Iklan

Retorika dan Kebiasaan Kecil: Sebuah Seni Berbicara, Sebuah Laku Sehari-hari

syamsul kurniawan
Friday, July 18, 2025
Last Updated 2025-07-19T01:32:23Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Tulisan ini saya buat sehari sebelum ia dibacakan. Selembar esai yang ditulis dalam cuaca yang hening, dengan semacam ketegangan yang pelan: sebab ia ditujukan khusus untuk para peserta Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah 1 Akbar, Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Kubu Raya, yang insyaAllah berlangsung 20 Juli 2025 di Aula Pusat Dakwah Muhammadiyah Kalimantan Barat. Ini bukan khutbah. Bukan pula nasihat dari menara tinggi. Barangkali ia lebih tepat disebut sebagai upaya menyapa: dengan kata yang jujur, dengan jeda yang cukup, dan dengan keyakinan bahwa berpikir juga bisa menjadi amal. Maka izinkan saya memulainya dari sebuah kata tua: retorika.

 

Retorika adalah kata yang telah hidup berabad-abad lamanya. Ia bukan benda museum, walau berasal dari dunia Yunani Kuno yang telah runtuh. Ia bukan semata keterampilan berbicara. Ia, bagi saya, adalah keberanian menyusun pikiran menjadi kata, mengubah gagasan menjadi irama, dan merangkai logika ke dalam keindahan yang persuasif. Di dalamnya terkandung keyakinan bahwa bahasa bukan sekadar alat, tapi juga jendela: untuk memahami yang lain, untuk menjembatani perbedaan, dan untuk menghadirkan kebenaran yang tak selalu bisa diteriakkan. Retorika, bila ia jujur, tak hanya menyentuh pikiran. Ia mengetuk hati.

 

Retorika adalah cara manusia memanusiakan dirinya lewat bahasa. Ia bukan hanya alat, tapi juga cermin. Dalam pengertian klasiknya, retorika adalah seni berbicara dan menulis dengan efektif dan persuasif. Namun dalam praktiknya, retorika adalah tentang bagaimana kata-kata bisa menggoyang keyakinan, menyentuh perasaan, atau menggerakkan tindakan. Ia adalah upaya untuk mempengaruhi, tanpa harus menekan; untuk memikat, tanpa harus menipu.

 

Bahkan ketika tak ada orang yang mendengarkan, retorika tetap hidup. Karena ia bukan hanya tentang komunikasi dengan orang lain, tetapi juga komunikasi dengan diri sendiri. Ia adalah disiplin yang menuntut kehadiran penuh pada makna, bukan sekadar pada bunyi. Ia adalah seni memilih, bukan hanya berbicara.

 

Dalam sejarahnya, retorika adalah warisan Yunani. Aristoteles membaginya menjadi tiga: ethos, logos, dan pathos. Etos adalah kredibilitas, logos adalah logika, dan pathos adalah emosi. Tapi di zaman ini, kita tahu bahwa retorika tak selalu tunduk pada aturan kuno. Ia berkembang dalam tempo, dalam konstelasi digital, dalam kultur meme dan emoji. Ia tak lagi hanya soal pidato megah, tetapi juga soal kepekaan membungkus makna dalam kata yang terbatas.

 

Kita lebih sibuk merespons daripada membentuk kata. Lebih reaktif ketimbang reflektif. Orang berlomba jadi viral, bukan jadi benar. Mereka yang mampu menahan jeda, mengolah kata, dan merangkai ide dalam struktur yang cermat kini menjadi langka. Retorika tampak seperti barang antik dalam rak perpustakaan klasik.

 

Tetapi benarkah begitu kita membaca zaman ini? Dalam dunia yang riuh oleh suara—yang kadang lebih keras daripada jelas—retorika barangkali justru menjadi kebutuhan yang paling sunyi. Ia bukan sekadar seni bicara, tetapi cara agar pikiran tidak tenggelam di antara arus wacana yang saling meniadakan. Dalam ledakan opini dan banjir kata-kata, kita perlu satu keahlian yang tak sekadar memikat telinga, tapi mengikat kesadaran: kemampuan menyaring, menyusun, dan menyampaikan. Retorika, pada akhirnya, bukan cuma cara bicara. Ia adalah cara berpikir yang bisa didengar.

 

Retorika, seperti juga menulis, tak bisa hadir tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan. Dan di sinilah kaitannya dengan kebiasaan kecil. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2019), menyebutkan bagaimana perubahan besar terjadi dari kebiasaan kecil yang konsisten. Sebuah gagasan yang sederhana, namun revolusioner.

 

Clear mengajarkan bahwa perubahan bukan soal niat besar, tapi soal sistem kecil yang dilakukan berulang. Retorika pun begitu. Kita tak mungkin tiba-tiba piawai berdebat seperti Barack Obama atau berorasi seperti Bung Karno. Tapi kita bisa mulai dari membaca keras-keras, mencoba menyusun kalimat secara runtut, dan melatih keberanian bicara di hadapan orang lain.

 

Kebiasaan, kata Clear, adalah pemilih identitas. Saat kita melatih retorika setiap hari, kita bukan hanya menjadi lebih pandai bicara, tapi kita sedang membentuk diri sebagai komunikator yang meyakinkan. Identitas bukan datang dari deklarasi, tapi dari kebiasaan.

 

Tentu, untuk sampai ke sana, kita perlu memulai dari hal yang kecil. Mungkin dari membaca opini di koran dan mencoba menirunya. Mungkin dari menulis ulang pidato orang lain. Atau dari berdiskusi ringan dengan teman, mencoba menyampaikan argumen dengan terstruktur.

 

Dalam Atomic Habits, Clear menyebutkan empat hukum perubahan perilaku: Make it Obvious, Make it Attractive, Make it Easy, dan Make it Satisfying. Keempat hukum ini bisa kita pakai sebagai kerangka untuk melatih retorika secara perlahan namun efektif.

 

Bagaimana Melatihnya?

 

Langkah pertama: Make it Obvious. Buat latihan retorika menjadi hal yang jelas terlihat dan mudah dijangkau. Misalnya, tetapkan waktu khusus setiap hari untuk membaca dan meniru pidato terkenal. Tempel catatan kecil di meja belajar atau letakkan buku retorika di sisi tempat tidur. Hal-hal kecil yang terlihat akan memudahkan kita untuk mulai.

 

Langkah kedua: Make it Attractive. Buat latihan itu menyenangkan. Jangan mulai dari buku berat. Mulailah dari video debat yang lucu atau pidato inspiratif. Gabungkan latihan dengan hal yang kita sukai: retorika dari film, ceramah tokoh favorit, atau podcast dengan gaya tutur yang menarik. Tarik perhatian emosi kita agar latihan terasa menyenangkan.

 

Langkah ketiga: Make it Easy. Jangan langsung menetapkan standar tinggi. Cukup satu menit berbicara di depan kaca. Cukup satu paragraf menulis argumen. Tak perlu langsung tampil di podium. Retorika seperti otot: ia tumbuh dari beban kecil yang dilakukan konsisten.

 

Langkah keempat: Make it Satisfying. Beri diri sendiri penghargaan setelah latihan. Rasakan kepuasan dari menyampaikan kalimat yang runtut, atau dari keberanian untuk mengutarakan pendapat di kelas. Bisa juga dengan mencatat kemajuan: seberapa banyak latihan hari ini, berapa kali berbicara di depan umum bulan ini. Kepuasan kecil itu akan menumbuhkan semangat.

 

Empat hukum dari Clear ini bukan hanya berlaku untuk kebiasaan fisik, tetapi juga untuk keterampilan mental seperti retorika. Dan yang menarik, semakin sering kita melatih, semakin mudah kita mengakses gaya bicara yang meyakinkan.

 

Saya ingat percakapan dengan seorang dosen tua yang pernah berkata, “Bicara itu bukan perkara vokal, tapi perkara isi. Tapi isi yang kuat akan tenggelam bila tidak punya bungkus.” Bungkus itulah yang kita latih melalui retorika.

 

Tak sedikit dari kita yang gagap, bukan karena tak tahu, tapi karena tak terbiasa. Kita tahu apa yang ingin dikatakan, tapi kalimatnya tak keluar. Kita punya gagasan, tapi lidah seperti terikat. Itulah pentingnya latihan.

 

Kita bisa mulai dari ruang terkecil: berbicara dengan anak. Menyampaikan argumen pada teman. Bahkan menjelaskan pendapat pada diri sendiri saat bercermin. Retorika bukan soal podium, tapi soal kejelasan dalam keseharian.

 

Dalam sistem pendidikan kita, pelajaran retorika sering kali absen. Kita diajari membaca, menulis, berhitung, tapi jarang diajari menyampaikan pikiran secara persuasif. Padahal, dalam hidup, kemampuan itu adalah modal sosial yang nyata.

 

Bayangkan seorang guru yang tak bisa menghidupkan kelas karena cara bicaranya membosankan. Atau seorang pemimpin yang tak bisa menggerakkan tim karena retorikanya kaku. Retorika bukan soal retorik, tetapi soal efektivitas.

 

Namun jangan salah, retorika bukan manipulasi. Ia bukan seni menipu, tetapi seni menjelaskan. Ia bukan topeng, tetapi cara untuk menghubungkan isi kepala dengan hati orang lain. Jika disalahgunakan, ia bisa menjadi alat licik. Tapi dalam tangan yang jujur, ia menjadi jembatan.

 

Dan jembatan itu tak dibangun sehari. Ia dibangun dari latihan kecil, dari kegagalan bicara yang diulangi terus-menerus, dari keberanian tampil meski gemetar, dari kata yang tersendat hingga akhirnya mengalir.

 

Saya percaya, seperti yang dikatakan oleh James Clear, bahwa perubahan tak selalu terlihat di awal. Kadang kita bicara berulang-ulang, merasa tak berkembang, merasa bodoh. Tapi suatu hari, kata-kata itu akan keluar dengan lancar. Dan orang akan mendengar.

 

Kita bisa belajar dari para orator besar: mereka semua bukan lahir sebagai pembicara, tetapi tumbuh karena latihan. Bahkan Demosthenes, orator Yunani, konon berlatih bicara dengan batu di mulutnya agar artikulasinya jernih. Itu bukan talenta. Itu kebiasaan.

 

Retorika bukan tentang menjadi cerewet. Ia adalah seni memilih kata, mengatur jeda, dan menyampaikan emosi tanpa kehilangan logika. Ia adalah seni berbicara, bukan asal bicara.

 

Di era digital, ketika tulisan dan suara menyebar cepat, kita dituntut bukan hanya berpikir cepat, tapi juga berpikir jernih. Dan hanya mereka yang mampu menyampaikan dengan baik yang akan didengar.

 

Retorika, dalam bentuk terbaiknya, adalah bentuk tanggung jawab. Tanggung jawab atas apa yang kita katakan. Dan latihan kecil setiap hari adalah cara kita menjaga tanggung jawab itu tetap hidup.

 

Kita hidup dalam masyarakat yang terlalu banyak berbicara, tapi terlalu sedikit mendengarkan. Retorika mengajarkan kita tidak hanya cara bicara, tapi juga cara mendengar. Karena dalam setiap kalimat yang baik, ada gema dari suara lain yang didengar dengan saksama.

 

Kita bisa memulai dari kebiasaan: menyusun pikiran sebelum bicara, menyimak sebelum menanggapi, dan menimbang kata sebelum mengucap. Perlahan, kita akan menjadi bukan hanya pembicara, tapi juga penutur yang didengar.

 

Saya bayangkan seorang anak muda yang, karena kebiasaan membaca dan berbicara di cermin setiap pagi, tumbuh menjadi pemimpin. Atau seorang ibu rumah tangga yang mampu menyampaikan aspirasinya di forum RT karena terbiasa menyusun argumen. Semua itu bukan sulap. Tapi hasil dari kebiasaan kecil.

 

James Clear mengajarkan bahwa kebiasaan bukan hanya mengubah perilaku, tapi membentuk siapa diri kita. Dan jika kita ingin menjadi orang yang mampu mempengaruhi dunia melalui kata, maka latihlah retorika itu setiap hari.

 

Kita tak butuh panggung besar untuk mulai. Panggung itu bisa berupa ruang makan, ruang kelas, grup WhatsApp, atau bahkan catatan harian. Yang penting: mulai. Ulangi. Nikmati.

 

Retorika bukan milik politikus. Ia milik siapa saja yang ingin dimengerti, didengar, dan diingat. Dan seperti halnya kebiasaan kecil, ia adalah investasi jangka panjang. Mungkin tidak terlihat hasilnya hari ini, tapi pasti terasa dampaknya esok.

 

Karena pada akhirnya, dunia ini dibentuk oleh mereka yang mampu berbicara dengan jernih, menyentuh dengan kata, dan menggerakkan lewat kalimat. Dan kita semua bisa menjadi salah satu dari mereka, jika bersedia memulai—sekecil apa pun.

 

Maka, mari berbicara. Mari memilih kata. Mari menyampaikan gagasan, bukan sekadar pendapat. Karena dalam kata yang tepat, dunia bisa berubah.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now