
Oleh: Syamsul Kurniawan
Di sebuah zaman yang bergerak cepat, kita selalu berhadapan dengan pertanyaan
lama: bagaimana umat beragama menyesuaikan diri dengan perubahan sosial?
Pertanyaan ini sesungguhnya bukan semata-mata soal doktrin atau kitab,
melainkan soal struktur kehidupan yang menubuh ke dalam keseharian. Perubahan
itu datang seperti arus deras, membawa umat pada ketegangan antara yang lama
dan yang baru. Kita bisa meminjam lensa para pemikir besar untuk menalar, agar
ketegangan itu dapat dipahami bukan sekadar sebagai krisis, melainkan sebagai
gejala sosial yang wajar.
Karl Marx memulai dengan keyakinan bahwa yang menentukan kesadaran manusia
bukanlah langit ide, melainkan tanah ekonomi yang dipijak. Bagi Marx, agama
sering tampil sebagai superstruktur: sebuah bangunan gagasan yang berdiri di
atas basis material. Basis ini—siapa yang memiliki alat produksi, siapa yang
menjual tenaga kerja—mengarahkan bukan hanya bentuk politik, tapi juga corak
iman. Agama, dalam pandangan itu, bisa menjadi candu yang menenangkan
kegelisahan proletariat, atau justru bisa berubah menjadi senjata ideologis
melawan penindasan.
Umat beragama, dalam kacamata Marx, hidup di antara tarik menarik itu. Di satu
sisi, iman mereka bisa dijinakkan oleh kelas borjuis untuk menjaga ketertiban.
Di sisi lain, iman juga bisa mengobarkan perlawanan, ketika kesenjangan ekonomi
menjadi terlalu mencolok. Maka, perubahan sosial umat beragama pertama-tama
adalah cermin dari dinamika kepemilikan, produksi, dan distribusi. Bahkan doa
pun, pada suatu titik, tidak terlepas dari politik roti.
Namun, Marx bukan satu-satunya yang memberi kita kerangka. Emile Durkheim
mengingatkan, bahwa agama juga adalah perekat kolektif. Kesadaran kolektif umat
terbentuk bukan dari logika kelas, melainkan dari ikatan simbol, ritual, dan
nilai bersama. Ia membedakan solidaritas mekanik—di mana ikatan dibangun oleh
kesamaan yang nyaris total—dan solidaritas organik—di mana keterhubungan justru
lahir dari perbedaan dan pembagian kerja. Dalam kerangka ini, agama hadir
sebagai ruang yang memberi makna dan keteraturan.
Ketika solidaritas mekanik masih kuat, agama berfungsi sebagai hukum sakral
yang tak tergugat. Tetapi dalam masyarakat modern, yang bergerak ke arah
solidaritas organik, agama menghadapi ujian baru. Ia tidak lagi bisa sekadar
menjadi aturan kolektif yang seragam, melainkan harus bernegosiasi dengan
diferensiasi sosial. Di titik inilah Durkheim bicara tentang anomie: sebuah
kondisi ketika aturan lama runtuh, tetapi aturan baru belum mapan.
Umat beragama hari ini mungkin sedang berada dalam ruang anomie itu. Tradisi
lama masih ada, tetapi dunia digital, kapitalisme global, dan pluralisme nilai
mengguncang pijakan. Di sini, agama bisa terjebak menjadi dogma yang keras demi
menjaga kepastian, atau justru melebur dalam relativisme yang cair.
Kedua-duanya adalah risiko, dan Durkheim membantu kita melihat bahwa perubahan
sosial umat beragama bukanlah penyimpangan, melainkan gejala transisi
solidaritas.
Max Weber kemudian masuk, membawa dimensi yang lebih halus. Baginya, agama
bukan sekadar superstruktur ekonomi, tetapi juga sumber motivasi etis yang
membentuk arah sejarah. Ia menulis tentang “Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme,” di mana agama justru menjadi motor lahirnya rasionalitas ekonomi
modern. Artinya, iman dapat mencetak cara kerja, bahkan memberi ruh pada
kapitalisme itu sendiri.
Weber ingin kita paham, bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai candu atau
perekat, tapi juga sebagai penggerak. Iman bisa menyalakan etos kerja,
disiplin, dan tanggung jawab. Rasionalitas instrumental yang kita lihat dalam
birokrasi modern, sebagian dipupuk oleh nilai-nilai religius yang dulu
mendisiplinkan tubuh dan waktu. Maka, perubahan sosial umat beragama selalu
melibatkan dialektika antara makna dan tindakan.
Namun, Weber juga mengingatkan akan bahaya “sang sangkar besi” rasionalitas.
Agama yang dulu memberi makna, akhirnya bisa digantikan oleh sistem birokratis
yang tanpa jiwa. Umat beragama lalu terperangkap dalam rutinitas tanpa
spiritualitas. Kita seolah taat pada mekanisme, tetapi kehilangan horizon
transenden.
***
Di titik inilah Michel Foucault menyalakan lampu. Ia mengatakan, kekuasaan
tidak hanya ada di tangan negara atau kapitalis, tetapi merembes ke dalam
jaringan pengetahuan, wacana, bahkan tubuh. Agama, dalam pandangan ini, bisa
menjadi teknologi kekuasaan. Ia mengatur bagaimana umat berbicara, berdoa,
bahkan bagaimana tubuh mereka bergerak. Kekuasaan itu tidak selalu menindas; ia
bisa menormalisasi.
Foucault membuat kita sadar, bahwa perubahan sosial umat beragama juga terkait
dengan bagaimana kekuasaan dijalankan lewat disiplin. Misalnya, lewat tata cara
berpakaian, aturan ibadah, atau tafsir kitab yang dilembagakan. Di balik doa
yang khusyuk, ada relasi kuasa yang menentukan mana doa yang sahih dan mana
yang menyimpang. Agama, dalam pandangan ini, bukan sekadar iman, tapi juga
rezim kebenaran.
Namun Foucault juga membuka ruang: bila kuasa menyebar, maka resistensi juga
ada di mana-mana. Perubahan sosial umat beragama tidak hanya datang dari atas,
melainkan dari tubuh-tubuh kecil yang menolak, dari interpretasi minor yang
menyelinap, dari umat yang menemukan cara baru membaca teks. Maka, agama
bukanlah bangunan beku, tetapi medan pergulatan wacana.
Anthony Giddens lalu menambahkan dimensi lain: hubungan antara struktur dan
agensi. Ia menolak melihat struktur sebagai penjara total, atau agensi sebagai
kebebasan mutlak. Baginya, umat beragama berinteraksi dengan aturan-aturan
agama sembari menafsir ulang, memproduksi ulang, dan kadang mengubahnya.
Struktur ada, tetapi ia juga dibentuk oleh praktik umat sehari-hari.
Dalam teori strukturasi Giddens, kita melihat bagaimana umat beragama bukan
sekadar obyek. Mereka adalah pelaku yang, dengan doa, ibadah, atau aktivitas
sosial, sesungguhnya memperkuat atau mengubah struktur agamanya sendiri. Agama
lalu tampak sebagai medan dinamis, bukan semata tradisi beku. Perubahan sosial
pun adalah hasil interaksi berulang antara teks, institusi, dan tubuh umat.
Talcott Parsons, dengan paradigma AGIL-nya, memberi kita cara lain membaca. Ia
menekankan bahwa sistem sosial bertahan karena menjalankan empat fungsi:
Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latency. Agama, dalam kerangka
ini, adalah mekanisme integrasi dan pemeliharaan pola (latency). Ia menjaga
masyarakat agar tetap memiliki nilai dan arah.
Tetapi ketika agama gagal menjalankan fungsi integrasi, lahirlah ketegangan.
Misalnya, ketika ajaran tidak mampu lagi menjawab masalah ekonomi atau ekologi,
umat beragama mencari sumber nilai lain. Maka, perubahan sosial di tubuh umat
beragama bisa dibaca sebagai kegagalan fungsi integratif. Parsons mengingatkan,
stabilitas butuh adaptasi, dan agama harus mampu menjawab kebutuhan zaman.
Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa agama juga adalah habitus. Ia tertanam dalam
tubuh, kebiasaan, dan rasa. Agama bukan hanya ajaran di kepala, tetapi juga
cara duduk, cara makan, cara menyapa, bahkan cara berdoa. Habitus ini terus
direproduksi dalam ranah (field) tertentu, dan setiap ranah punya logika
kuasanya sendiri.
Perubahan sosial umat beragama berarti perubahan habitus. Saat umat terbiasa
dengan digital, dengan globalisasi, dengan gaya hidup baru, habitus lama ikut
terguncang. Doa tidak lagi hanya di masjid, tapi juga di layar ponsel. Zikir
tidak hanya di bibir, tapi juga di ruang daring yang penuh emotikon. Habitus
berubah, dan bersamanya juga berubah cara umat menghayati iman.
Jurgen Habermas lalu menaruh perhatian pada ruang publik. Ia percaya, demokrasi
sehat memerlukan ruang diskusi yang rasional, di mana warga bisa berargumentasi
tanpa dipaksa. Agama, di sini, berhadapan dengan tantangan besar: bagaimana
mengartikulasikan diri di ruang publik yang plural. Bagaimana iman bisa ikut
bicara tanpa mendominasi, tanpa menjadi tirani mayoritas.
Habermas memberi harapan: agama bisa tetap hadir di ruang publik, asal ia
bersedia menerjemahkan dirinya ke bahasa yang komunikatif. Umat beragama bisa
membawa nilai-nilai moral ke perdebatan publik, asal ia siap berdialog dengan
rasionalitas sekuler. Perubahan sosial umat beragama, di sini, adalah perubahan
menuju keterbukaan, menuju kemampuan berdialog.
Namun, Habermas juga tahu risikonya: ruang publik bisa terkooptasi oleh media
massa, kapitalisme, atau politik populis. Maka, agama bisa kehilangan suaranya,
atau justru diseret menjadi alat propaganda. Perubahan umat beragama lalu
menjadi semacam tarik-ulur antara suara iman dan logika kapital.
Zygmunt Bauman memperkenalkan kita pada “modernitas cair.” Dunia hari ini tidak
lagi kokoh, tidak lagi memberi kepastian. Semua serba sementara, serba cepat,
serba cair. Umat beragama hidup dalam dunia yang penuh pilihan, tetapi juga
penuh ketidakpastian.
Dalam dunia cair itu, iman berhadapan dengan fragmentasi. Orang bisa percaya
hari ini, ragu besok, dan berpindah lusa. Agama harus berhadapan dengan
mobilitas identitas, dengan loyalitas yang rapuh. Ritual bisa dilihat sebagai
komoditas, doa bisa menjadi hiburan.
Bauman membuat kita sadar, perubahan sosial umat beragama bukan lagi sekadar
transisi menuju modernitas, tetapi hidup dalam kondisi cair yang permanen.
Tidak ada kepastian stabilitas. Yang ada adalah kemampuan bertahan di tengah
arus. Umat beragama tidak lagi mencari rumah abadi, tetapi tempat persinggahan
sementara.
Jean Baudrillard, akhirnya, menutup dengan dunia simulasi. Ia mengatakan, kita
hidup dalam era simulacra: di mana tanda tidak lagi merujuk pada realitas,
tetapi pada tanda lain. Agama pun bisa tergelincir ke dalam simulasi itu. Iman
menjadi tontonan, ritual menjadi citra, dan simbol kehilangan referensinya.
Dalam hiperrealitas itu, doa yang disiarkan live-stream bisa lebih penting
daripada doa yang senyap. Ziarah virtual bisa menggantikan perjalanan fisik.
Simbol-simbol agama diproduksi ulang tanpa henti, hingga umat tak lagi tahu
mana yang asli, mana yang tiruan. Baudrillard membuat kita gentar: barangkali
agama sedang kehilangan realitasnya, terjerat dalam permainan tanda.
Namun, mungkin justru di situlah umat beragama menemukan wajah baru. Agama
menjadi ruang permainan simbol, tempat identitas dipertaruhkan, direproduksi,
dan dinegosiasikan. Perubahan sosial umat beragama lalu bukan sekadar soal
ajaran, melainkan soal citra. Yang dipertaruhkan bukan hanya kebenaran, tapi
juga penampilan.
***
Kalau Marx bicara roti, Durkheim bicara solidaritas,
Weber bicara makna, Foucault bicara kuasa, Giddens bicara strukturasi, Parsons
bicara sistem, Bourdieu bicara habitus, Habermas bicara ruang publik, Bauman
bicara cairnya modernitas, dan Baudrillard bicara simulasi—semua itu
berkelindan dalam satu pertanyaan: bagaimana umat beragama menalar perubahan?
Kita menyaksikan sebuah drama besar, di mana iman, tubuh, dan struktur sosial
saling memengaruhi. Dan kita tahu, tak ada jawaban tunggal.
Perubahan sosial umat beragama adalah cermin dunia itu sendiri: penuh konflik,
kompromi, dan kemungkinan. Agama bisa menjadi kekuatan pembebas atau alat
penjinakan. Ia bisa menjadi ruang makna atau sekadar tontonan. Ia bisa
menguatkan solidaritas atau menjerumuskan ke dalam anomie.
Dalam dinamika itu, umat beragama harus terus-menerus menafsir ulang. Tafsir
bukan hanya soal teks, tetapi juga soal konteks. Bukan hanya soal surah, tetapi
juga soal struktur. Tafsir adalah cara umat untuk tetap hidup di tengah
perubahan.
Kita tahu, agama tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu terkait dengan
ekonomi, politik, budaya, dan teknologi. Maka, perubahan sosial umat beragama
adalah refleksi dari perubahan-perubahan itu. Dan umat harus belajar membaca
tanda-tanda zaman, tanpa kehilangan akar.
Mungkin, di tengah modernitas cair dan simulasi tanda, iman justru ditantang
untuk menemukan makna yang lebih dalam. Agama bukan lagi sekadar institusi,
tapi juga pengalaman personal. Bukan sekadar aturan, tetapi juga perjalanan
batin. Dan mungkin, di sanalah agama menemukan relevansinya yang baru.
Namun, perjalanan itu tidak mudah. Ada risiko fundamentalisme, ketika agama
menolak berubah. Ada juga risiko nihilisme, ketika agama larut dalam cairan
relativisme. Umat beragama harus menavigasi antara dua ekstrem itu. Sebuah
jalan sempit, tetapi mungkin itulah tantangan zaman.
Kita lalu bertanya: apakah umat beragama masih bisa menjadi agen perubahan
sosial? Jawabannya, mungkin ya. Sebab agama masih memiliki kekuatan simbol,
masih memiliki komunitas, dan masih menyimpan daya spiritual. Ia hanya perlu
menemukan cara baru untuk berbicara dengan dunia yang berubah.
Agama bisa menjadi ruang kritik terhadap kapitalisme yang melahap segalanya. Ia
bisa menjadi ruang solidaritas di tengah masyarakat yang tercerai-berai. Ia
bisa menjadi ruang makna di tengah hiperrealitas. Tetapi itu semua tergantung
bagaimana umat menafsir ulang iman mereka.
Dalam kerangka itu, kita kembali pada kata kunci: dialog. Dialog antara teks
dan konteks, antara iman dan dunia, antara tradisi dan perubahan. Dialog bukan
sekadar percakapan, tetapi juga perjumpaan yang melahirkan makna baru.
Menalar perubahan sosial umat beragama berarti menolak kesimpulan yang
tergesa-gesa. Tidak cukup hanya melihatnya sebagai kemerosotan, atau
sebaliknya, sebagai kemajuan. Ia adalah proses yang berlapis, penuh paradoks.
Dan mungkin, justru dalam paradoks itulah iman diuji.
Kita belajar dari Marx hingga Baudrillard, bahwa agama adalah fenomena sosial
yang kaya. Ia bisa dibaca sebagai ekonomi, solidaritas, makna, kuasa, struktur,
habitus, ruang publik, cairan modernitas, hingga simulasi. Semua itu adalah
pintu masuk untuk memahami. Dan kita perlu semuanya, karena agama selalu lebih
besar dari satu teori.
Akhirnya, umat beragama sendiri yang akan menulis cerita mereka. Para pemikir
memberi kita lensa, tetapi umatlah yang menentukan arah. Mereka bisa memilih
untuk membeku, untuk larut, atau untuk menafsir ulang. Dan pilihan itu akan
menentukan wajah agama di masa depan.
Mungkin, di tengah dunia yang berubah, agama bukan lagi benteng yang kokoh. Ia
adalah perahu yang harus terus berlayar. Ombaknya deras, arusnya liar, tetapi
di sanalah petualangan dimulai. Menalar perubahan sosial umat beragama adalah
belajar menerima bahwa iman selalu bergerak, dan justru dalam gerak itulah ia
menemukan makna.***