Iklan

Gizi dan Kepercayaan: Makan Gratis yang Membelah Kesadaran Kolektif

syamsul kurniawan
Sunday, September 28, 2025
Last Updated 2025-09-29T01:42:59Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan 

 

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya adalah gagasan mulia. Di negara yang masih menghadapi stunting dan ketimpangan akses gizi, rencana menyasar anak-anak sekolah dan ibu hamil/menyusui adalah usaha konkret agar “masa depan generasi” tidak luntur karena kelaparan pasif.

 

Namun, sebagaimana pepatah lama: tidak ada makan siang gratis. Niat baik tidak selalu berbanding lurus dengan hasil. Rentetan kasus keracunan dari beberapa provinsi menyingkap sisi gelap program ini. Niat membina kesejahteraan bisa runtuh bila sarana pelaksanaannya kacau. Gizi bukan sekadar kalori; gizi adalah kredibilitas negara terhadap masa depan bangsanya. Dalam bahasa sederhana, jika negara gagal menjaga “kebersihan gizi”, negara juga gagal menjaga kepercayaan warganya.

 

Dari perspektif Emile Durkheim (1893), masyarakat dibangun oleh “collective consciousness” — kesadaran kolektif yang menyatukan norma, nilai, dan praktik sosial. Program MBG, bila berjalan lancar, seharusnya menjadi simbol solidaritas sosial: negara dan warga bergerak bersama untuk masa depan generasi.

 

Tetapi kasus keracunan menunjukkan fragmentasi kolektif ini. Solidaritas terguncang ketika kepercayaan terhadap institusi runtuh, dan collective consciousness tergantikan oleh rasa curiga. Kegagalan MBG berpotensi melahirkan dystopia gizi: anak-anak mengenang janji negara sebagai pengalaman yang menyakitkan.

 

Mereka tidak hanya sakit secara fisik, tetapi juga secara simbolik: negara yang seharusnya melindungi, justru melukai. Dalam bahasa Durkheim, institusi sosial yang gagal menegakkan norma moral kolektif akan menimbulkan “anomie” — keadaan di mana norma-norma sosial tidak lagi terinternalisasi secara efektif.

 

Anak-anak yang menjadi korban tidak sekadar menanggung efek fisik; mereka mewarisi kebingungan moral: percaya atau tidak percaya pada program sosial berikutnya. Paradoksnya, masalah muncul pada tahap operasional. Dapur sekolah, distribusi makanan, dan pengawasan mutu sering kali diserahkan pada petugas lokal yang kekurangan sumber daya atau pelatihan sanitasi.

 

Negara membangun institusi gizi nasional yang besar, tapi kelemahan mikro menjadi titik lemah yang memukul sistem. Audit independen dan kontrol mikro bukan sekadar prosedur: ini adalah upaya agar collective consciousness tidak tergerus oleh kecurigaan dan kegagalan struktural.


Yang perlu dievaluasi

 

Ivan Illich (1972) mengingatkan bahwa lembaga yang terlalu sentralistis bisa mematikan tanggung jawab lokal. Dalam konteks MBG, jika dapur menjadi “kotak hitam” tanpa partisipasi komunitas, warga hanya menjadi penonton.

 

Pierre Bourdieu (1977) menambahkan bahwa ketimpangan modal sosial dan budaya akan diperkuat: anak dari keluarga mampu punya alternatif, sedangkan anak miskin tetap bergantung pada program yang berisiko. Ketika anak-anak miskin mengalami keracunan, pengalaman itu tertanam dalam habitus mereka: skeptisisme terhadap bantuan negara menjadi norma.

 

Solidaritas sosial dan integrasi moral lahir dari praktik kolektif yang jelas dan dapat dipercaya. MBG seharusnya bukan sekadar distribusi kalori, tetapi ritual kolektif yang memperkuat kohesi sosial. Guru, orang tua, siswa, dan pemerintah bergerak bersama, menciptakan “ritual gizi” yang meneguhkan kepercayaan. Bila ritual ini gagal, maka solidaritas terguncang. Anak-anak akan mencatat: “Negara menjanjikan makan sehat, tapi saya keracunan.”

 

Kesadaran kolektif pun mulai retak, norma moral tergeser oleh pragmatisme dan rasa takut. Niat baik belum menjamin kualitas. Sarana, sumber daya, dan pendidikan petugas menjadi determinan utama. Mekanisme birokrasi yang dominan sering mendesain agar anggaran “berjalan”, sementara kontrol kualitas menjadi jenuh.

 

Bagian “detil operasional” diserahkan pada petugas lokal, yang mungkin kekurangan sumber daya, pengetahuan sanitasi, atau pemahaman keselamatan pangan. Paradoksnya, negara membangun lembaga gizi besar, tapi kelemahan mikro bisa menumbangkan seluruh sistem.

 

Media memberitakan kasus keracunan adalah alarm: institusi sudah mulai menunjukkan retak. Jika menunggu “kesempurnaan” sebelum memperbaiki, retak itu bisa melebar. Audit mikro, pelatihan, dan kontrol independen harus segera dilakukan. MBG harus menjadi program convivial: memberi ruang bagi sekolah, komunitas, bahkan siswa untuk ikut bertanggung jawab.

 

Partisipasi lokal bukan kemewahan, melainkan keharusan agar sistem tidak menjadi lembaga yang memonopoli. Jika gagal, MBG bukan sekadar kehilangan nutrisi: ia menghancurkan narasi kolektif, memunculkan ketidakpercayaan, dan memperkuat ketimpangan sosial.

 

Dystopia gizi bukan sekadar perut yang mual, tetapi masyarakat yang meragukan setiap janji negara. Dan satirnya, bayangkan sebuah negeri di mana janji-janji mulia tentang gizi berubah menjadi simbol ketidakpastian. Solidaritas moral? Anomie? Semua itu tersisa sebagai cerita abstrak di laporan-laporan resmi, sementara masyarakat menertawakan kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka. Gratis, memang—tapi harganya bukan hanya di perut, melainkan di kepercayaan dan kesadaran kolektif.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now