Iklan

Menalar Perubahan Sosial Umat Beragama

syamsul kurniawan
Wednesday, October 1, 2025
Last Updated 2025-10-04T13:57:21Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan


Di sebuah zaman yang bergerak cepat, kita selalu berhadapan dengan pertanyaan lama: bagaimana umat beragama menyesuaikan diri dengan perubahan sosial? Pertanyaan ini sesungguhnya bukan semata-mata soal doktrin atau kitab, melainkan soal struktur kehidupan yang menubuh ke dalam keseharian. Perubahan itu datang seperti arus deras, membawa umat pada ketegangan antara yang lama dan yang baru. Kita bisa meminjam lensa para pemikir besar untuk menalar, agar ketegangan itu dapat dipahami bukan sekadar sebagai krisis, melainkan sebagai gejala sosial yang wajar.


Karl Marx memulai dengan keyakinan bahwa yang menentukan kesadaran manusia bukanlah langit ide, melainkan tanah ekonomi yang dipijak. Bagi Marx, agama sering tampil sebagai superstruktur: sebuah bangunan gagasan yang berdiri di atas basis material. Basis ini—siapa yang memiliki alat produksi, siapa yang menjual tenaga kerja—mengarahkan bukan hanya bentuk politik, tapi juga corak iman. Agama, dalam pandangan itu, bisa menjadi candu yang menenangkan kegelisahan proletariat, atau justru bisa berubah menjadi senjata ideologis melawan penindasan.


Umat beragama, dalam kacamata Marx, hidup di antara tarik menarik itu. Di satu sisi, iman mereka bisa dijinakkan oleh kelas borjuis untuk menjaga ketertiban. Di sisi lain, iman juga bisa mengobarkan perlawanan, ketika kesenjangan ekonomi menjadi terlalu mencolok. Maka, perubahan sosial umat beragama pertama-tama adalah cermin dari dinamika kepemilikan, produksi, dan distribusi. Bahkan doa pun, pada suatu titik, tidak terlepas dari politik roti.


Namun, Marx bukan satu-satunya yang memberi kita kerangka. Emile Durkheim mengingatkan, bahwa agama juga adalah perekat kolektif. Kesadaran kolektif umat terbentuk bukan dari logika kelas, melainkan dari ikatan simbol, ritual, dan nilai bersama. Ia membedakan solidaritas mekanik—di mana ikatan dibangun oleh kesamaan yang nyaris total—dan solidaritas organik—di mana keterhubungan justru lahir dari perbedaan dan pembagian kerja. Dalam kerangka ini, agama hadir sebagai ruang yang memberi makna dan keteraturan.


Ketika solidaritas mekanik masih kuat, agama berfungsi sebagai hukum sakral yang tak tergugat. Tetapi dalam masyarakat modern, yang bergerak ke arah solidaritas organik, agama menghadapi ujian baru. Ia tidak lagi bisa sekadar menjadi aturan kolektif yang seragam, melainkan harus bernegosiasi dengan diferensiasi sosial. Di titik inilah Durkheim bicara tentang anomie: sebuah kondisi ketika aturan lama runtuh, tetapi aturan baru belum mapan.


Umat beragama hari ini mungkin sedang berada dalam ruang anomie itu. Tradisi lama masih ada, tetapi dunia digital, kapitalisme global, dan pluralisme nilai mengguncang pijakan. Di sini, agama bisa terjebak menjadi dogma yang keras demi menjaga kepastian, atau justru melebur dalam relativisme yang cair. Kedua-duanya adalah risiko, dan Durkheim membantu kita melihat bahwa perubahan sosial umat beragama bukanlah penyimpangan, melainkan gejala transisi solidaritas.


Max Weber kemudian masuk, membawa dimensi yang lebih halus. Baginya, agama bukan sekadar superstruktur ekonomi, tetapi juga sumber motivasi etis yang membentuk arah sejarah. Ia menulis tentang “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,” di mana agama justru menjadi motor lahirnya rasionalitas ekonomi modern. Artinya, iman dapat mencetak cara kerja, bahkan memberi ruh pada kapitalisme itu sendiri.


Weber ingin kita paham, bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai candu atau perekat, tapi juga sebagai penggerak. Iman bisa menyalakan etos kerja, disiplin, dan tanggung jawab. Rasionalitas instrumental yang kita lihat dalam birokrasi modern, sebagian dipupuk oleh nilai-nilai religius yang dulu mendisiplinkan tubuh dan waktu. Maka, perubahan sosial umat beragama selalu melibatkan dialektika antara makna dan tindakan.


Namun, Weber juga mengingatkan akan bahaya “sang sangkar besi” rasionalitas. Agama yang dulu memberi makna, akhirnya bisa digantikan oleh sistem birokratis yang tanpa jiwa. Umat beragama lalu terperangkap dalam rutinitas tanpa spiritualitas. Kita seolah taat pada mekanisme, tetapi kehilangan horizon transenden.

 

***


Di titik inilah Michel Foucault menyalakan lampu. Ia mengatakan, kekuasaan tidak hanya ada di tangan negara atau kapitalis, tetapi merembes ke dalam jaringan pengetahuan, wacana, bahkan tubuh. Agama, dalam pandangan ini, bisa menjadi teknologi kekuasaan. Ia mengatur bagaimana umat berbicara, berdoa, bahkan bagaimana tubuh mereka bergerak. Kekuasaan itu tidak selalu menindas; ia bisa menormalisasi.


Foucault membuat kita sadar, bahwa perubahan sosial umat beragama juga terkait dengan bagaimana kekuasaan dijalankan lewat disiplin. Misalnya, lewat tata cara berpakaian, aturan ibadah, atau tafsir kitab yang dilembagakan. Di balik doa yang khusyuk, ada relasi kuasa yang menentukan mana doa yang sahih dan mana yang menyimpang. Agama, dalam pandangan ini, bukan sekadar iman, tapi juga rezim kebenaran.


Namun Foucault juga membuka ruang: bila kuasa menyebar, maka resistensi juga ada di mana-mana. Perubahan sosial umat beragama tidak hanya datang dari atas, melainkan dari tubuh-tubuh kecil yang menolak, dari interpretasi minor yang menyelinap, dari umat yang menemukan cara baru membaca teks. Maka, agama bukanlah bangunan beku, tetapi medan pergulatan wacana.


Anthony Giddens lalu menambahkan dimensi lain: hubungan antara struktur dan agensi. Ia menolak melihat struktur sebagai penjara total, atau agensi sebagai kebebasan mutlak. Baginya, umat beragama berinteraksi dengan aturan-aturan agama sembari menafsir ulang, memproduksi ulang, dan kadang mengubahnya. Struktur ada, tetapi ia juga dibentuk oleh praktik umat sehari-hari.


Dalam teori strukturasi Giddens, kita melihat bagaimana umat beragama bukan sekadar obyek. Mereka adalah pelaku yang, dengan doa, ibadah, atau aktivitas sosial, sesungguhnya memperkuat atau mengubah struktur agamanya sendiri. Agama lalu tampak sebagai medan dinamis, bukan semata tradisi beku. Perubahan sosial pun adalah hasil interaksi berulang antara teks, institusi, dan tubuh umat.


Talcott Parsons, dengan paradigma AGIL-nya, memberi kita cara lain membaca. Ia menekankan bahwa sistem sosial bertahan karena menjalankan empat fungsi: Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latency. Agama, dalam kerangka ini, adalah mekanisme integrasi dan pemeliharaan pola (latency). Ia menjaga masyarakat agar tetap memiliki nilai dan arah.


Tetapi ketika agama gagal menjalankan fungsi integrasi, lahirlah ketegangan. Misalnya, ketika ajaran tidak mampu lagi menjawab masalah ekonomi atau ekologi, umat beragama mencari sumber nilai lain. Maka, perubahan sosial di tubuh umat beragama bisa dibaca sebagai kegagalan fungsi integratif. Parsons mengingatkan, stabilitas butuh adaptasi, dan agama harus mampu menjawab kebutuhan zaman.


Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa agama juga adalah habitus. Ia tertanam dalam tubuh, kebiasaan, dan rasa. Agama bukan hanya ajaran di kepala, tetapi juga cara duduk, cara makan, cara menyapa, bahkan cara berdoa. Habitus ini terus direproduksi dalam ranah (field) tertentu, dan setiap ranah punya logika kuasanya sendiri.


Perubahan sosial umat beragama berarti perubahan habitus. Saat umat terbiasa dengan digital, dengan globalisasi, dengan gaya hidup baru, habitus lama ikut terguncang. Doa tidak lagi hanya di masjid, tapi juga di layar ponsel. Zikir tidak hanya di bibir, tapi juga di ruang daring yang penuh emotikon. Habitus berubah, dan bersamanya juga berubah cara umat menghayati iman.


Jurgen Habermas lalu menaruh perhatian pada ruang publik. Ia percaya, demokrasi sehat memerlukan ruang diskusi yang rasional, di mana warga bisa berargumentasi tanpa dipaksa. Agama, di sini, berhadapan dengan tantangan besar: bagaimana mengartikulasikan diri di ruang publik yang plural. Bagaimana iman bisa ikut bicara tanpa mendominasi, tanpa menjadi tirani mayoritas.


Habermas memberi harapan: agama bisa tetap hadir di ruang publik, asal ia bersedia menerjemahkan dirinya ke bahasa yang komunikatif. Umat beragama bisa membawa nilai-nilai moral ke perdebatan publik, asal ia siap berdialog dengan rasionalitas sekuler. Perubahan sosial umat beragama, di sini, adalah perubahan menuju keterbukaan, menuju kemampuan berdialog.


Namun, Habermas juga tahu risikonya: ruang publik bisa terkooptasi oleh media massa, kapitalisme, atau politik populis. Maka, agama bisa kehilangan suaranya, atau justru diseret menjadi alat propaganda. Perubahan umat beragama lalu menjadi semacam tarik-ulur antara suara iman dan logika kapital.


Zygmunt Bauman memperkenalkan kita pada “modernitas cair.” Dunia hari ini tidak lagi kokoh, tidak lagi memberi kepastian. Semua serba sementara, serba cepat, serba cair. Umat beragama hidup dalam dunia yang penuh pilihan, tetapi juga penuh ketidakpastian.


Dalam dunia cair itu, iman berhadapan dengan fragmentasi. Orang bisa percaya hari ini, ragu besok, dan berpindah lusa. Agama harus berhadapan dengan mobilitas identitas, dengan loyalitas yang rapuh. Ritual bisa dilihat sebagai komoditas, doa bisa menjadi hiburan.


Bauman membuat kita sadar, perubahan sosial umat beragama bukan lagi sekadar transisi menuju modernitas, tetapi hidup dalam kondisi cair yang permanen. Tidak ada kepastian stabilitas. Yang ada adalah kemampuan bertahan di tengah arus. Umat beragama tidak lagi mencari rumah abadi, tetapi tempat persinggahan sementara.


Jean Baudrillard, akhirnya, menutup dengan dunia simulasi. Ia mengatakan, kita hidup dalam era simulacra: di mana tanda tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi pada tanda lain. Agama pun bisa tergelincir ke dalam simulasi itu. Iman menjadi tontonan, ritual menjadi citra, dan simbol kehilangan referensinya.


Dalam hiperrealitas itu, doa yang disiarkan live-stream bisa lebih penting daripada doa yang senyap. Ziarah virtual bisa menggantikan perjalanan fisik. Simbol-simbol agama diproduksi ulang tanpa henti, hingga umat tak lagi tahu mana yang asli, mana yang tiruan. Baudrillard membuat kita gentar: barangkali agama sedang kehilangan realitasnya, terjerat dalam permainan tanda.


Namun, mungkin justru di situlah umat beragama menemukan wajah baru. Agama menjadi ruang permainan simbol, tempat identitas dipertaruhkan, direproduksi, dan dinegosiasikan. Perubahan sosial umat beragama lalu bukan sekadar soal ajaran, melainkan soal citra. Yang dipertaruhkan bukan hanya kebenaran, tapi juga penampilan.


***

 

Kalau Marx bicara roti, Durkheim bicara solidaritas, Weber bicara makna, Foucault bicara kuasa, Giddens bicara strukturasi, Parsons bicara sistem, Bourdieu bicara habitus, Habermas bicara ruang publik, Bauman bicara cairnya modernitas, dan Baudrillard bicara simulasi—semua itu berkelindan dalam satu pertanyaan: bagaimana umat beragama menalar perubahan? Kita menyaksikan sebuah drama besar, di mana iman, tubuh, dan struktur sosial saling memengaruhi. Dan kita tahu, tak ada jawaban tunggal.


Perubahan sosial umat beragama adalah cermin dunia itu sendiri: penuh konflik, kompromi, dan kemungkinan. Agama bisa menjadi kekuatan pembebas atau alat penjinakan. Ia bisa menjadi ruang makna atau sekadar tontonan. Ia bisa menguatkan solidaritas atau menjerumuskan ke dalam anomie.


Dalam dinamika itu, umat beragama harus terus-menerus menafsir ulang. Tafsir bukan hanya soal teks, tetapi juga soal konteks. Bukan hanya soal surah, tetapi juga soal struktur. Tafsir adalah cara umat untuk tetap hidup di tengah perubahan.


Kita tahu, agama tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu terkait dengan ekonomi, politik, budaya, dan teknologi. Maka, perubahan sosial umat beragama adalah refleksi dari perubahan-perubahan itu. Dan umat harus belajar membaca tanda-tanda zaman, tanpa kehilangan akar.


Mungkin, di tengah modernitas cair dan simulasi tanda, iman justru ditantang untuk menemukan makna yang lebih dalam. Agama bukan lagi sekadar institusi, tapi juga pengalaman personal. Bukan sekadar aturan, tetapi juga perjalanan batin. Dan mungkin, di sanalah agama menemukan relevansinya yang baru.


Namun, perjalanan itu tidak mudah. Ada risiko fundamentalisme, ketika agama menolak berubah. Ada juga risiko nihilisme, ketika agama larut dalam cairan relativisme. Umat beragama harus menavigasi antara dua ekstrem itu. Sebuah jalan sempit, tetapi mungkin itulah tantangan zaman.


Kita lalu bertanya: apakah umat beragama masih bisa menjadi agen perubahan sosial? Jawabannya, mungkin ya. Sebab agama masih memiliki kekuatan simbol, masih memiliki komunitas, dan masih menyimpan daya spiritual. Ia hanya perlu menemukan cara baru untuk berbicara dengan dunia yang berubah.


Agama bisa menjadi ruang kritik terhadap kapitalisme yang melahap segalanya. Ia bisa menjadi ruang solidaritas di tengah masyarakat yang tercerai-berai. Ia bisa menjadi ruang makna di tengah hiperrealitas. Tetapi itu semua tergantung bagaimana umat menafsir ulang iman mereka.


Dalam kerangka itu, kita kembali pada kata kunci: dialog. Dialog antara teks dan konteks, antara iman dan dunia, antara tradisi dan perubahan. Dialog bukan sekadar percakapan, tetapi juga perjumpaan yang melahirkan makna baru.


Menalar perubahan sosial umat beragama berarti menolak kesimpulan yang tergesa-gesa. Tidak cukup hanya melihatnya sebagai kemerosotan, atau sebaliknya, sebagai kemajuan. Ia adalah proses yang berlapis, penuh paradoks. Dan mungkin, justru dalam paradoks itulah iman diuji.


Kita belajar dari Marx hingga Baudrillard, bahwa agama adalah fenomena sosial yang kaya. Ia bisa dibaca sebagai ekonomi, solidaritas, makna, kuasa, struktur, habitus, ruang publik, cairan modernitas, hingga simulasi. Semua itu adalah pintu masuk untuk memahami. Dan kita perlu semuanya, karena agama selalu lebih besar dari satu teori.


Akhirnya, umat beragama sendiri yang akan menulis cerita mereka. Para pemikir memberi kita lensa, tetapi umatlah yang menentukan arah. Mereka bisa memilih untuk membeku, untuk larut, atau untuk menafsir ulang. Dan pilihan itu akan menentukan wajah agama di masa depan.


Mungkin, di tengah dunia yang berubah, agama bukan lagi benteng yang kokoh. Ia adalah perahu yang harus terus berlayar. Ombaknya deras, arusnya liar, tetapi di sanalah petualangan dimulai. Menalar perubahan sosial umat beragama adalah belajar menerima bahwa iman selalu bergerak, dan justru dalam gerak itulah ia menemukan makna.***



iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now