Iklan

Buih di Era Digital: Matinya Kepakaran dalam Beragama

syamsul kurniawan
Tuesday, August 12, 2025
Last Updated 2025-08-13T07:28:09Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Ada masa ketika perjalanan menuntut ilmu adalah perjalanan fisik dan batin. Orang menempuh hari, bahkan minggu, hanya untuk duduk di hadapan seorang ulama. Mereka datang dengan kitab, menunduk, mendengar, lalu mencatat setiap kata. Tidak ada yang menyela sebelum sang guru selesai berbicara. Semua mengerti, ilmu adalah buah kesabaran, bukan hasil buru-buru.

 

Tom Nichols, dalam The Death of Expertise (2017), memotret fenomena yang merayap di zaman ini. Orang merasa dirinya tahu hanya karena memiliki akses ke mesin pencari. Rasa hormat pada otoritas ilmiah perlahan menguap. Pengetahuan dan opini diposisikan setara. Padahal, ilmu lahir dari proses panjang yang tak bisa disingkat oleh klik.

 

Dalam pandangan Nichols, matinya kepakaran adalah kematian hierarki pengetahuan. Tidak ada lagi pengakuan bahwa ada orang yang memang lebih mengerti karena hidupnya diabdikan pada bidang tertentu. Semua orang merasa duduk di meja yang sama, walau membawa bekal berbeda. Yang satu membawa riset bertahun-tahun, yang lain hanya membawa tautan blog. Dan ironisnya, keduanya dianggap setara dalam debat publik.

 

Jika fenomena ini terjadi di ranah agama, taruhannya jauh lebih tinggi. Agama bukan sekadar urusan data, ia menyentuh hati, moral, dan akhir kehidupan. Salah memahami satu dalil bisa menjerumuskan jalan hidup. Namun di media sosial, siapa saja bisa menafsir ayat atau hadis hanya dari potongan teks. Dan suara yang paling nyaring sering mengalahkan yang paling berilmu.

 

Nichols (2017) menyebut penyakit ini sebagai bias konfirmasi. Orang tidak mencari kebenaran, melainkan pembenaran atas keyakinan yang sudah ada. Mereka memilih dalil yang mendukung selera, lalu menolak yang bertentangan. Proses belajar berubah menjadi perburuan legitimasi. Dan dalam beragama, ini bisa melahirkan keyakinan yang rapuh namun keras kepala.

 

Islam sejak awal menegaskan pentingnya bertanya kepada yang ahli. Al-Qur’an berkata, “Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43). Ayat ini bukan sekadar saran, melainkan panduan etis yang melindungi umat dari kesesatan tafsir. Namun di era gawai, nasihat itu nyaris hilang dari praktik. Orang lebih percaya trending topic ketimbang sanad ilmu.

 

Dalam bahasa Qur’ani, ada kata “jahil” yang sering diartikan “bodoh”. Tetapi kebodohan di sini bukan sekadar tidak tahu, melainkan menolak kebenaran yang sudah jelas. Jahiliyyah bukan era miskin informasi, melainkan era penyalahgunaan informasi. Dengan kelimpahan data hari ini, kita bisa menciptakan jahiliyyah baru. Dan itu sedang terjadi.

 

Sifat jahil sering disandingkan dengan sikap gegabah, keras kepala, dan enggan memeriksa kebenaran. Orang jahil cepat mengambil kesimpulan tanpa dasar. Di media sosial, keputusan teologis diambil hanya dari potongan gambar atau satu kalimat dari ustaz yang tak jelas sanadnya. Dalil dicabut dari konteksnya. Hasilnya adalah keyakinan yang kaku sekaligus rapuh.

 

Nabi Muhammad pernah memperingatkan, akan datang masa ketika umatnya banyak jumlahnya, tetapi seperti buih di lautan. Buih itu tampak ramai, namun rapuh, ringan, dan mudah hilang. Ia tidak menggerakkan gelombang, justru digerakkan oleh gelombang. Begitulah umat yang kehilangan pijakan pada ilmu yang benar. Banyak, tetapi tak berpengaruh.

 

Tafsir para ulama tentang hadis itu selalu kembali pada hilangnya iman dan ilmu yang kokoh. Jumlah besar tak berarti jika kualitasnya lemah. Buih mudah dipecah oleh arus. Demikian pula umat yang kehilangan kepakaran: mudah dipecah oleh isu, tren, dan opini liar. Dan inilah wajah zaman kita.

 

Matinya kepakaran melahirkan dua ekstrem yang sama-sama berbahaya: radikalisme dan relativisme. Radikalisme lahir dari pemahaman sempit yang kaku dan tertutup. Relativisme lahir dari keyakinan bahwa semua tafsir sama benarnya. Keduanya mematikan karena lahir dari sumber yang sama: hilangnya otoritas ilmu yang diakui. Tanpa pakar, semua orang menjadi nabi bagi dirinya sendiri.

 

Dahulu, kepakaran agama dijaga oleh sanad — rantai guru-murid yang teruji. Murid belajar bertahun-tahun, menghafal, mengkaji, dan menguji pemahamannya di hadapan guru. Rantai ini memastikan bahwa setiap ilmu sampai ke tangan yang siap menerimanya. Namun di ruang digital, rantai itu terputus. Dan siapa pun bisa memproklamirkan diri sebagai pengajar.

 

Di grup chat keluarga, sebuah video pendek bisa menjadi “ilmu” yang dipercaya semua anggota. Tidak ada yang bertanya siapa yang berbicara atau dari mana ilmunya berasal. Jarang ada yang melakukan verifikasi atau tabayyun. Kecepatan berbagi dianggap lebih penting dari keakuratan isi. Dan dari sinilah kebingungan kolektif berawal.

 

Tabayyun adalah benteng melawan kesesatan. Ia memerlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita belum tentu tahu. Tetapi budaya digital memuja citra “serba tahu”. Di layar, kesan lebih penting dari kebenaran. Maka kepakaran mati bukan karena kekosongan ilmu, tetapi karena kesombongan yang menyelimutinya.

 

Nichols menulis, di era ini orang merasa punya hak atas fakta mereka sendiri. Dalam agama, ini berarti setiap orang merasa boleh menentukan kebenaran versinya. Dalil dipilih sesuai selera, konteks dibuang. Yang tertinggal hanya pembenaran diri. Kebenaran yang tidak sesuai selera dibiarkan terabaikan.

 

Umat yang kehilangan kepakaran ibarat kapal tanpa kompas. Arah ditentukan oleh ombak terbesar, bukan oleh peta yang benar. Pemimpin opini adalah yang paling lantang, bukan yang paling berilmu. Akibatnya, perbincangan agama jarang menghasilkan pencerahan. Lebih sering menghasilkan perpecahan.

 

Mengapa Ironi?

Ironisnya, kita hidup di zaman di mana sumber belajar agama sangat melimpah. Tafsir klasik, hadis, kitab kuning, hingga kuliah daring tersedia gratis. Pengajian dari berbagai ulama dunia bisa diakses dalam hitungan detik. Tetapi kelimpahan ini membuat banyak orang merasa tak perlu belajar serius. Mereka puas dengan ringkasan singkat.

 

Dalam budaya instan, informasi agama menjadi komoditas cepat saji. Ia mengenyangkan sesaat tetapi miskin nutrisi. Umat terbiasa dengan potongan kutipan, bukan pembahasan mendalam. Hasilnya, pemahaman menjadi dangkal dan rapuh. Inilah ladang subur bagi matinya kepakaran.

 

Fenomena ini mengingatkan pada kisah Raja Midas. Segala yang ia sentuh berubah menjadi emas, namun ia kelaparan karena makanan pun berubah menjadi logam. Begitu pula kita: menyentuh informasi dan mengubahnya menjadi alat pembenaran, bukan pencarian kebenaran. Kita haus hikmah di tengah banjir konten rohani. Dan kelaparan makna meski dikelilingi teks suci.

 

Dalam kondisi ini, yang hilang bukan hanya kepakaran, tetapi juga rasa hormat pada proses belajar. Kita mengira tahu hanya karena bisa mencari. Padahal tahu bukan berarti mengerti. Dan mengerti memerlukan waktu, bimbingan, serta kerendahan hati. Semua ini sulit bertahan di tengah budaya tergesa.

 

Setiap kali kita mengabaikan nasihat ulama demi pendapat populer, kita mematikan kepakaran sedikit demi sedikit. Setiap kali kita menolak tabayyun karena malas memeriksa, kita menutup satu pintu kebenaran. Setiap kali kita menganggap semua pendapat sama, kita menghapus otoritas ilmu. Sedikit demi sedikit, umat menjadi buih. Banyak jumlahnya, namun ringan.

 

Buih tidak memilih arah, ia dibawa arus. Demikianlah umat yang kehilangan orientasi. Suara yang keras akan menjadi kompasnya. Padahal, suara keras tak selalu benar. Dan kebenaran tak selalu populer.

 

Di ruang digital, kecepatan mengalahkan ketelitian. Konten yang sensasional mengalahkan yang mendalam. Pengikut lebih banyak untuk yang menyenangkan telinga, bukan yang mengoreksi hati. Padahal agama sering datang untuk mengoreksi, bukan memanjakan. Kepakaran tidak lahir dari sensasi.

 

Kita lupa bahwa ulama sejati tidak lahir dari panggung semalam. Mereka melewati dekade, membangun pondasi, memurnikan niat. Dalam proses itu, mereka belajar menahan lidah dan memelihara amanah ilmu. Sementara di media sosial, siapa pun bisa “terlihat” seperti ulama dalam satu video. Tetapi rupa tidak selalu membawa isi.

 

Nichols menegaskan, demokrasi pengetahuan yang keliru justru membunuh pengetahuan itu sendiri. Jika semua orang menganggap dirinya ahli, maka tidak ada lagi yang merasa perlu belajar. Dalam agama, ini berbahaya karena menghapus garis antara fatwa yang benar dan yang keliru. Umat pun mudah tersesat. Dan yang paling dirugikan adalah mereka yang tulus mencari kebenaran.

 

Islam mengajarkan adab sebelum ilmu. Adab menjaga agar ilmu tidak digunakan untuk kesombongan. Tanpa adab, ilmu hanya menjadi senjata untuk menang debat. Hari ini, adab sering tertinggal di belakang layar ponsel. Dan itu adalah tanda bahwa kepakaran sudah lama sekarat.

 

Sumber belajar yang melimpah seharusnya menjadi berkah. Tetapi tanpa filter, ia bisa menjadi jebakan. Orang mengira semakin banyak informasi berarti semakin dekat pada kebenaran. Padahal, tanpa bimbingan, informasi itu bisa menjauhkan kita dari pemahaman yang benar. Seperti berjalan di hutan lebat tanpa penunjuk arah.

 

Midas pernah mengira sentuhan emas adalah anugerah. Begitu pula kita mengira kelimpahan informasi adalah berkah mutlak. Namun seperti Midas yang akhirnya kelaparan, kita pun bisa mati kehausan makna. Informasi tanpa kepakaran adalah emas yang tidak bisa dimakan. Mengkilap, tetapi mematikan.

 

Umat yang selamat dari buih adalah umat yang menjaga hubungan dengan ulama. Mereka tidak hanya mendengar, tetapi juga belajar cara memahami. Mereka menahan diri untuk tidak cepat berbicara sebelum mengerti. Dan mereka memelihara kesabaran dalam belajar. Inilah jalan keluar dari matinya kepakaran.

 

Sebaliknya, umat yang mengabaikan ulama akan terus menjadi korban arus. Mereka berpindah dari satu opini ke opini lain. Mereka mudah percaya pada yang viral. Dan mereka kehilangan pegangan ketika opini itu runtuh. Hidup beragama pun menjadi permainan selera.

 

Dalam sejarah, keruntuhan umat sering diawali dari hilangnya ilmu yang benar. Nabi pernah bersabda bahwa ilmu akan diangkat dengan wafatnya para ulama. Yang tertinggal adalah orang-orang bodoh yang memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan. Dan itulah gambaran zaman ketika kepakaran mati.

 

Matinya kepakaran tidak terjadi tiba-tiba. Ia perlahan terkikis oleh kesombongan kolektif. Ia ditikam oleh rasa malas untuk memeriksa. Ia dipukul oleh godaan instan. Dan ia dikubur oleh banjir opini tanpa saringan.

 

Kita mungkin mengira ini hanya fenomena kecil. Tetapi buih di lautan tidak lahir dari satu tetes air, melainkan dari gelombang besar. Gelombang itu dibentuk oleh budaya digital yang memanjakan ego. Jika kita tidak melawan, kita akan menjadi bagian darinya. Dan saat itu, sulit untuk kembali.

 

Kepakaran adalah benteng yang melindungi agama dari penyimpangan. Tanpanya, pintu salah tafsir terbuka lebar. Dan di era ini, pintu itu terbuka di mana-mana. Satu-satunya cara untuk menutupnya adalah kembali menghormati ilmu dan ahlinya. Meski itu berarti melawan arus besar.

 

Seperti buih, umat yang kehilangan kepakaran akan terombang-ambing sampai hilang di tengah gelombang. Dan seperti Midas, mereka akan menyadari bahwa “anugerah” kelimpahan informasi bisa menjadi kutukan. Penyesalan itu mungkin datang terlambat. Tetapi sekarang pun masih ada waktu untuk berbalik. Selama kita mau kembali belajar, dengan rendah hati, pada mereka yang benar-benar ahli.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now