQ bukan sekadar lomba membaca kitab suci. Ia adalah panggung di mana sebuah tradisi bertemu dengan keberagaman, sebuah ruang di mana literasi Al-Qur’an menemukan eksistensi barunya.


Eksistensi, sebuah kata yang sederhana namun sarat makna. Keberadaan yang tak statis, selalu bergerak dari kemungkinan ke kenyataan. Seperti perjalanan manusia, yang tak pernah berhenti di satu titik.


Bereksistensi berarti berani mengambil keputusan, menentukan jalan hidup, dan menanggung konsekuensinya. Demikian pula MTQ: sebuah keputusan kolektif untuk menjaga agar literasi Al-Qur’an tetap hidup, meski dunia terus berubah.


Di balik panggung tilawah, ada kerja sunyi yang panjang: anak-anak belajar huruf hijaiyah, remaja melatih makhraj, qari dan qariah mengasah tajwid. Semua itu adalah bentuk keberanian manusia untuk memilih jalan keberadaannya.

 

Mengapa Helat MTQ Penting?


Tradisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah adat kebiasaan turun-temurun. Ia adalah warisan yang mengalir dari masa lalu ke masa kini. MTQ adalah salah satu bentuk tradisi itu: warisan yang dijaga, sekaligus dihidupkan kembali.


Tradisi tidak sekadar mengulang. Ia memiliki fungsi: menjaga pandangan hidup, memperkuat identitas, dan menyediakan ruang pelarian dari kebisingan modernitas. MTQ menjadi wadah kolektif untuk meneguhkan keyakinan sekaligus merayakan kebersamaan.


Dalam riuh globalisasi, di mana identitas sering terombang-ambing, MTQ menghadirkan jangkar. Ia menawarkan kepastian: bahwa ada sesuatu yang bisa dipegang bersama.


Namun tradisi tak pernah benar-benar statis. Ia selalu bergerak, menyesuaikan, bernegosiasi. Di panggung MTQ, tradisi membaca Al-Qur’an bertemu dengan teknologi: tata suara modern, pencahayaan megah, hingga siaran langsung di televisi dan media sosial.


Di sinilah prinsip interaksionisme simbolik relevan. Membaca Al-Qur’an di panggung bukan sekadar melafalkan teks. Ia adalah tindakan simbolik: penegasan identitas, representasi iman, sekaligus ekspresi estetika.


Makna itu tidak tunggal. Dewan Hakim menilai berdasarkan kaidah tajwid, audiens muslim mendengarkan dengan kekhusyukan, sementara masyarakat non-muslim mungkin menangkapnya sebagai ekspresi budaya. Semua melihat dari sudut pandangnya sendiri.


Namun di situlah kekuatan sebuah simbol: ia mampu menampung banyak tafsir, dan tetap menyatukan.


Durkheim pernah membedakan dua jenis solidaritas: mekanik dan organik. Solidaritas mekanik tumbuh dari kesamaan nilai, sedangkan solidaritas organik lahir dari perbedaan yang saling melengkapi.


MTQ di Kapuas Hulu memperlihatkan keduanya. Solidaritas mekanik tampak di kalangan umat Islam yang bersama-sama menjaga tradisi literasi Al-Qur’an. Solidaritas organik hadir ketika warga non-muslim ikut menyukseskan acara, menjadikannya pesta kultural bersama.


Dengan begitu, MTQ bukan hanya acara keagamaan. Ia menjadi ajang memperkuat kohesi sosial, membangun jembatan antar-komunitas, dan menghidupkan kembali rasa kebersamaan yang jarang ditemui di tengah fragmentasi sosial.


Namun, agar lebih dalam, kita perlu membaca peristiwa ini lewat kacamata hermeneutika Fazlur Rahman. Ia menekankan bahwa Al-Qur’an harus dipahami dengan dua gerak: dari konteks historis ke prinsip moral universal, lalu kembali lagi ke konteks kekinian.


Dalam kerangka itu, MTQ tidak berhenti pada keindahan suara tilawah. Ia adalah ajakan untuk meneguhkan pesan moral Al-Qur’an: keadilan, kasih sayang, dan keberlanjutan hidup.


Spirit literasi Al-Qur’an mencakup empat hal: membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan. MTQ menonjol pada aspek membaca, namun semestinya menjadi pintu menuju tiga tahap berikutnya.


Membaca Al-Qur’an di arena MTQ adalah gerbang. Yang lebih penting adalah bagaimana bacaan itu menumbuhkan refleksi, menggerakkan hati, dan akhirnya melahirkan tindakan.


Saya percaya, di balik tepuk tangan penonton, ada jiwa-jiwa yang tersentuh. Seorang anak mungkin terdorong untuk belajar iqra’, seorang ayah mungkin kembali membuka mushaf, seorang ibu mungkin ingin menanamkan kedekatan anaknya dengan Al-Qur’an.


Perubahan sosial sering lahir dari getaran kecil semacam itu. Dari perasaan yang sederhana, lalu berkembang menjadi gerakan kolektif.


Masyarakat, kata sosiologi, selalu berubah. Ada perubahan struktural, ada pula perubahan proses. MTQ berada di titik persilangan: mempertahankan struktur tradisi, namun juga membuka diri pada proses modernisasi.


Kita lihat bagaimana helat MTQ kini menjadi agenda wisata, menggerakkan ekonomi lokal, dan dipromosikan di media digital. Semua itu adalah bentuk transformasi, tanpa kehilangan akar.


Tradisi semacam ini membuktikan dirinya lentur, mampu menyesuaikan dengan zaman. Ia bukan museum yang beku, melainkan sungai yang terus mengalir.


Jika perubahan lambat disebut evolusi, maka MTQ adalah sebuah evolusi tradisi. Ia bergerak perlahan, bernegosiasi dengan modernitas, namun tetap menjaga inti: literasi Al-Qur’an.


Pertanyaannya: apa arti semua ini di tengah masyarakat yang makin sekuler, pragmatis, dan materialistis?


Jawaban saya: justru di situlah relevansinya. MTQ adalah pengingat, bahwa ada ruang yang tak boleh hilang—ruang spiritual, ruang tradisi, ruang literasi.


Al-Qur’an, dengan kekuatan teksnya, bukan hanya kitab agama. Ia adalah kitab literasi: menuntut untuk dibaca, ditulis, ditafsirkan, dan diamalkan.


Helat MTQ, dengan segala riuhnya, adalah cara menjaga agar literasi itu tetap hidup. Ia merawat eksistensi yang bisa saja pudar jika tak dijaga bersama.


Dan ketika saya meninggalkan Kapuas Hulu, kembali menempuh perjalanan panjang menuju Pontianak, saya membawa pulang kesadaran itu: bahwa MTQ bukan sekadar lomba tahunan, melainkan ikhtiar kolektif agar suara Al-Qur’an tetap bergema, dari generasi ke generasi.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now