Oleh: Syamsul Kurniawan
Tulisan ini saya buat sehari sebelum ia dibacakan.
Selembar esai yang ditulis dalam cuaca yang hening, dengan semacam ketegangan
yang pelan: sebab ia ditujukan khusus untuk para peserta Darul Arqam
Nasyiatul Aisyiyah 1 Akbar, Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten
Kubu Raya, yang insyaAllah berlangsung 20 Juli 2025 di Aula Pusat Dakwah
Muhammadiyah Kalimantan Barat. Ini bukan khutbah. Bukan pula nasihat dari
menara tinggi. Barangkali ia lebih tepat disebut sebagai upaya menyapa: dengan
kata yang jujur, dengan jeda yang cukup, dan dengan keyakinan bahwa berpikir
juga bisa menjadi amal. Maka izinkan saya memulainya dari sebuah kata tua: retorika.
Retorika adalah kata yang telah hidup berabad-abad
lamanya. Ia bukan benda museum, walau berasal dari dunia Yunani Kuno yang telah
runtuh. Ia bukan semata keterampilan berbicara. Ia, bagi saya, adalah
keberanian menyusun pikiran menjadi kata, mengubah gagasan menjadi irama, dan
merangkai logika ke dalam keindahan yang persuasif. Di dalamnya terkandung
keyakinan bahwa bahasa bukan sekadar alat, tapi juga jendela: untuk memahami
yang lain, untuk menjembatani perbedaan, dan untuk menghadirkan kebenaran yang
tak selalu bisa diteriakkan. Retorika, bila ia jujur, tak hanya menyentuh
pikiran. Ia mengetuk hati.
Retorika adalah cara manusia memanusiakan dirinya
lewat bahasa. Ia bukan hanya alat, tapi juga cermin. Dalam pengertian
klasiknya, retorika adalah seni berbicara dan menulis dengan efektif dan
persuasif. Namun dalam praktiknya, retorika adalah tentang bagaimana kata-kata
bisa menggoyang keyakinan, menyentuh perasaan, atau menggerakkan tindakan. Ia
adalah upaya untuk mempengaruhi, tanpa harus menekan; untuk memikat, tanpa
harus menipu.
Bahkan ketika tak ada orang yang mendengarkan,
retorika tetap hidup. Karena ia bukan hanya tentang komunikasi dengan orang
lain, tetapi juga komunikasi dengan diri sendiri. Ia adalah disiplin yang
menuntut kehadiran penuh pada makna, bukan sekadar pada bunyi. Ia adalah seni
memilih, bukan hanya berbicara.
Dalam sejarahnya, retorika adalah warisan Yunani.
Aristoteles membaginya menjadi tiga: ethos, logos, dan pathos. Etos adalah
kredibilitas, logos adalah logika, dan pathos adalah emosi. Tapi di zaman ini,
kita tahu bahwa retorika tak selalu tunduk pada aturan kuno. Ia berkembang
dalam tempo, dalam konstelasi digital, dalam kultur meme dan emoji. Ia tak lagi
hanya soal pidato megah, tetapi juga soal kepekaan membungkus makna dalam kata
yang terbatas.
Kita lebih sibuk merespons daripada membentuk kata.
Lebih reaktif ketimbang reflektif. Orang berlomba jadi viral, bukan jadi benar.
Mereka yang mampu menahan jeda, mengolah kata, dan merangkai ide dalam struktur
yang cermat kini menjadi langka. Retorika tampak seperti barang antik dalam rak
perpustakaan klasik.
Tetapi benarkah begitu kita membaca zaman ini? Dalam
dunia yang riuh oleh suara—yang kadang lebih keras daripada jelas—retorika
barangkali justru menjadi kebutuhan yang paling sunyi. Ia bukan sekadar seni
bicara, tetapi cara agar pikiran tidak tenggelam di antara arus wacana yang
saling meniadakan. Dalam ledakan opini dan banjir kata-kata, kita perlu satu
keahlian yang tak sekadar memikat telinga, tapi mengikat kesadaran: kemampuan
menyaring, menyusun, dan menyampaikan. Retorika, pada akhirnya, bukan cuma cara
bicara. Ia adalah cara berpikir yang bisa didengar.
Retorika, seperti juga menulis, tak bisa hadir
tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan. Dan di sinilah kaitannya dengan kebiasaan kecil.
James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2019), menyebutkan bagaimana
perubahan besar terjadi dari kebiasaan kecil yang konsisten. Sebuah gagasan
yang sederhana, namun revolusioner.
Clear mengajarkan bahwa perubahan bukan soal niat
besar, tapi soal sistem kecil yang dilakukan berulang. Retorika pun begitu.
Kita tak mungkin tiba-tiba piawai berdebat seperti Barack Obama atau berorasi
seperti Bung Karno. Tapi kita bisa mulai dari membaca keras-keras, mencoba
menyusun kalimat secara runtut, dan melatih keberanian bicara di hadapan orang
lain.
Kebiasaan, kata Clear, adalah pemilih identitas. Saat
kita melatih retorika setiap hari, kita bukan hanya menjadi lebih pandai
bicara, tapi kita sedang membentuk diri sebagai komunikator yang meyakinkan.
Identitas bukan datang dari deklarasi, tapi dari kebiasaan.
Tentu, untuk sampai ke sana, kita perlu memulai dari
hal yang kecil. Mungkin dari membaca opini di koran dan mencoba menirunya.
Mungkin dari menulis ulang pidato orang lain. Atau dari berdiskusi ringan
dengan teman, mencoba menyampaikan argumen dengan terstruktur.
Dalam Atomic Habits, Clear menyebutkan empat
hukum perubahan perilaku: Make it Obvious, Make it Attractive, Make it Easy,
dan Make it Satisfying. Keempat hukum ini bisa kita pakai sebagai kerangka
untuk melatih retorika secara perlahan namun efektif.
Bagaimana Melatihnya?
Langkah pertama: Make it Obvious. Buat latihan
retorika menjadi hal yang jelas terlihat dan mudah dijangkau. Misalnya,
tetapkan waktu khusus setiap hari untuk membaca dan meniru pidato terkenal.
Tempel catatan kecil di meja belajar atau letakkan buku retorika di sisi tempat
tidur. Hal-hal kecil yang terlihat akan memudahkan kita untuk mulai.
Langkah kedua: Make it Attractive. Buat latihan
itu menyenangkan. Jangan mulai dari buku berat. Mulailah dari video debat yang
lucu atau pidato inspiratif. Gabungkan latihan dengan hal yang kita sukai:
retorika dari film, ceramah tokoh favorit, atau podcast dengan gaya tutur yang
menarik. Tarik perhatian emosi kita agar latihan terasa menyenangkan.
Langkah ketiga: Make it Easy. Jangan langsung
menetapkan standar tinggi. Cukup satu menit berbicara di depan kaca. Cukup satu
paragraf menulis argumen. Tak perlu langsung tampil di podium. Retorika seperti
otot: ia tumbuh dari beban kecil yang dilakukan konsisten.
Langkah keempat: Make it Satisfying. Beri diri
sendiri penghargaan setelah latihan. Rasakan kepuasan dari menyampaikan kalimat
yang runtut, atau dari keberanian untuk mengutarakan pendapat di kelas. Bisa
juga dengan mencatat kemajuan: seberapa banyak latihan hari ini, berapa kali
berbicara di depan umum bulan ini. Kepuasan kecil itu akan menumbuhkan
semangat.
Empat hukum dari Clear ini bukan hanya berlaku untuk
kebiasaan fisik, tetapi juga untuk keterampilan mental seperti retorika. Dan
yang menarik, semakin sering kita melatih, semakin mudah kita mengakses gaya
bicara yang meyakinkan.
Saya ingat percakapan dengan seorang dosen tua yang
pernah berkata, “Bicara itu bukan perkara vokal, tapi perkara isi. Tapi isi
yang kuat akan tenggelam bila tidak punya bungkus.” Bungkus itulah yang kita
latih melalui retorika.
Tak sedikit dari kita yang gagap, bukan karena tak
tahu, tapi karena tak terbiasa. Kita tahu apa yang ingin dikatakan, tapi
kalimatnya tak keluar. Kita punya gagasan, tapi lidah seperti terikat. Itulah
pentingnya latihan.
Kita bisa mulai dari ruang terkecil: berbicara dengan
anak. Menyampaikan argumen pada teman. Bahkan menjelaskan pendapat pada diri
sendiri saat bercermin. Retorika bukan soal podium, tapi soal kejelasan dalam
keseharian.
Dalam sistem pendidikan kita, pelajaran retorika
sering kali absen. Kita diajari membaca, menulis, berhitung, tapi jarang
diajari menyampaikan pikiran secara persuasif. Padahal, dalam hidup, kemampuan
itu adalah modal sosial yang nyata.
Bayangkan seorang guru yang tak bisa menghidupkan
kelas karena cara bicaranya membosankan. Atau seorang pemimpin yang tak bisa
menggerakkan tim karena retorikanya kaku. Retorika bukan soal retorik, tetapi
soal efektivitas.
Namun jangan salah, retorika bukan manipulasi. Ia
bukan seni menipu, tetapi seni menjelaskan. Ia bukan topeng, tetapi cara untuk
menghubungkan isi kepala dengan hati orang lain. Jika disalahgunakan, ia bisa
menjadi alat licik. Tapi dalam tangan yang jujur, ia menjadi jembatan.
Dan jembatan itu tak dibangun sehari. Ia dibangun dari
latihan kecil, dari kegagalan bicara yang diulangi terus-menerus, dari
keberanian tampil meski gemetar, dari kata yang tersendat hingga akhirnya
mengalir.
Saya percaya, seperti yang dikatakan oleh James Clear,
bahwa perubahan tak selalu terlihat di awal. Kadang kita bicara berulang-ulang,
merasa tak berkembang, merasa bodoh. Tapi suatu hari, kata-kata itu akan keluar
dengan lancar. Dan orang akan mendengar.
Kita bisa belajar dari para orator besar: mereka semua
bukan lahir sebagai pembicara, tetapi tumbuh karena latihan. Bahkan
Demosthenes, orator Yunani, konon berlatih bicara dengan batu di mulutnya agar
artikulasinya jernih. Itu bukan talenta. Itu kebiasaan.
Retorika bukan tentang menjadi cerewet. Ia adalah seni
memilih kata, mengatur jeda, dan menyampaikan emosi tanpa kehilangan logika. Ia
adalah seni berbicara, bukan asal bicara.
Di era digital, ketika tulisan dan suara menyebar
cepat, kita dituntut bukan hanya berpikir cepat, tapi juga berpikir jernih. Dan
hanya mereka yang mampu menyampaikan dengan baik yang akan didengar.
Retorika, dalam bentuk terbaiknya, adalah bentuk
tanggung jawab. Tanggung jawab atas apa yang kita katakan. Dan latihan kecil
setiap hari adalah cara kita menjaga tanggung jawab itu tetap hidup.
Kita hidup dalam masyarakat yang terlalu banyak
berbicara, tapi terlalu sedikit mendengarkan. Retorika mengajarkan kita tidak
hanya cara bicara, tapi juga cara mendengar. Karena dalam setiap kalimat yang
baik, ada gema dari suara lain yang didengar dengan saksama.
Kita bisa memulai dari kebiasaan: menyusun pikiran
sebelum bicara, menyimak sebelum menanggapi, dan menimbang kata sebelum
mengucap. Perlahan, kita akan menjadi bukan hanya pembicara, tapi juga penutur
yang didengar.
Saya bayangkan seorang anak muda yang, karena
kebiasaan membaca dan berbicara di cermin setiap pagi, tumbuh menjadi pemimpin.
Atau seorang ibu rumah tangga yang mampu menyampaikan aspirasinya di forum RT
karena terbiasa menyusun argumen. Semua itu bukan sulap. Tapi hasil dari
kebiasaan kecil.
James Clear mengajarkan bahwa kebiasaan bukan hanya
mengubah perilaku, tapi membentuk siapa diri kita. Dan jika kita ingin menjadi
orang yang mampu mempengaruhi dunia melalui kata, maka latihlah retorika itu
setiap hari.
Kita tak butuh panggung besar untuk mulai. Panggung
itu bisa berupa ruang makan, ruang kelas, grup WhatsApp, atau bahkan catatan
harian. Yang penting: mulai. Ulangi. Nikmati.
Retorika bukan milik politikus. Ia milik siapa saja
yang ingin dimengerti, didengar, dan diingat. Dan seperti halnya kebiasaan
kecil, ia adalah investasi jangka panjang. Mungkin tidak terlihat hasilnya hari
ini, tapi pasti terasa dampaknya esok.
Karena pada akhirnya, dunia ini dibentuk oleh mereka
yang mampu berbicara dengan jernih, menyentuh dengan kata, dan menggerakkan
lewat kalimat. Dan kita semua bisa menjadi salah satu dari mereka, jika
bersedia memulai—sekecil apa pun.
Maka, mari berbicara. Mari memilih kata. Mari
menyampaikan gagasan, bukan sekadar pendapat. Karena dalam kata yang tepat,
dunia bisa berubah.***