Oleh:
Syamsul Kurniawan
PROGRAM
Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya adalah gagasan mulia. Di negara yang masih
menghadapi stunting dan ketimpangan akses gizi, rencana menyasar anak-anak
sekolah dan ibu hamil/menyusui adalah usaha konkret agar “masa depan generasi”
tidak luntur karena kelaparan pasif.
Namun,
sebagaimana pepatah lama: tidak ada makan siang gratis. Niat baik tidak selalu
berbanding lurus dengan hasil. Rentetan kasus keracunan dari beberapa provinsi
menyingkap sisi gelap program ini. Niat membina kesejahteraan bisa runtuh bila
sarana pelaksanaannya kacau. Gizi bukan sekadar kalori; gizi adalah
kredibilitas negara terhadap masa depan bangsanya. Dalam bahasa sederhana, jika
negara gagal menjaga “kebersihan gizi”, negara juga gagal menjaga kepercayaan
warganya.
Dari
perspektif Emile Durkheim (1893), masyarakat dibangun oleh “collective
consciousness” — kesadaran kolektif yang menyatukan norma, nilai, dan
praktik sosial. Program MBG, bila berjalan lancar, seharusnya menjadi simbol
solidaritas sosial: negara dan warga bergerak bersama untuk masa depan
generasi.
Tetapi
kasus keracunan menunjukkan fragmentasi kolektif ini. Solidaritas terguncang
ketika kepercayaan terhadap institusi runtuh, dan collective consciousness
tergantikan oleh rasa curiga. Kegagalan MBG berpotensi melahirkan dystopia
gizi: anak-anak mengenang janji negara sebagai pengalaman yang menyakitkan.
Mereka
tidak hanya sakit secara fisik, tetapi juga secara simbolik: negara yang
seharusnya melindungi, justru melukai. Dalam bahasa Durkheim, institusi sosial
yang gagal menegakkan norma moral kolektif akan menimbulkan “anomie” — keadaan
di mana norma-norma sosial tidak lagi terinternalisasi secara efektif.
Anak-anak
yang menjadi korban tidak sekadar menanggung efek fisik; mereka mewarisi
kebingungan moral: percaya atau tidak percaya pada program sosial berikutnya.
Paradoksnya, masalah muncul pada tahap operasional. Dapur sekolah, distribusi
makanan, dan pengawasan mutu sering kali diserahkan pada petugas lokal yang
kekurangan sumber daya atau pelatihan sanitasi.
Negara
membangun institusi gizi nasional yang besar, tapi kelemahan mikro menjadi
titik lemah yang memukul sistem. Audit independen dan kontrol mikro bukan
sekadar prosedur: ini adalah upaya agar collective consciousness tidak tergerus
oleh kecurigaan dan kegagalan struktural.
Yang
perlu dievaluasi
Ivan
Illich (1972) mengingatkan bahwa lembaga yang terlalu sentralistis bisa
mematikan tanggung jawab lokal. Dalam konteks MBG, jika dapur menjadi “kotak
hitam” tanpa partisipasi komunitas, warga hanya menjadi penonton.
Pierre
Bourdieu (1977) menambahkan bahwa ketimpangan modal sosial dan budaya akan
diperkuat: anak dari keluarga mampu punya alternatif, sedangkan anak miskin
tetap bergantung pada program yang berisiko. Ketika anak-anak miskin mengalami
keracunan, pengalaman itu tertanam dalam habitus mereka: skeptisisme terhadap
bantuan negara menjadi norma.
Solidaritas
sosial dan integrasi moral lahir dari praktik kolektif yang jelas dan dapat
dipercaya. MBG seharusnya bukan sekadar distribusi kalori, tetapi ritual
kolektif yang memperkuat kohesi sosial. Guru, orang tua, siswa, dan pemerintah
bergerak bersama, menciptakan “ritual gizi” yang meneguhkan kepercayaan. Bila
ritual ini gagal, maka solidaritas terguncang. Anak-anak akan mencatat: “Negara
menjanjikan makan sehat, tapi saya keracunan.”
Kesadaran
kolektif pun mulai retak, norma moral tergeser oleh pragmatisme dan rasa takut.
Niat baik belum menjamin kualitas. Sarana, sumber daya, dan pendidikan petugas
menjadi determinan utama. Mekanisme birokrasi yang dominan sering mendesain
agar anggaran “berjalan”, sementara kontrol kualitas menjadi jenuh.
Bagian
“detil operasional” diserahkan pada petugas lokal, yang mungkin kekurangan
sumber daya, pengetahuan sanitasi, atau pemahaman keselamatan pangan.
Paradoksnya, negara membangun lembaga gizi besar, tapi kelemahan mikro bisa
menumbangkan seluruh sistem.
Media
memberitakan kasus keracunan adalah alarm: institusi sudah mulai menunjukkan
retak. Jika menunggu “kesempurnaan” sebelum memperbaiki, retak itu bisa
melebar. Audit mikro, pelatihan, dan kontrol independen harus segera dilakukan.
MBG harus menjadi program convivial: memberi ruang bagi sekolah, komunitas,
bahkan siswa untuk ikut bertanggung jawab.
Partisipasi
lokal bukan kemewahan, melainkan keharusan agar sistem tidak menjadi lembaga
yang memonopoli. Jika gagal, MBG bukan sekadar kehilangan nutrisi: ia
menghancurkan narasi kolektif, memunculkan ketidakpercayaan, dan memperkuat
ketimpangan sosial.
Dystopia
gizi bukan sekadar perut yang mual, tetapi masyarakat yang meragukan setiap
janji negara. Dan satirnya, bayangkan sebuah negeri di mana janji-janji mulia
tentang gizi berubah menjadi simbol ketidakpastian. Solidaritas moral? Anomie?
Semua itu tersisa sebagai cerita abstrak di laporan-laporan resmi, sementara
masyarakat menertawakan kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Gratis, memang—tapi harganya bukan hanya di perut, melainkan di kepercayaan dan
kesadaran kolektif.***