Oleh:
Syamsul Kurniawan
Ada
masa ketika perjalanan menuntut ilmu adalah perjalanan fisik dan batin. Orang
menempuh hari, bahkan minggu, hanya untuk duduk di hadapan seorang ulama.
Mereka datang dengan kitab, menunduk, mendengar, lalu mencatat setiap kata.
Tidak ada yang menyela sebelum sang guru selesai berbicara. Semua mengerti,
ilmu adalah buah kesabaran, bukan hasil buru-buru.
Tom
Nichols, dalam The Death of Expertise (2017), memotret fenomena yang
merayap di zaman ini. Orang merasa dirinya tahu hanya karena memiliki akses ke
mesin pencari. Rasa hormat pada otoritas ilmiah perlahan menguap. Pengetahuan
dan opini diposisikan setara. Padahal, ilmu lahir dari proses panjang yang tak
bisa disingkat oleh klik.
Dalam
pandangan Nichols, matinya kepakaran adalah kematian hierarki pengetahuan.
Tidak ada lagi pengakuan bahwa ada orang yang memang lebih mengerti karena
hidupnya diabdikan pada bidang tertentu. Semua orang merasa duduk di meja yang
sama, walau membawa bekal berbeda. Yang satu membawa riset bertahun-tahun, yang
lain hanya membawa tautan blog. Dan ironisnya, keduanya dianggap setara dalam
debat publik.
Jika
fenomena ini terjadi di ranah agama, taruhannya jauh lebih tinggi. Agama bukan
sekadar urusan data, ia menyentuh hati, moral, dan akhir kehidupan. Salah
memahami satu dalil bisa menjerumuskan jalan hidup. Namun di media sosial,
siapa saja bisa menafsir ayat atau hadis hanya dari potongan teks. Dan suara
yang paling nyaring sering mengalahkan yang paling berilmu.
Nichols
(2017) menyebut penyakit ini sebagai bias konfirmasi. Orang tidak mencari
kebenaran, melainkan pembenaran atas keyakinan yang sudah ada. Mereka memilih
dalil yang mendukung selera, lalu menolak yang bertentangan. Proses belajar
berubah menjadi perburuan legitimasi. Dan dalam beragama, ini bisa melahirkan
keyakinan yang rapuh namun keras kepala.
Islam
sejak awal menegaskan pentingnya bertanya kepada yang ahli. Al-Qur’an berkata,
“Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (QS.
An-Nahl: 43). Ayat ini bukan sekadar saran, melainkan panduan etis yang
melindungi umat dari kesesatan tafsir. Namun di era gawai, nasihat itu nyaris
hilang dari praktik. Orang lebih percaya trending topic ketimbang sanad ilmu.
Dalam
bahasa Qur’ani, ada kata “jahil” yang sering diartikan “bodoh”. Tetapi
kebodohan di sini bukan sekadar tidak tahu, melainkan menolak kebenaran yang
sudah jelas. Jahiliyyah bukan era miskin informasi, melainkan era
penyalahgunaan informasi. Dengan kelimpahan data hari ini, kita bisa
menciptakan jahiliyyah baru. Dan itu sedang terjadi.
Sifat
jahil sering disandingkan dengan sikap gegabah, keras kepala, dan enggan
memeriksa kebenaran. Orang jahil cepat mengambil kesimpulan tanpa dasar. Di
media sosial, keputusan teologis diambil hanya dari potongan gambar atau satu
kalimat dari ustaz yang tak jelas sanadnya. Dalil dicabut dari konteksnya.
Hasilnya adalah keyakinan yang kaku sekaligus rapuh.
Nabi
Muhammad pernah memperingatkan, akan datang masa ketika umatnya banyak
jumlahnya, tetapi seperti buih di lautan. Buih itu tampak ramai, namun rapuh,
ringan, dan mudah hilang. Ia tidak menggerakkan gelombang, justru digerakkan
oleh gelombang. Begitulah umat yang kehilangan pijakan pada ilmu yang benar.
Banyak, tetapi tak berpengaruh.
Tafsir
para ulama tentang hadis itu selalu kembali pada hilangnya iman dan ilmu yang
kokoh. Jumlah besar tak berarti jika kualitasnya lemah. Buih mudah dipecah oleh
arus. Demikian pula umat yang kehilangan kepakaran: mudah dipecah oleh isu,
tren, dan opini liar. Dan inilah wajah zaman kita.
Matinya
kepakaran melahirkan dua ekstrem yang sama-sama berbahaya: radikalisme dan
relativisme. Radikalisme lahir dari pemahaman sempit yang kaku dan tertutup.
Relativisme lahir dari keyakinan bahwa semua tafsir sama benarnya. Keduanya
mematikan karena lahir dari sumber yang sama: hilangnya otoritas ilmu yang
diakui. Tanpa pakar, semua orang menjadi nabi bagi dirinya sendiri.
Dahulu,
kepakaran agama dijaga oleh sanad — rantai guru-murid yang teruji. Murid
belajar bertahun-tahun, menghafal, mengkaji, dan menguji pemahamannya di
hadapan guru. Rantai ini memastikan bahwa setiap ilmu sampai ke tangan yang
siap menerimanya. Namun di ruang digital, rantai itu terputus. Dan siapa pun
bisa memproklamirkan diri sebagai pengajar.
Di
grup chat keluarga, sebuah video pendek bisa menjadi “ilmu” yang dipercaya
semua anggota. Tidak ada yang bertanya siapa yang berbicara atau dari mana
ilmunya berasal. Jarang ada yang melakukan verifikasi atau tabayyun.
Kecepatan berbagi dianggap lebih penting dari keakuratan isi. Dan dari sinilah
kebingungan kolektif berawal.
Tabayyun
adalah benteng melawan kesesatan. Ia memerlukan kerendahan hati untuk mengakui
bahwa kita belum tentu tahu. Tetapi budaya digital memuja citra “serba tahu”.
Di layar, kesan lebih penting dari kebenaran. Maka kepakaran mati bukan karena
kekosongan ilmu, tetapi karena kesombongan yang menyelimutinya.
Nichols
menulis, di era ini orang merasa punya hak atas fakta mereka sendiri. Dalam
agama, ini berarti setiap orang merasa boleh menentukan kebenaran versinya.
Dalil dipilih sesuai selera, konteks dibuang. Yang tertinggal hanya pembenaran
diri. Kebenaran yang tidak sesuai selera dibiarkan terabaikan.
Umat
yang kehilangan kepakaran ibarat kapal tanpa kompas. Arah ditentukan oleh ombak
terbesar, bukan oleh peta yang benar. Pemimpin opini adalah yang paling
lantang, bukan yang paling berilmu. Akibatnya, perbincangan agama jarang
menghasilkan pencerahan. Lebih sering menghasilkan perpecahan.
Mengapa
Ironi?
Ironisnya,
kita hidup di zaman di mana sumber belajar agama sangat melimpah. Tafsir
klasik, hadis, kitab kuning, hingga kuliah daring tersedia gratis. Pengajian
dari berbagai ulama dunia bisa diakses dalam hitungan detik. Tetapi kelimpahan
ini membuat banyak orang merasa tak perlu belajar serius. Mereka puas dengan
ringkasan singkat.
Dalam
budaya instan, informasi agama menjadi komoditas cepat saji. Ia mengenyangkan
sesaat tetapi miskin nutrisi. Umat terbiasa dengan potongan kutipan, bukan
pembahasan mendalam. Hasilnya, pemahaman menjadi dangkal dan rapuh. Inilah
ladang subur bagi matinya kepakaran.
Fenomena
ini mengingatkan pada kisah Raja Midas. Segala yang ia sentuh berubah menjadi
emas, namun ia kelaparan karena makanan pun berubah menjadi logam. Begitu pula
kita: menyentuh informasi dan mengubahnya menjadi alat pembenaran, bukan
pencarian kebenaran. Kita haus hikmah di tengah banjir konten rohani. Dan
kelaparan makna meski dikelilingi teks suci.
Dalam
kondisi ini, yang hilang bukan hanya kepakaran, tetapi juga rasa hormat pada
proses belajar. Kita mengira tahu hanya karena bisa mencari. Padahal tahu bukan
berarti mengerti. Dan mengerti memerlukan waktu, bimbingan, serta kerendahan
hati. Semua ini sulit bertahan di tengah budaya tergesa.
Setiap
kali kita mengabaikan nasihat ulama demi pendapat populer, kita mematikan
kepakaran sedikit demi sedikit. Setiap kali kita menolak tabayyun karena malas
memeriksa, kita menutup satu pintu kebenaran. Setiap kali kita menganggap semua
pendapat sama, kita menghapus otoritas ilmu. Sedikit demi sedikit, umat menjadi
buih. Banyak jumlahnya, namun ringan.
Buih
tidak memilih arah, ia dibawa arus. Demikianlah umat yang kehilangan orientasi.
Suara yang keras akan menjadi kompasnya. Padahal, suara keras tak selalu benar.
Dan kebenaran tak selalu populer.
Di
ruang digital, kecepatan mengalahkan ketelitian. Konten yang sensasional
mengalahkan yang mendalam. Pengikut lebih banyak untuk yang menyenangkan
telinga, bukan yang mengoreksi hati. Padahal agama sering datang untuk
mengoreksi, bukan memanjakan. Kepakaran tidak lahir dari sensasi.
Kita
lupa bahwa ulama sejati tidak lahir dari panggung semalam. Mereka melewati
dekade, membangun pondasi, memurnikan niat. Dalam proses itu, mereka belajar
menahan lidah dan memelihara amanah ilmu. Sementara di media sosial, siapa pun
bisa “terlihat” seperti ulama dalam satu video. Tetapi rupa tidak selalu
membawa isi.
Nichols
menegaskan, demokrasi pengetahuan yang keliru justru membunuh pengetahuan itu
sendiri. Jika semua orang menganggap dirinya ahli, maka tidak ada lagi yang
merasa perlu belajar. Dalam agama, ini berbahaya karena menghapus garis antara
fatwa yang benar dan yang keliru. Umat pun mudah tersesat. Dan yang paling
dirugikan adalah mereka yang tulus mencari kebenaran.
Islam
mengajarkan adab sebelum ilmu. Adab menjaga agar ilmu tidak digunakan untuk
kesombongan. Tanpa adab, ilmu hanya menjadi senjata untuk menang debat. Hari
ini, adab sering tertinggal di belakang layar ponsel. Dan itu adalah tanda
bahwa kepakaran sudah lama sekarat.
Sumber
belajar yang melimpah seharusnya menjadi berkah. Tetapi tanpa filter, ia bisa
menjadi jebakan. Orang mengira semakin banyak informasi berarti semakin dekat
pada kebenaran. Padahal, tanpa bimbingan, informasi itu bisa menjauhkan kita
dari pemahaman yang benar. Seperti berjalan di hutan lebat tanpa penunjuk arah.
Midas
pernah mengira sentuhan emas adalah anugerah. Begitu pula kita mengira
kelimpahan informasi adalah berkah mutlak. Namun seperti Midas yang akhirnya
kelaparan, kita pun bisa mati kehausan makna. Informasi tanpa kepakaran adalah
emas yang tidak bisa dimakan. Mengkilap, tetapi mematikan.
Umat
yang selamat dari buih adalah umat yang menjaga hubungan dengan ulama. Mereka
tidak hanya mendengar, tetapi juga belajar cara memahami. Mereka menahan diri
untuk tidak cepat berbicara sebelum mengerti. Dan mereka memelihara kesabaran
dalam belajar. Inilah jalan keluar dari matinya kepakaran.
Sebaliknya,
umat yang mengabaikan ulama akan terus menjadi korban arus. Mereka berpindah
dari satu opini ke opini lain. Mereka mudah percaya pada yang viral. Dan mereka
kehilangan pegangan ketika opini itu runtuh. Hidup beragama pun menjadi
permainan selera.
Dalam
sejarah, keruntuhan umat sering diawali dari hilangnya ilmu yang benar. Nabi
pernah bersabda bahwa ilmu akan diangkat dengan wafatnya para ulama. Yang
tertinggal adalah orang-orang bodoh yang memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat
dan menyesatkan. Dan itulah gambaran zaman ketika kepakaran mati.
Matinya
kepakaran tidak terjadi tiba-tiba. Ia perlahan terkikis oleh kesombongan
kolektif. Ia ditikam oleh rasa malas untuk memeriksa. Ia dipukul oleh godaan
instan. Dan ia dikubur oleh banjir opini tanpa saringan.
Kita
mungkin mengira ini hanya fenomena kecil. Tetapi buih di lautan tidak lahir
dari satu tetes air, melainkan dari gelombang besar. Gelombang itu dibentuk
oleh budaya digital yang memanjakan ego. Jika kita tidak melawan, kita akan
menjadi bagian darinya. Dan saat itu, sulit untuk kembali.
Kepakaran
adalah benteng yang melindungi agama dari penyimpangan. Tanpanya, pintu salah
tafsir terbuka lebar. Dan di era ini, pintu itu terbuka di mana-mana.
Satu-satunya cara untuk menutupnya adalah kembali menghormati ilmu dan ahlinya.
Meski itu berarti melawan arus besar.
Seperti
buih, umat yang kehilangan kepakaran akan terombang-ambing sampai hilang di
tengah gelombang. Dan seperti Midas, mereka akan menyadari bahwa “anugerah”
kelimpahan informasi bisa menjadi kutukan. Penyesalan itu mungkin datang
terlambat. Tetapi sekarang pun masih ada waktu untuk berbalik. Selama kita mau
kembali belajar, dengan rendah hati, pada mereka yang benar-benar ahli.***